Senin, 31 Oktober 2016

Tuhan... Aku mau yang itu.


    “Saya terima nikah dan kawinnya Naniya Asya binti Raysan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai…”
“Sah?”
“Saahh!!”
“Sah?”
“Saahh!!”
“Alhamdulillah hirabbil’alamin…” Seruan lega terdengar dari seluruh penjuru ruangan, tampak para orang tua dibarisan depan ada yang menyeka air mata mereka sebagai tanda haru bahagia dan beberapa  saling bersalaman dan berpelukan, semua seperti terhanyut dalam hiruk pikuk itu tanpa ada yang memperhatikan sama sekali bahwa tidak ada raut kebahagiaan di wajah kedua mempelai disana. Mempelai pria tampak mengangguk – angguk sambil tersenyum kecil menerima uluran jabatan tangan dari sana sini, sedang mempelai wanitanya terlihat menunduk dalam, sebutir air mata tampak menetes dari matanya yang terpejam, tidak ada yang tahu apa arti air mata itu, hanya aku sendiri yang tahu persis apa yang dirasakan wanita itu, karena mempelai wanita itu adalah aku, ya… hari itu aku resmi menjadi seorang istri dari seorang lelaki yang belum aku kenal sebelumnya.
***
 Aku melepas gaun pengantin yang aku pakai dikamar, aku menghela nafas lega karena acara pesta pernikahan yang diadakan keluarga mertuaku selesai juga akhirnya, kaki dan leherku begitu pegal seharian ini berdiri menerima ucapan  selamat dari tamu – tamu yang datang, mungkin kalau saja aku menikmati momen ini sebagai pernikahan yang aku dambakan, lelah ini tidak akan aku rasakan.  Ya.. mungkin saja begitu, tapi nyatanya pernikahan ini hanya sebuah perjanjian yang hanya aku dan lelaki yang baru saja menjadi suamiku itu lah yang tahu.
Tok.. Tok… Tok…
Suara ketukan di pintu menggagetkanku, aku buru-buru membukanya. Tampak Davin berdiri didepan pintu, dia mengerlingkan matanya melihatku sudah memakai baju tidur.
“Wuihh… Ada yang sudah siap-siap buat tidur nih kayanya? Loh.. kok sudah keramas? Kan belum mulai,” Ujarnya tersenyum nakal sambil nyelonong masuk ke kamar dan langsung menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur. Aku mengacuhkannya dengan kembali duduk di depan meja rias membelakanginya sambil melanjutkan membereskan baju yang bekas aku pakai.
“Ishh.. aku dicuekin istriku sendiri koh, maafin aku istriku, sudah membuatmu menunggu lama. Ahh… Saudara – saudara yang datang memang kurang peka, mengajak pengantin baru ngobrol sampai larut begini,” Aku nyengir kuda  mendengarnya dan melirik kearah Davin, tampak dia sedang memeluk guling dengan memejamkan matanya, sepertinya merasakan nyaman akhirnya bisa rebahan mungkin.
“Ganti baju dulu kalau mau tidur,” ujarku.
“Sstt… Sstt…,” Aku menengok
“Sabar,,, aku mandi dulu ya,” Davin dengan muka konyolnya mengedip-ngedipkan matanya menatap kearahku. Aku geli melihatnya dan memilih membuang muka.
“Apa sih kamu, vin.. vin…,”
“Huaa… bahkan istrikupun sepertinya tidak mau tidur denganku,” Davin memukul-mukulkan bantal ke mukanya sendiri.
“Sstttt….!!! Jangan kenceng-kenceng ngomongnya,” bisikku sambil melotot ke arah Davin,” kamu mau keluarga denger?,”
“Hhmm… ya sudah, aku mandi dulu ah kali saja habis mandi kamu jadi tertarik ke aku,” Davin bangun dari tidurnya dan mulai melepas bajunya.
“Wait… waittt… kamu mau apa?,” Aku kaget melihatnya.
“Ya ganti baju lah,” jawabnya cuek sambil melempar baju bagian atasannya ke kursi. Kali ini aku melotot kearahnya,”Davinnn,,, kamu tahu kan peraturan kita?,”
“Haloo.. ini kamarku, ini rumahku, kalau kamu tidak mau lihat ya tinggal merem sih,” Gerutunya.
“Daviinnn…” Kali ini aku setengah menggeram kearahnya,” Pasal 8 point 6 ya..,”
“Ya salam… pait.. pait.. pait…,” ujarnya sambil masuk ke kamar mandi kesal. Aku tersenyum menang, dasar… apa semua orang kaya seperti ini? Batinku.
Begitulah aku mengenal Davin, seorang anak laki-laki yang hidupnya dihabiskan diluar negeri dan terpaksa kembali ke Indonesia untuk mengurus perusahaan ayahnya, dibayang-bayangi adik-adik tirinya yang siap mengambil alih apabila Davin gagal dan karena alasan itulah aku ada diposisi sekarang. Aku, seorang anak tunggal yang membutuhkan dana besar setiap bulannya karena harus membiayai pengobatan ayahku, yang dengan percaya dirinya mencantumkan Expectation Salary yang tinggi dengan menjual segudang pengalaman kerjaku selama ini sebagai manager, dipertemukan dengan Davin melalui seorang kolegaku hingga terjadilah pernikahan diatas perjanjian antara aku dengan Davin seperti sekarang ini. Berkali-kali aku berdoa semoga Allah tidak menghukumku karena hal ini, semua aku lakukan demi ayahku. Davin butuh tenaga dan pikiranku dan aku membutuhkan uangnya. Mungkin terlalu konyol jika aku menyebutnya “jodoh”?  Ya… Karena sebenarnya aku tidak mencari jodoh, hanya menunggu ditemukan dan Davinlah yang menemukanku.
Aku sudah mulai terlelap saat tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu yang menempel dipunggungku, aku terkejut melihat Davin yang ternyata sudah selesai mandi meringkuk tidur disampingku.
“Hei…!!! Diperjanjian kita tidak akan tidur seranjang loh ya??,” protesku sambil turun dari tempat tidur. Davin tidak mempedulikanku, malah dia menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Dengan gemas aku menarik paksa selimutnya.
“Davin!,”
“Haiss… ini ranjangku! Kalau tidak mau tidur disini denganku ya silahkan tidur di sofa, aku ngantukkkk…,” seru Davin mulai kesal.
“Tapi aku cewek masa kamu tega…,”
“Cewek jadi-jadian iya!,” Davin menongolkan wajahnya dari balik selimutnya,”Aku bosnya disini weww…,” Dia menjulurkan lidahnya.
Aku mendelik kesal sendiri, menjatuhkan badanku ke sofa, dan melemparkan sandal kamar yang aku pakai kearah Davin, aku lupa bahwa sandal kamar itu begitu entengnya hingga keburu melengos jatuh sebelum sampai ke Davin.
“Lihat… bahkan sandal pun tidak mau dekat-dekat denganmu,” Gerutuku, sedang Davin menyeringai puas dari balik selimutnya.
***
Pagi itu, aku membangunkan Davin karena beberapa kali sudah ada suara ketukan di kamar untuk sarapan pagi, sepertinya dia begitu lelah, dengan mata setengah merem dia menuju kamar mandi untuk mencuci mukanya. Aku sendiri sudah mandi dan sudah siap keluar menyambut obrolan pagi pertamaku dengan anggota keluarga Davin, sambil menunggu Davin, aku kembali menghapal apa-apa saja yang kemungkinan akan ditanya oleh keluarganya mengenai hubunganku dengan Davin, pasti mereka akan menanyakan itu lebih rinci karena mengingat pernikahanku dengan Davin benar-benar mengejutkan mereka, Davin yang tidak pernah mengenalkan pacarnya tiba-tiba saja mengenalkanku sebagai kekasihnya dan langsung minta dinikahkan, mereka sudah pasti shock. Aku sampai memejamkan mataku saat menghafal nama-nama tempat di luar negeri yang menurut skenario Davin kami sudah sering mengunjunginya selama pacaran, aku tidak pernah keluar negeri dan disuruh mengaku-ngaku seolah sudah sering berpergian kesana, ini agak sedikit sulit buatku.
Aku terkejut saat kepalaku basah seperti ada yang menyiramku, saat aku membuka mata, Davin sudah didepanku berdiri memegang gelas air minum.
“Apa-apaan kamu?!,” Aku mengusap wajahku yang ikut basah.
“Setidaknya sebelum keluar kamar, basahilah rambutmu supaya akting kita sebagai pengantin baru lebih sempurna,”
“Ya… So what???, aku sudah keramas semalam!,” Kali ini aku bener-bener kesal.
“Kita kan pengantin baru, non,” Davin berjalan ke arahku melempar pelan handuk bekas dia pakai, dan berbisik di telingaku,” Ceritanya kan begitu,”
Davin berjalan dengan cuek keluar kamar, meninggalkan aku yang masih penuh kegondokan sibuk mengelap rambutku, karena semua pasti sudah menungguku.
Aku buru-buru menuju meja makan, dan benar saja ayah, ibu dan kedua adik Davin sudah duduk menantiku.
“Wah… Pengantin baru nih ya sampai kesiangan bangunnya,” Sapa ibu tiri Davin penuh senyum, namanya ibu Ross, wanita paruh baya itu tampak masih cantik dan lincah.
“Maaf ya semua jadi menunggu,” Aku mengangguk meminta maaf ke semua.
“Lihat.. Rambutnya saja masih basah mah hahaa…,” Ayah Davin ikutan meledekku. Davin hanya nyengir kecil dan menarik tanganku untuk duduk disampingnya. Aku menendang kakinya dibawah meja begitu duduk, pelampiasan kesalku untuk keisengannya tadi.
“Iya betul yah, Naniya benar-benar cantik ya biarpun tanpa make up, Bang Davin beruntung ” Puji Zian, adik tiri Davin yang paling besar, umurnya sebaya denganku,” Bang Davin memang pintar memilih istri ya,”
Aku tersenyum malu,” Bisa saja nih Zian,”
“Jangan dibiasakan memuji milik orang lain, Zian. Nanti bisa timbul rasa ingin memilikinya juga seperti yang sudah-sudah,” Suara Davin terdengar asal tapi menyiratkan sesuatu. Sejenak suasana hening, aku sendiri sedikit terkejut dengan reaksi Davin tersebut, tapi Davin malah mulai sibuk menyendok nasi ke piringku.
“Hayoo… makan, bukankah semua sudah pada lapar? Sayang… kamu pimpin doa coba karena ini pertama kalinya kita sarapan bersama,”
“Yaa.. itu ide bagus, ayo Naniya yang pimpin doa kali ini,” ujar Ayah Davin seperti mencoba mencairkan suasana kembali. Iisshh… Lagi-lagi aku yang dijadikan tameng. Aku memanyunkan bibirku kearah Davin sebagai tanda protes, Davin tersenyum sambil mengangkat alisnya.
“Jangan bilang kamu enggak bisa doa mau makan loh ya,” ledek Davin,” Malu sama nino tuh,”
Nino, adik tiri Davin yang baru berusia 6 tahun antusias melihat kearahku.
“Kak Naniya mau aku ajarin?,”
“Hahaa… tidak sayang, kakak bisa kok. Yuk mari berdoa,” Aku tertawa garing sambil mengusap-usap rambut nino dan kemudian memulai memimpin  doa. Tidak ada yang banyak bersuara begitu sarapan dimulai, sia-sia aku menghafal nama-nama tempat tadi karena ternyata tidak ada yang bertanya kepadaku, masing-masing asyik dengan makanannya sendiri. Hanya sesekali suara ibu Ross yang menawarkan ada yang mau nambah lauk ini atau itu tidak?. Aku tidak bisa berhenti berpikir, ada apa dengan Davin? Kenapa dia seperti mempunyai kebencian sendiri? Sedangkan dimataku, ibu dan adik-adik tirinya tampaknya normal dan baik-baik saja.
***
Hari – hari berikutnya, aku sibuk mengajari Davin untuk mengelola perusahaannya, agak sulit memang karena passion dia bukan di dunia bisnis, dia lebih suka ke hal-hal yang berbau seni terutama melukis, tapi entah ketakutan apa yang dipikirkannya hingga dia tidak rela adik-adik tirinya yang mengambil alih perusahaan. Takut miskin? Aku pikir tidak karena Davin sendiri sebenarnya mampu menghidupi dirinya sendiri dari hasil lukisannya, aku mendengar beberapa kali pameran lukisannya di luar negeri selalu sukses. Ada rasa penasaran terselip di benakku, tapi aku tidak pernah menanyakan ke Davin, bagiku itu bukan urusanku, urusanku dengan Davin hanya bekerja dengan baik hingga Davin bisa berdiri sendiri menjalankan perusahaannya. Semakin cepat Davin mencerna semua proses yang aku ajarkan, semakin baik buatku karena semakin cepat juga aku bisa mengakhiri kepura-puraan ini.
Sayangnya, Davin mempunyai sifat yang semau dia. Dia mau bekerja hanya sesuai mood saja, bahkan untuk berangkat pagi ke kantor saja dia tidak mau membiasakan diri. Dia beralasan karena sudah biasa bangun siang, toh menurut dia ada aku yang menyandang jabatan sebagai wakil direktur yang bisa meng-handle semua pekerjaannya, ini yang membuatku lama-kelamaan gerah dengan sikap Davin, karena sudah berjalan 3 bulan tapi untuk presentasi sendiri di depan customer saja dia tidak pernah mau melakukannya, alasannya selalu sama, dia tidak mau melihat customernya kabur karena presentasinya yang jelek. Berkali-kali aku mengingatkan kalau tidak mau mencoba ya kapan bisanya? tapi dia selalu mengacuhkanku, menurutnya kontrak belajar denganku adalah 2 tahun dan dia merasa masih cukup waktu untuk belajar nanti-nanti. Kegiatan rutinnya adalah datang ke kantor 1 jam sebelum makan siang kemudian jam 3 sudah cabut lagi pergi entah kemana dan pulang ke rumah selalu diatas jam 12 malam, dia seperti tidak betah berlama-lama di rumahnya sendiri kalau bukan untuk tidur. Tapi herannya saat sabtu dan minggu dia betah dirumah kalau aku libur, karena dia seperti punya mainan meledekku sepanjang hari. Kalau begitu terus, lalu kapan dia belajarnya? Aku mulai gemas, karena hidupku memang sekarang serba kecukupan dan ayahku pun mendapat pengobatan yang layak tapi hidup dalam kebohongan itu sama sekali tidak membuatku tenang.
Untuk urusan perusahaan yang berhubungan dengan keputusan-keputusan penting aku selalu menyuruh Davin berdiskusi dengan ayahnya langsung, ayahnya memang memutuskan pensiun sejak Davin mengambil alih mengingat usianya yang sudah tua, saat menemui ayahnya pasti Davin selalu memaksaku untuk melibatkanku, dan benar saja ujung-ujungnya aku yang sibuk bertanya jawab dengan ayahnya Davin, sedang Davin asyik dengan pena dan bukunya seolah-olah menyimak padahal dia menggambar apa saja yang ditangkap matanya saat itu. Sejauh ini keluarga Davin begitu menerimaku, apalagi ayahnya benar-benar mengganggapku seperti anaknya sendiri. Dia sering berkata, sekarang punya anak perempuan dan dia tidak akan setengah-setengah memberikan semua nya termasuk ilmunya dalam dunia bisnis.
Rumah ini selalu sepi saat malam tiba, hampir setiap malam aku tiba dirumah jam 09.00 keatas, ayah dan ibu Ross pasti sudah masuk kamar, Nino juga sudah tidur karena paginya harus sekolah. Aku paling sering ketemu dengan Zian, entah dia bekerja dimana tapi setiap aku pulang dia biasanya masih asyik dengan laptopnya ataupun sedang menonton TV, kami biasanya sekedar saling menyapa saja, aku menghindari mengobrol banyak dengannya mengingat sikap Davin terhadap Zian tempo hari. Tidak ada yang pernah menanyakan Davin kepadaku, mungkin di keluarga ini kebiasaan Davin pulang malam sudah biasa sehingga tidak ada yang merasa perlu dipertanyakan.
Aku sering lembur membawa kerjaan ke rumah, dan setelah yang lain tidur, aku pindah bekerja ke ruang tamu dengan menyalakan TV sebagai teman supaya tidak terlalu sepi sendiri malam-malam, biarpun TV tersebut tidak aku tonton. Dan beberapa kali Zian keluar kamar memergoki aku yang sedang bekerja, kami saling menyapa ala kadarnya, biasanya dia hanya mengambil minum atau makanan dan masuk kembali ke kamarnya. Pernah suatu malam aku ketiduran dengan berkas-berkas yang masih berantakan tapi begitu aku terbangun jam 3 pagi, berkasku sudah tertumpuk rapi seperti ada yang membereskannya, awalnya aku pikir Zian tapi saat aku kembali ke kamar ternyata Davin sudah pulang dan tidur nyenyak di tempat tidurnya.
***
Malam itu, aku terbangun oleh perutku yang keroncongan, ternyata aku ketiduran dari pulang kerja tadi tanpa sempat mengganti baju. Ya.. Siang tadi memang cukup melelahkan karena Davin memintaku menemaninya meeting dengan klien dari luar negeri, dan berkeliling meninjau pabrik kami. Aku memilih pulang duluan saat Davin mengajak tamunya untuk makan malam, ya pasti mereka lanjut party di club malam yang sudah jadi kebiasaan mereka.
Dengan mata masih sepet karena mengantuk, aku bergegas menuju dapur untuk mencari makanan, ada makanan yang dibekukan di kulkas sama mba minah tapi aku malas untuk menggorengnya karena pasti suara berisik penggorengan akan membangunkan yang lain. Aku putuskan untuk memasak mie instan, sambil menunggu air mendidih aku merebahkan kepalaku di meja makan, dan sejurus kemudian aku sudah tidak ingat apa-apa, aku ketiduran.
Aku terbangun dari tidurku mendengar suara sendok beradu, aku mengucek-ucek mataku dan terlonjak kaget saat melihat Zian sudah duduk didepanku di meja makan, dia tampak melipatkan kedua tangan didadanya seperti sudah dari tadi mengamatiku. Dia tersenyum saat melihatku terbangun.
“Astagaaa… mie kuuuu…” Aku berlari kearah kompor dengan tergesa karena tersadar sebelumnya aku sedang merebus air. Tapi aku menemukan kompor sudah dalam keadaan mati dan panci yang aku gunakan tadi sudah berada di tempat cucian piring.
“Hei… Mie nya sudah masak, ayo makan,” Suara Zian memanggilku. Aku terkejut, iya benar di hadapan dia ada 2 mangkuk mie yang sudah matang.
“Wehh.. kamu masakin buat aku?” Aku kembali duduk di depan Zian. ”Aku benar-benar minta maaf karena ketiduran,”
“Iya… Lain kali jangan teledor ya, coba kalau pas tidak ada orang, kan bahaya,” Zian tersenyum sambil menyodorkan satu mangkuk mie ke hadapanku.
“Iya untung ada kamu, tapi kenapa kamu tidak membangunkan aku saja?”
“Kamu kelihatan lelah banget jadi tidak tega mau bangunin, kebetulan aku juga lapar jadi aku masak sekalian,”
“Mau pimpin doa lagi?” Ujar Zian tersenyum meledekku.
“Aisshh… berdoa sendiri-sendiri saja, lapaarrr…” Aku segera menyantap mie yang sudah tidak panas lagi. Sambil makan, kami berdua banyak bercerita, mungkin karena kami yang seumuran jadi kami berdua nyambung tentang banyak hal dan kami mempunyai banyak kesamaan, sama-sama hobi membaca dan nonton film.
“Davin sibuk banget ya? Pulangnya malam terus, kemana memang dia kalau malam-malam begini?” Tanya Zian di tengah-tengah obrolan kami.
“Entahlah, aku sendiri tidak tahu,” Jawabku sambil menyeruput teh manis yang baru saja aku bikin.  Aku menawarkan diri
“Kok tidak tahu, memangnya dia tidak memberi kabar”
“Ihh… mana mungkin dia ngasih kabar, memangnya aku siapa?” Jawabku spontan.
“Loh kan kamu istrinya? Lucu kamu,” Zian tertawa. Uupss.. sejenak aku segera tersadar.
“Ohh.. Emm.. dia ketemu.. eh nemenin bule, iya nemenin member perusahaan yang dari luar negeri, iya… iya… sedang ada bule yang training disini selama setahun” Aku sedikit gugup saat mendengar kata “istri”, ya.. aku kan disini istrinya Davin jadi jangan sampai kelihatan bahwa aku tidak tahu apa-apa tentang dia.
“Oh ya? Hmm…,” Zian hanya mengangguk – anggukkan kepalanya sambil memainkan sendok teh di gelasnya. Zian memanyun-manyunkan bibirnya tidak jelas, dengan mata menunduk memperhatikan gelasnya. Entah kenapa aku melihat Zian begitu cute saat dia seperti itu.
“Entahlah… kenapa aku melihatmu lebih seperti karyawannya Davin ya?”
“Wehh.. Ma.. Maksud kamu?” Aku terkejut mendengan ucapan Zian. Zian mendongak dan menatapku. Aku gugup dan membuang muka kearah jam di dinding. Zian tertawa kecil.
“Yaa... habis aku lihat kamu isinya hanya bekerja, bekerja dan bekerja kalau dirumah, jarang sekali melihat kalian mesra berdua, kecuali sarapan pagi kalau weekend baru kalian bareng semeja hahaa…”
“Iiishh… masa harus ngasih tahu kamu dulu memangnya kalau mau mesra-mesraan,” Kilahku
”Sudah ah, gantian cerita kamu coba, aku belum tahu tentang pekerjaanmu apa?” Aku mengalihkan perhatian dengan bertanya balik ke Zian.
Tidak terasa hampir dua jam kami masih asyik mengobrol di ruang makan, saat tiba-tiba terdengar suara ketukan dari pintu depan, Zian beranjak membukakan pintu, ternyata itu Davin. Davin tampak dipapah oleh Pak Endi, satpam rumah, sepertinya dia mabuk berat. Aku segera menyongsongnya.
“Mau saya anter ke kamar tidak, non?” Tanya Pak Endi
“Tidak usah pak, biar saya saja sini,” Aku meraih tangan Davin ke bahuku, menggantikan Pak Endi.
“Baik non, hati-hati… berat,” Ujar Pak Endi, dan diapun berpamitan. Zian mengunci kembali pintu dan berjalan mendahului aku yang kesusahan dengan badan Davin yang jauh lebih tinggi dariku. Zian seperti tidak peduli dengan Davin, aku perhatikan dari dia membuka pintu, sama sekali dia tidak berkomentar sedikitpun. matanya pun acuh melihat kondisi Davin yang mabuk seperti itu. Zian malah duduk di ruang tamu dan menyalakan TV. Mungkin dia belum mengantuk. Aku berusaha keras memapah Davin menuju kamar. Mulutnya begitu bau alcohol dan terus mengoceh tidak jelas.
“Haiss… sudah tua masih saja merepotkan kamu ini,” Gerutuku kesal, aku begitu kepayahan menopang badan Davin yang begitu  berat.
“Davinn… Bangun dulu, jalan sendiri ke kamar ih,” Dengan sebal aku menggoncang-goncangkan kepala Davin dengan kepalaku sendiri karena kepalanya menimpa kepalaku sehingga membuatku susah melihat kedepan, saat menaiki tangga lantai didekat ruang TV aku tersandung dan kami berdua jatuh.
Aoww..!! Kepalaku terantuk bibir Davin dan sakit karena pas terkena giginya.  Davin hanya mengaduh lirih, aku benar-benar tidak tahan dengan bau mulutnya, aku jitak kepalanya karena kesal. Tiba-tiba Zian menarik tangan Davin dan memapah di bahunya.
“Buruan… Bukain pintu kamarnya,” Zian melihat kearahku dengan raut terpaksa tentunya. Mungkin karena kasihan melihatku. Aku buru-buru bangun dan membukakan pintu kamar yang tinggal 3 meter lagi dari tempat kami.  Zian masuk dengan setengah menyeret Davin dan langsung menjatuhkan Davin di tempat tidur. Aku membantunya mengangkat kaki Davin dan melepaskan sepatunya. Tanpa seperhatianku ternyata Zian mengamati kamarku. Kening Zian berkerut saat melihat hanya ada satu bantal yang ada di tempat tidur itu sedangkan satu bantal lagi tampak di sofa yang ditata seperti tempat tidur dengan menggabungkan dua sofa, lengkap dengan selimut warna pink diatasnya.
“Naniya…” Panggil Zian sambil memandangiku yang sedang melepas kaos kaki Davin.
“Ya... “ jawabku tanpa menoleh.
“Kalian tidur terpisah?” Tanya Zian bernada aneh. Deg! Tanganku terhenti mendengar pertanyaan Zian. Duhh… aku lupa tentang kondisi kamarku selama ini, tidak terpikir bahwa akan ada orang lain yang masuk ke kamar ini selain aku dan Davin. Aku menoleh ke arah Zian, dan mataku bertemu dengan mata Zian, Ahh… mata itu, entah kenapa hatiku bergetar tidak jelas, dan aku tahu kali ini bukan karena pertanyaan Zian barusan. Aku buru-buru mengalihkan pandanganku karena tidak kuasa melihat matanya.
“Tentu saja tidak” Sangkalku dengan suara sedikit gugup.
“Lalu bantal yang di sofa itu kenapa?”
“Oohh.. itu anu.. emm.. Davin kemarin tidur disitu, biasalah kemarin dia ngambek ke aku sedikit, dan aku lupa belum bereskan tadi pagi,”
“Davin? Dengan selimut pink? Yakin kamu?” Zian terlihat tidak percaya dengan jawabanku. Aku buru-buru berdiri dan mendorong tubuh Zian untuk keluar dari kamar.
“Sudah malam Zian… sebaiknya kamu kembali ke kamarmu,”
“Nan…” Zian menahan bahuku, dia menatap dalam ke mataku.
“Kalau Davin memperlakukanmu dengan tidak baik, beritahu aku”
“Apaan sih kamu,” Sergahku sambil membuang pandanganku dan melepaskan tangan Zian dari bahuku.
“Kamu bohong, Nan…” Ucap Zian lirih, ”Kamu menutupi sesuatu,”
“Maaf Zian… Ini sudah terlalu larut,” Aku segera menutup pintu kamar dan meninggalkan Zian yang masih berdiri dengan penasaran yang masih memenuhi pikirannya. Malam itu aku tidak bisa memejamkan mataku, bukan karena tertangkap basah oleh Zian tentang keadaan kamarku, tapi karena teringat tatapan mata Zian. Tuhan, jika boleh meminta, aku ingin dialah orangnya.
***
“Naniyaaa!!” Teriakan tepat ditelingaku membuatku terlonjak kaget bangun dari tidurku. Aku membuka setengah mataku yang benar-benar masih berat karena merasa baru tidur. Wajah Davin tampak tepat di depan wajahku membuatku terkaget untuk kedua kalinya.
“Gila ya kamu!” Semprotku kesal dan menarik kembali selimutku hingga menutupi kepalaku.
“Hey… Bangun Naniya! Kamu tidak boleh  tidur lagi sebelum memberitahuku apa yang terjadi dengan bibirku,” Sambar Davin dengan sigap menarik selimutku.
“Aarrghh… Apaan sih kamu, Davinnn?” Aku bangun duduk melotot ke arah Davin tapi justru kali ini aku kembali terkaget untuk ketiga kalinya melihat bibir Davin. Bibir bagian atasnya tampak bengkak begitu besar dan merah, ada luka pecah terlihat.
“Waduhh.. kok bisa begitu?” Tanyaku spontan terbelalak, tapi sedetik kemudian aku malah tertawa karena tidak tahan melihat wajah Davin dengan bibir seperti itu. Davin yang sebal karena aku tertawakan memukulkan kepalaku.
“Hihhh! Malah tertawa lagi,”
“Aduhh… Sakit!” Aku merasakan sakit dibagian yang dipukul Davin, aku meraba kepalaku, aku baru sadar kepalaku juga bengkak dan terasa ditangan ada sesuatu yang mengering disana. Davin langsung salah tingkah dan segera meminta maaf.
“So… Sorry, aku kekencengan ya mukulnya,” Ujarnya sambil mengusap rambutku, dia kaget saat tangannya merasakan kepalaku yang benjol.
“Kepala kamu kenapa? Sini aku lihat coba,” Davin menyibakkan rambutku.
“Ini kelakuan kamu tahu,” Ujarku sambil membiarkan Davin yang sibuk menyibak-nyibakkan rambutku, “Semalam kamu mabuk, aku tidak kuat memapahmu dan jatuh, gigi kamu kena kepalaku, makanya bibir kamu juga begitu”
“Bodoh! Kamu berdarah ini semalam kenapa bisa tidak terasa?” Davin menoyor jidatku gemas, “Sebentar aku ambil kotak obat”
Sejurus kemudian, aku duduk dengan mata setengah merem karena benar-benar masih mengantuk, membiarkan Davin duduk disebelahku menyisir pelan rambutku.
“Hehee.. Kamu membuatku teringat sama bapakku,”
“Ohya… kenapa?,” tanya Davin.
“Sejak ibu meninggal setiap sekolah bapak selalu yang menyisir rambutku, bahkan dia tidak mengijinkanku menyisir sendiri. Kata Bapak, menyisir rambut seseorang adalah bentuk kedekatan kita dengan orang itu, saat melakukannya kita bukan hanya secara fisik saja yang menjadi selangkah lebih dekat, tetapi bisa…. ,” Aku tidak meneruskan kata-kataku.
“Bisa kenapa? Ayo lanjutkan,” Kata Davin pensaran. Aku menggeleng sambil tersenyum dan menunjuk kepalaku supaya Davin segera mengobatinya. Diam-diam aku melanjutkan perkataanku dalam hati, “Ya… saat kita menyentuh kepala orang yang kita sisiri rambutnya itu bisa menumbuhkan rasa sayang dan selangkah lebih dekat juga di hati dan akan menimbulkan perasaan yang tenang mendadak dan akan muncul sekian persen rasa ingin dimanja sejenak”. Kalau Davin mendengar ini, dia bisa mengolok-olokku jadi aku memilih melanjutkannya dalam hati saja.
“Maafin aku ya Nan…” Ucap Davin lirih, tangannya menempelkan pelan kapas yang sudah dibasahi air hangat. Wajah Davin begitu dekat denganku, tarikan nafasnya begitu jelas ditelingaku membuatku sedikit aneh.
“Nan…” Davin memanggilku karena tidak mendengar responku.
“Naniyaa.. “Davin kembali mengguncang bahuku. Aku membuka mataku dengan berat.
“Vin…,” Aku menoleh kearah Davin dan menatapnya serius, “Boleh aku ngomong?”
“Ohya.. Silahkan” Ujar Davin sambil balik menatapku.
“Mending kamu mandi deh sekarang,”
“Ahh nanti saja, aku kelarin ngobati kepala kamu dulu,”
“Kalau begitu, bisa tidak kamu pakai masker sekarang?,”
“Wehh… Kenapa memang?” Alis Davin berkernyit.
“Mulut kamu bau,” Ucapku dengan suara lemas.
“Iissh.. Naniyaa.. Jujur banget sih kamu,” Davin melotot mendengar kata-kataku, dia segera meletakan kapas yang sedang dipegangnya dengan kesal dan segera menuju ke kamar mandi dengan malu tapi tetap saja mulutnya menggerutu.
“Pokoknya kamu juga harus bertanggung jawab dengan bibirku ini loh… Kita sama-sama terluka,” Seru Davin sambil menutup keras pintu kamar mandi. Aku mencibirkan bibirku sendiri mendengarnya dan kembali menarik selimut untuk tidur kembali. Baru memejamkan mata belum ada setengah jam, tiba-tiba aku merasakan perutku mules mendadak. Aku berlari ke kamar mandi berharap Davin belum mulai mandinya.
“Vinn… Aku dulu dong yang ke kamar mandi!,” Aku mengetuk keras pintu kamar mandi. Davin yang baru saja selesai menggosok giginya segera membuka pintu dengan hanya kepalanya saja yang nongol dipintu.
“Ada apa sayang? Kamu mau mandi bareng?” Davin tersenyum  jahil
“Please… jangan sekarang bercandanya, aku kebelet,” Sambarku dengan raut menyeringai menahan perutku yang sakit.
“Loh… Aku sudah buka baju loh, ya sini kalau mau bareng,” Ledek Davin sambil tetap menyembunyikan badannya dipintu.
“Jangan bohong kamu, keliatan dari cermin di dalam tuh kamu masih pakai baju kok,” Aku mendorong pintu kamar mandi dan berniat menarik tangan Davin untuk mendorongnya keluar, tapi karena aku terlalu buru-buru aku terpeleset dan Davin pun ikut jatuh menimpa badanku karena tangannya yang aku pegang otomatis ketarik olehku. Kali ini wajahnya tepat menyentuh pipiku.
“Aowww…!,” Aku merasakan sakit dibagian tulang ekorku. Sesaat aku meringis menahan sakit. Davin terkejut, sejenak dia tertegun seperti patung dan tidak segera bangun. Hening… dan aku mendengar suara detak jantung yang berdegub kencang.
”Vin… Ini bukan suara jantungku sepertinya,” Ucapku lirih memecah suasana hening. Davin seperti tersadar dan segera bangun dan membantuku berdiri dan langsung melangkah keluar dari kamar mandi.
“Vin… kamu tidak apa-apa kan?,” Tanyaku khawatir karena Davin tidak berkata apa-apa.
Davin hanya melambaikan tangannya kebelakang tanda dia baik-baik saja, aku pun segera menutup pintu kamar mandi.
Diluar kamar mandi, Davin berdiri terpatung di depan wastafel, dia memegangi dadanya yang entah kenapa masih berdetak kencang, Davin yakin ini bukan karena dia kaget karena jatuh, debar ini beda dari biasanya yang dia rasakan. Dia memandangi wajahnya di cermin, dan terbayang kejadian yang baru saja terjadi, saat dia terjatuh dan tanpa sengaja mencium pipiku.
“Apa itu yang membuat jantungmu berdegub kencang, Vin?” Davin bergumam lirih kepada diri sendirinya yang ada di cermin. Tuhan, jika boleh meminta, aku ingin dialah orangnya.
***
Jam di kantor menunjukan pukul 11.00 malam, staf kantor sudah pulang semua, tinggal aku sendiri yang masih sibuk dengan pekerjaanku ditemani Pak Nyoto, OB kantor. Ya… Sebulan lagi opening pabrik baru di Batu, Malang, aku harus menyusun materi dan presentasi produk untuk Davin, acara ini memang lumayan penting karena akan mengundang orang-orang penting dari pejabat-pejabat di daerah dan beberapa investor dari luar negeri, aku ingin se-perfect mungkin menyiapkan ini untuk Davin, karena ini adalah saatnya dia dilihat kemampuannya oleh orang-orang yang akan bekerja sama dengan perusahaannya.
Aku berhenti sejenak mengetik di laptopku dan meraih cangkir kopiku di meja ternyata cangkir itu telah kosong, ini cangkir kopi ketigaku hari ini. Biasanya perutku hanya mampu menampung 1 cangkir kopi, tapi hari ini aku sudah overdosis. Aku beranjak hendak memanggil Pak Nyoto yang menungguku di luar ruanganku untuk mengambilkanku air putih, tapi ternyata Pak Nyoto ketiduran di salah satu kursi staf, wajah tuanya tampak begitu lelah membuatku tidak tega membangunkannya dan memutuskan untuk membereskan perlengkapanku dan memilih segera pulang. Aku membangunkan Pak Nyoto, dia tampak terkejut melihatku berdiri dengan tas ditangan siap untuk pulang. Aku mengajaknya pulang dan menawarkan diri mengantarnya pulang, kebetulan rumah kami searah dan selain itu aku tidak bisa membiarkan Pak Nyoto yang sudah mengantuk begitu pulang berkendara. Pak Nyoto memang sering menemaniku lembur seperti ini, karena aku takut sendirian dikantor.
Hampir pukul 12.00 malam saat aku tiba di rumah, seperti biasa sepi, Davin pastinya juga belum pulang, aku tidak langsung ke kamar melainkan menuju ruang tengah dan kembali menggelar kerjaanku berniat menyelesaikan yang tertunda dikantor tadi karena ini akan dijadikan bahan meeting besok pagi. Aku menyalakan TV sebagai teman dan beranjak ke dapur mengambil air minum. Saat kembali aku kaget saat melihat Zian sudah duduk di sofa.
“Hei… Aku berisik ya?,” Tanyaku tidak enak hati melihat dia bangun. Zian mengangguk.
“Maaf ya… aku masih ada yang harus dikelarin soalnya buat besok,” Aku meminta maaf ke Zian. Zian tersenyum dan malah pindah tempat duduk ke depan laptopku.
“Sini, mana yang belum kelar? Aku bantuin biar cepet kelar,” Ujarnya.
“Ooh.. tidak perlu, aku cuma tinggal bikin slide ppt saja kok, tadi dikantor sudah selesai bikin materinya jadi tinggal copas,”
“Tidak apa, Naniya. Kamu duduk gih istirahat, aku yang kerjain, kebetulan aku juga lagi tidak bisa tidur,” Aku menyerah, akupun memberitahu Zian file pekerjaanku dan duduk disamping Zian sambil sesekali berdiskusi.
Ditengah obrolan, Zian mendapatiku ketiduran dengan kepalaku tanpa sengaja menyandar ke bahunya, dia membiarkannya dan melanjutkan mengetik dengan pelan-pelan seperti takut mengganggu tidurku. Tidak ada setengah jam Zian sudah selesai mengerjakan pekerjaanku, dia menoleh kearahku yang benar-benar terlelap, niatnya untuk membangunkanku dia urungkan karena tidak tega mengganggu tidurku. Zian mengamati wajahku yang penuh kelelahan, aku tertidur dengan mulut sedikit terbuka sehingga air liurku menetes ke baju Zian, tapi Zian tetap membiarkannya, dia hanya tersenyum sendiri melihatku dan mengambil handphone dari sakunya, sangat pelan sekali dia selfie sendiri memotretku yang tidur di bahunya, beberapa kali dia mengambil gambarku sebelum dikagetkan suara pintu gerbang terbuka, sebuah mobil tampak memasuki halaman. Davin pulang. Zian terkejut dan buru-buru membangunkanku dengan menepuk-nepuk pipiku, aku terbangun dan terkaget mendapati kepalaku sendiri bersandar ke bahu Zian, sesaat aku baru sadar bahwa aku ketiduran.
“Ahh… aku ketiduran ya? Maaf yaaa…,” Zian hanya tersenyum mengangguk sembari menggeser tempat duduknya menjauhiku. Tergagap aku mengelap ujung bibirku yang terasa basah.
“Wehh.. aku ngiler ini??,” Lagi-lagi Zian hanya tersenyum. Spontan aku mengambil tissue di meja dan segera mengelap-elapkan ke baju Zian dibagian bahu yang tampak basah, dengan muka memerah menahan malu aku berusaha membersihkan baju Zian. Zian mencoba melarangku dengan mengatakan bahwa itu tidak apa-apa, tapi aku tetap berusaha membersihkannya, pikirku setidaknya bau air liur / iler yang aku tinggalkan tidak akan begitu bau kalau aku terus menggosoknya dengan tissue.
“Sedang apa kalian?!,”Suara Davin mengejutkanku. Aku terpaku, dan Zian segera berdiri. Davin menatap tajam kearah Zian.
“Ada yang bisa jelasin, ada apa ini?,” Davin bertanya sekali lagi. Aku buru-buru berdiri dan menjelaskan ke Davin.
“Emm… ini, Zian tadi bantu kerjaanku dan tidak sengaja aku numpahin air ke bajunya,” Tatapan Davin tetap tajam kearah Zian seperti tidak menghiraukan jawabanku.
“Masuk kamu ke kamar!,” Davin mengalihkan pandangannya ke arahku, tatapannya penuh amarah, baru pertama kalinya aku melihat Davin semarah itu hingga aku tidak berani menatap kearahnya.
“Ahh.. sudahlah, aku benar-benar lelah hari ini, tidak punya tenaga lagi untuk ribut,” Aku segera menuju kamarku meninggalkan mereka berdua. Davin melangkah mendekati Zian, Zian berdiri membalas tatapan Davin dengan tajam.
“Sudah aku peringatkan kamu diawal, jangan suka mengganggu milik orang lain karena bisa saja kamu menginginkannya juga, Zian”
“Santai, ini tidak seperti yang kamu pikirkan, Vin.” Zian menjawab Davin dengan santai,” Aku cuma membantunya menyelesaikan pekerjaan kantornya,”
“Pintar sekali kamu beralasan, pekerjaan kantor? Hahh… persis seperti ibumu dulu,” Suara Davin penuh tekanan. Zian bereaksi mendengar nama ibunya disebut.
“Apa pedulimu dengan Naniya memang? Aku heran, dia istrimu? tapi kamu tidak pernah ada disampingnya. Dia karyawanmu? Tapi kamu juga tidak pernah peduli dengan pekerjaannya, hampir tiap hari dia membawa pekerjaannya ke rumah pun kamu tidak pernah tahu itu karena kamu tidak peduli, yang kamu pedulikan adalah kehidupanmu sendiri diluar yang kita semua disini termasuk istri kamu tidak tahu seperti apa!,”
“Hati-hati kamu kalau bicara!,”Davin mencengkram lengan Zian tapi Zian mengibaskan tangan Davin dengan keras.
“Aku tahu apa yang terjadi dengan pernikahan kalian,” Zian seperti menantang Davin yang nafasnya mulai penuh emosi,” Dia orang baik, jadi kalau kamu tidak bisa membahagiakannya, beritahu aku.” Zian beranjak pergi meninggalkan Davin yang menatap langkah Zian dengan penuh kebencian. Davin menatap meja yang penuh dengan berkasku yang belum sempat aku bereskan, dia membereskannya dan memasukannya ke tas kerjaku dan membawanya ke kamar. Didalam kamar, Davin melihatku sudah tertidur pulas di sofa dengan posisi tengkurap, satu kakiku menggantung ke lantai. Dia melangkah mendekatiku, lama dia mengamati raut lelahku, kata-kata Zian kembali terngiang ditelinganya, tiba-tiba ada rasa takut kehilangan menyusup di hatinya. Davin mengusap pelan rambutku yang berantakan, aku menggeliat dalam tidurku sehingga posisi tidurku berganti terlentang, Davin sedikit tercekat melihat posisi tidurku, fantasi aneh sekilas melintas dibenaknya, tapi segera buyar saat dia melihat kearah wajahku, mulutku melongo dan mulai mendekur kecil.
“Iisshh… ini cewek bener-bener deh,” Gerutu Davin sendiri. Dia mengambil selimutku yang jatuh dan melemparnya menutupi mukaku dan berjalan kearah tempat tidurnya. Tapi langkahnya terhenti, dia menatap tempat tidurnya yang luas dan nyaman, dia menatapku kembali yang tidur di sofa, Davin tiba-tiba merasa malu dengan dirinya sendiri yang selama ini begitu egois tidur dengan enak di tempat tidur, dekuran kecilku yang masih terdengar membuatnya merasa semakin bersalah, bagaimana Naniya tidak mendekur kalau dia tidur ditempat yang tidak nyaman? Pikirnya. Davin pun berjalan kembali ke arahku, dia tersenyum konyol saat kembali melihatku yang tidur dengan mulut melongo. Dia mengambil handphone dan iseng memotretku beberapa kali, kemudian dia membopongku dan  memindahkanku ke tempat tidurnya. Aku tidak sadar dengan apa yang terjadi, raga dan pikiranku benar-benar lelah luar biasa hari ini, sesaat aku hanya merasa tubuhku menjadi lebih nyaman saja dan kemudian kembali lelap tertidur.
Davin merebahkan diri di sofa tempatku tidur sebelumnya, dia membuka handphone nya dan tersenyum-senyum sendiri melihat potoku yang dia ambil tadi. Davin sebal melihat tampangku di poto itu karena dia tidak suka wanita tidur melongo tapi entah kenapa hatinya tersenyum senang. Sementara itu, di ruangan lain, tampak Zian berbaring di tempat tidurnya, dia juga tampak  tersenyum-senyum sendiri dengan matanya lekat menatap ke handphone-nya, ternyata dia juga sedang menatap potoku yang tidur melongo bersandar dibahunya tadi. Ya... Dua orang pria sama – sama tersenyum dalam waktu yang sama karena orang yang sama, yaitu aku, ya… aku yang sedang bermimpi tidur dipangkuan ayahku yang mengelus-elus sayang rambutku. Sungguh, skenario Tuhan tidak bisa ditebak.
***
Sejak kejadian malam itu, Davin mengajakku pindah dari rumah ayahnya, dengan alasan ingin belajar lebih mandiri, keluarga mengijinkan keinginan Davin. Aku tahu Davin sengaja menjauhkanku dari Zian sehingga mengajakku pindah tiba-tiba, tapi aku tidak bisa protes, bagaimanapun aku memang terikat kontrak dengan Davin dan setelah aku pikir kepindahan ini juga bagus buatku supaya lebih fokus ke tujuanku menyelesaikan tugas mendampingi Davin. Hari itu, semua membantu kepindahan kami ke apartment dekat kantor, hanya Zian yang tidak terlihat mengantar kami. Mungkin dia sibuk, pikirku. Tapi entah kenapa aku sedikit kecewa saat melihatnya tidak ada.
“Kalian baik-baik ya, yang rukun, kalau ada apa-apa segera telepon ayah,” Pesan Ayahnya Davin saat mereka berpamitan pulang.
“Iya… cepet-cepet bikin cucu yang lucu ya,” Ibu Ros berseloroh.
“Wah… itu yang wajib, sudah 6 bulan kalian berumah tangga, sudah cukup masa bulan madu berduanya, sekarang saatnya kalian mempunyai momongan,” Ujar Ayah Davin bersemangat. Aku dan Davin tertawa kaku.
“Nah… Ayah tahu itu, kenapa Ayah masih berlama-lama pamitannya? Kami berdua akan membuatkan ayah cucu yang lucu sekarang juga, iya kan sayang?,” Davin memeluk lenganku mesra, aku menggerutu dalam hati, bisa-bisanya Davin bercanda mengenai anak yang jelas-jelas tidak bisa kami wujudkan. Aku tertawa sambil menyubit lengan Davin menanggapi ucapan Davin itu. Kami mengantar mereka sampai lobi, tangan Davin tidak berhenti memeluk lenganku, entahlah berakting mesra seperti itu menurutku tidak perlu, tapi dia tampak senang melihat Ayahnya tersenyum bahagia melihat kami. Begitu mobil ayahnya Davin berjalan meninggalkan kami, aku segera menyingkirkan tangan Davin.
“Sudah aktingnya!,” Seruku sebal. Entahlah dimataku Davin selalu menyebalkan.
“Haiss… Kenapa aku tidak boleh memeluk istriku sendiri?,” Davin menimpaliku dengan sengaja bersuara keras, orang-orang disekitar kami sampai menengok kearah kami. Aku buru-buru berjalan meninggalkan lobi meninggalkan Davin.
“Sayang.. tunggu. Dengar kata Ayah kan? Dia ingin cepat punya cucu loh,” Davin mengejarku sambil tertawa-tawa, sampai-sampai resepsionist lobi ikut tersenyum-senyum mendengar seruan Davin.
Aku baru selesai menggosok gigiku saat melihat Davin menata barang-barang di sofaku.
“Hey.., kenapa ditumpuk disitu? Itu tempatku tidur,” Ujarku heran.
“Tidak ada yang tidur di sofa lagi mulai hari ini, semua tidur ditempat tidur,”
“Jangan mulai deh kamu, Vin,”
“Sudah sini…,” Davin menarik tanganku dan memaksaku untuk berbaring di tempat tidur,” Sekarang disini tempatmu tidur, aku juga akan tidur di sebelahmu, aku janji tidak akan macam-macam ke kamu. Ok?,”
“Awas ya kamu kalau kurang ajar,’’ Ancamku sambil menata guling ditengah-tengah kami. Davin tertawa dan dia menumpuk satu guling lagi diatas gulingku sehingga kami berdua tidak bisa saling melihat.
“Nah…. Tenang kan kamu sekarang? Aku sudah bangunin tembok tinggi tuh buat kamu,”
Aku tersenyum sambil menarik selimutku sampai kepalaku. Tuhan… Semoga Davin menyenangkan seperti ini seterusnya.
***
3 minggu menjelang pembukaan pabrik di Malang, Davin mulai menunjukan perubahan, dia full time dikantor dan mulai serius mempelajari apa-apa yang aku ajarkan, hampir setiap hari kami pulang kerja bersama dan dia sudah tidak pergi larut malam lagi. Iseng aku pernah bertanya, apa yang membuatnya berubah? Jawabannya membuatku sedikit terkejut, Zian. Ya… dia tidak ingin Zian membantuku lagi dalam pekerjaan, karena itu dia merasa harus bisa semua pekerjaan supaya aku tidak keteter lagi dalam bekerja. Dalam hatiku aku merasa bersalah karena sebenarnya diam-diam Zian sering menemuiku, kami sering berkomunikasi melalui pesan singkat membicarakan banyak hal dan dia juga sering membawakanku minuman atau makanan di jam kantor, Zian beralasan kebetulan dia sedang lewat dekat kantorku jadi aku tidak bisa menolaknya. Biarpun Zian sering mampir ke kantor tapi selama ini kami hanya bertemu di lobi dan kami tidak pernah ngobrol lama. Selain memang aku sibuk, aku juga tidak ingin terlihat oleh Davin. Pernikahanku dengan Davin memang hanya terikat oleh perjanjian semata, kalau aku mau sebenarnya perasaanku bebas saja ingin menemui siapa saja yang aku mau tapi aku menghargai perasaan Davin yang tidak menyukai aku dekat dengan Zian.
Selain perubahan Davin yang menjadi lebih rajin bekerja, di rumah juga Davin berubah menjadi lebih manis sikapnya biarpun caranya masih selalu menyebalkan buatku dan Davin menepati janjinya tentang peraturan di tempat tidur, tidak pernah sekalipun Davin mengganggu atau menyentuhku, itu membuatku bisa tidur nyenyak biarpun satu ranjang dengannya dan membuatku bangun selalu keduluan Davin sekarang. Ini menyebabkan Davin mempunyai kebiasaan baru setiap bangun pagi, Davin selalu membangunkanku dengan berbagai cara konyolnya dengan mengagetkanku.
Terkadang Davin tiba-tiba meneteskan madu di mulutku yang masih tertidur, begitu aku terkaget bangun, aku akan melihat cengiran Davin yang dengan begitu bahagia berkata” Selamat pagi tuan putri yang manis, selamat menikmati pagi yang manis dengan madu yang manis dari pangeran yang manis,”
Terkadang tiba-tiba aku terbangun karena mendengar bunyi keras dari kamera “cekrak..cekrek..cekrak..cekrek..”, ternyata Davin lagi asyik memotretku yang masih ileran,” Bangun sekarang atau poto-potomu akan tersebar di internet hayooo…,” teriaknya sambil tertawa-tawa kesenangan.
Aku pernah shock karena Davin membangunkanku dengan hair dryer, bagaimana tidak kaget? Orang sedang asyik-asyik terlelap tidur, tiba-tiba telinganya di todong tiupan kencang hair dryer, saat aku marah protes, Davin seperti biasa dengan muka tidak bersalah beralibi bahwa dia memang sedang mengeringkan rambutnya kok, ya tapi kenapa harus duduk dilantai samping tempat tidurku persis, yang bikin kepala dia dan rambut dia jadi sejajar sama mukaku yang masih tidur ditempat tidur coba? Huhh.. sengaja banget dia.
Bahkan pernah saat aku benar-benar masih lelah habis lembur dan harus meeting pagi-pagi, aku terbangun oleh suara Davin membaca Yassin, dia membaca Yassin tepat di telingaku dengan bibir dia hampir menyentuh telingaku seolah-olah dia sedang mendoakan orang sakit. Dan disaat aku membuka mataku yang masih keryip-keryip dia akan berteriak seperti orang gila,”Ya Allah… terima kasih, ternyata Naniya masih hidup,”. Kalau sudah begitu aku akan melemparnya dengan bantal karena kesal.
Pagi itu, tidak seperti biasa. Davin sebenarnya sudah lama terbangun, tapi dia tidak segera beranjak dari tempat tidur seperti biasa, dia tampak tersenyum – senyum sendiri sambil menatap langit kamar entah karena membayangkan apa, tidak berapa lama aku terbangun sendiri, ahh… senangnya terbangun karena memang tubuh sudah kenyang tidur, bukan bangun karena gangguan Davin. Aku membuka mataku, aku melihat Davin masih berbaring di sampingku.
“Wehh.. tumben kamu belum bangun?,” tanyaku lirih dengan suara parau khas orang bangun tidur,” Sakit kamu?,”
Davin menengok ke arahku, dia tersenyum,”Bagaimana bisa bangun kalau kakimu ngunci kakiku seperti sekarang”. Aku terkejut, eh iya aku baru sadar ternyata kaki kananku memeluk kaki kanan Davin, posisi seperti mengunci guling. Aku langsung menarik kakiku dan duduk bangun dengan muka memerah malu.
“Iishh… Kenapa diam saja kamu? Kesempatan dalam kesempitan ya kamu?,” gerutuku. Davin mengacak-acak rambutku sambil beranjak dari tempat tidur.
“Maaf ya aku tidak berselera dengan wanita yang masih penuh iler,” Ujar Davin sambil menutup pintu kamar mandi. Aku memanyunkan bibirku kesal sendiri, aku menyentuh rambutku yang bekas diacak-acak Davin, aku tersenyum sendiri, aku teringat bapak yang selalu mengacak-acak rambutku setiap aku nakal.
***
3 hari menjelang keberangkatanku dan Davin ke Malang, aku harus mampir ke rumah ayahnya Davin untuk mengambil sebuah berkas kantor yang tertinggal saat aku masih tinggal di rumah itu, Ayahnya Davin sendiri dengan ibu Ros dan Nino aku dengar sudah berangkat duluan ke Malang sembari berlibur. Rumah sepi saat aku tiba disana, aku sengaja datang tengah hari supaya aku tidak bertemu dengan Zian. Dan kebetulan hari itu, aku tidak melihat mobil Zian berarti dia sedang tidak ada dirumah. Saat aku menuju ke kamarku, aku melihat kamar Zian pintunya terbuka separuh, aku berniat menutupnya, tapi tiba-tiba aku penasaran ingin melihat kamar Zian seperti apa. Aku membuka pintu kamar Zian lebih lebar, kamar yang rapi untuk seukuran lelaki, ada TV di dalamnya, aku hanya membantin sendiri, kalau dia punya TV di kamarnya kenapa selama ini dia selalu nonton di ruang tengah saat malam  tiba?, mataku menangkap beberapa poto yang menempel di kaca lemari Zian, aku melangkah masuk karena ingin melihatnya lebih jelas, dan betapa terkejutnya aku saat aku tahu, itu adalah potoku yang tampak tertidur di bahu Zian, mulutku tampak melongo sedikit, aku tersenyum malu sendiri melihatnya, konyol… kenapa Zian sampai memajang potoku seperti ini?
Bunyi panggilan masuk di Handphoneku membuatku kaget, Davin menelpon.
“Ya Vin… sudah ketemu dokumennya kok, aku segera ke kantor sekarang,” Jawabku. Aku menutup teleponku, aku menatap poto yang dipajang Zian, aku melepasnya dari kaca lemari dan memasukan ke tasku, “Maaf Zian… ini tidak benar”.
***
Sore itu, aku masih menyelesaikan packing bajuku dan Davin di Apartment, sedang Davin masih dikantor untuk menyiapkan beberapa dokumen untuk dibawa ke Malang, kami membagi tugas supaya bisa mengejar pesawat kami yang malam ini jadwalnya karena besok satu hari sebelum acara kami harus melakukan gladi bersih dulu. Aku masih baru memasukan setengah tumpukan baju ke dalam koper saat aku mendengar bunyi bel pintu, Ahh… Davin cepat sekali selesainya, bahkan aku belum kelar, pikirku.
Aku membukakan pintu dengan tergesa, Deg… bukan Davin, tapi Zian yang ada dibalik pintu itu. Zian menangkap sedikit keterkejutan melalui mataku. Aku mempersilahkannya masuk. Dan kami berdua sempat terdiam beberapa menit, Zian yang duduk di depanku menatapku lekat, membuatku mulai sedikit risih.
“Ada perlu apa kamu kesini? Davin sebentar lagi pulang,” tanyaku membuka percakapan.
“Iya aku tidak akan  lama kok,” Kata Zian sambil tersenyum, dia menghela nafas sejenak seperti mengatur suaranya.
“Nan, aku kehilangan beberapa poto dikamarku,” Mata kami bertemu.
“Kata Pak Endi, kemarin kamu ke rumah. Emm.. apa kamu tahu tentang poto yang aku maksud?” Zian bertanya hati-hati kepadaku.
“Iya aku tahu, aku yang mengambilnya, Zian,” Jawabku.
“Kenapa Nan?,”
“Karena itu tidak benar,” Jawabku lagi, aku menatap pasti ke Zian,” Bagaimanapun aku adalah iparmu, bisa menimbulkan salah paham kalau ada orang yang melihat kamu memajang potoku seperti itu,”
“Itu benar, Nan. Benar kalau aku memang menyukaimu, entah kapan tepatnya tapi aku selalu merasakan nyaman saat bersama kamu, aku mengakui ke diriku sendiri bahwa aku jatuh cinta ke kamu” Zian menatap dalam ke mataku seolah meyakinkanku. ”Setelah kontrakmu dengan Davin berakhir, tidak bisakah kita memulai hal baru bersama?”
Aku terkejut dengan pernyataan Zian, selama ini aku memang merasa nyaman berbincang banyak hal dengan Zian tapi aku belum pernah kepikiran kesana.
“Kau tahu, Zian? Kata orang, rasa nyaman bisa lebih berbahaya dari jatuh cinta. Menurutku, kamu harus lebih berhati-hati dengan rasa itu, gimanapun aku adalah istri kakakmu, sebaiknya kamu pulang sekarang, aku tidak mau Davin melihatmu disini,” Ujarku sambil beranjak berniat membukakan pintu. Tiba-tiba Zian menarik tanganku.
“Tolong katakan, apa kamu benar-benar menyukai Davin?,” Suara Zian sedikit bergetar. Aku terpaku dengan pertanyaan Zian, bahkan aku sendiri tidak tahu apa yang aku rasakan selama ini ke Davin.
“Aku sendiri tidak tahu, tolong jangan tanyakan itu,” Aku berusaha melepaskan tanganku dari pegangan Zian, tapi Zian malah berganti memegang kedua bahuku.
  ” Tolong jawab, Nan… Supaya aku tahu kejelasannya,” Matanya setengah memohon,” Apa kamu merasakan nyaman dengan Davin seperti layaknya suami istri?,”
“Tentu saja tidak begitu, aku dan Davin hanya terikat oleh perjanjian,” Seruku mulai kesal dengan situasi yang ada. Tanpa kami sadari ternyata Davin sudah berdiri di pintu, dia melihat Zian yang masih memegang bahuku dan dia mendengar juga ucapanku yang terakhir. Zian melepas pegangannya, dia tersenyum kearah Davin.
“Kamu dengar sendiri kan? Aku memberitahumu, aku akan memulainya kembali untuk Naniya setelah kontrak kalian berakhir,” Ucap Zian saat berpapasan dengan Davin di pintu sebelum dia pergi.  Aku terpaku tanpa bisa menjelaskan apa-apa, aku ingin menjelaskan bahwa yang dikatakan Zian bukan seperti yang aku maksud, tapi raut wajah Davin yang merah seperti menahan amarah membuatku tidak berani mengatakan sepatah katapun.
Malam itu, dari berangkat ke bandara hingga di dalam pesawat, Davin sukses mendiamkanku, bahkan setelah tiba di Malang dan masuk kamar hotel, kami berdua masih saling diam, aku begitu ingin memulai percakapan duluan tapi Davin seperti menghindariku. Makan malampun Davin memisahkan diri dengan keluarga. Saat Davin kembali ke kamar hotel dan melihatku sudah bersiap-siap tidur di tempat tidur, Davin memilih mengambil bantal dan membaringkan tubuhnya di sofa. Ahh… Aku tidak tahan lagi didiamkan seperti itu, dengan gemas, aku menarik bantal dari kepala Davin.
“Tidak ada yang tidur di sofa lagi, semua tidur ditempat tidur,” Ujarku menirukan kata-kata Davin saat kami pertama pindah ke Apartment. Aku menarik tangannya untuk bangun dan pindah ke tempat tidur, aku mendengar Davin menghela nafas kesal tanpa mengeluarkan suaranya. Dengan dingin dia langsung memejamkan matanya berbaring disampingku, tampaknya Davin benar-benar tersinggung hebat, bahkan saat tidur tanpa sengaja kakiku menyentuh kakinya saja, Davin langsung memalingkan badannya.
***
Gladi bersih berjalan dengan lancar, aku dan Davin tenggelam dalam kesibukan masing-masing mempersiapkan opening ceremony buat besok, dia mengajakku bicara hanya jika ada yang menyangkut pekerjaan yang perlu didiskusikan saja, selebihnya dia masih dingin, saat istirahat juga dia lebih asyik berkumpul dengan teman-temannya dari Jakarta yang dia undang secara mendadak. Aku berencana mengajak Davin bicara setelah ceremony selesai nanti.
Acara pembukaan pabrik baru malam itu berjalan lancar, Davin yang tampak gagah dengan setelah jas hitamnya tampil tanpa cela, dia tampak begitu meyakinkan saat berbicara memberi sambutan, presentasi skema produksipun dia tampilkan dengan begitu baik, aku melihat para investor yang hadir mengangguk-angguk puas dengan gambaran yang dipaparkan Davin. Ayahnya Davin pun begitu bangga melihatnya. Ahh… dia belajar begitu baik, aku tersenyum lega melihat semuanya.
Saat memasuki acara bebas, aku disuruhnya Ayahnya Davin menemani Davin menemui satu persatu tamu penting yang hadir, kami berdua berakting begitu baik sebagai sepasang suami istri, Davin menaruh tanganku di lenganku supaya terlihat harmonis, aku sedikit lega karena merasa batu es di kepala Davin sudah mulai mencair, tapi aku salah, begitu tamu-tamu penting itu pulang, dia langsung meninggalkanku bergabung dengan teman-temannya, mataku tidak lepas mengamati sosok Davin yang terlihat tertawa-tawa bahagia, aku menunggu waktu untuk mendapat kesempatan mendekati dia dan bicara. Hingga lewat tengah malam, Davin masih saja asyik dengan teman-temannya, aku mulai menggigil kedinginan di udara malang malam itu, ayah dan ibu Ros tampak sudah kembali ke kamarnya, tinggal beberapa orang saja yang masih bercengkrama, menyadari aku tidak mempunyai teman, aku beranjak hendak kembali ke kamar hotel tapi langkahku terhenti saat tiba-tiba ada seseorang yang menaruh jasnya ke pundakku.
“Pakailah, kamu sudah terlalu lama menahan dingin dari tadi,” Aku menoleh, tampak Zian tersenyum. Aku kaget karena selama acara aku tidak melihat dia sama sekali.
“Zian… kamu disini juga? Kok tidak kelihatan dari kemarin?,”
“Yaa.. aku kan memang tidak pernah terlihat sama kamu, Nan,” Ujarnya bercanda, kami berdua tertawa. Zian meminta maaf atas kelancangannya di apartment tempo hari.
“Kau tahu, Nan? Kenapa aku berani datang ke apartment kemarin? Aku pernah membaca info psikologi, bahwa naksir seseorang hanya akan bertahan selama empat bulan, jika lebih dari itu berarti kamu benar-benar jatuh cinta kepadanya. Karena itu aku pernah berdoa, kuharap itu kau, karena rasa ini sudah mulai seperti nafas, yang setiap tarikannya tidak bisa kusembunyikan lagi. Hal itulah yang mendorongku berani menemuimu,” Aku tertawa mendengar kalimat Zian yang panjang lebar itu.
“Hei… itu benar tahu? Yahh… sesaat aku sempat kehilangan diriku, aku pikir posisimu hanyalah seperti di perjanjianmu dengan Davin saja, yang hatinya tidak terikat, tapi aku tidak berpikir bahwa ternyata kebersamaan kalian mungkin saja menimbulkan rasa diantara kalian. Well... Bagaimanapun sekarang kamu adalah istri orang lain, biarpun hanya kontrak, tapi aku sempat lupa bahwa aku harus menghormati itu. Karena itu aku minta maaf ke kamu. Aku akan menjelaskan ke Davin juga nanti, Jadi kamu jangan khawatir,”
Aku menggenggam tangan Zian dengan tatapan penuh terima kasih karena dia mau mengerti keadaanku, bagaimanapun aku merasa bersalah juga karena mungkin sikapku ke Zian selama ini telah menumbuhkan harapan lebih di hati Zian yang membuatnya salah paham. Aku menghela nafas lega karena satu masalahku telah kelar, tinggal satu lagi yaitu menyelesaikannya dengan Davin, aku mengarahkan pandanganku kearah Davin, mataku bertemu dengan mata Davin yang ternyata sedang menatap tajam ke arahku dan Zian berdiri. Selama ngobrol dengan Zian, aku tidak memperhatikan bahwa ternyata Davin sudah mengamati kami berdua dari jauh. Ahh… dia pasti salah paham lagi. Akupun berpamitan ke Zian untuk kembali ke kamar duluan dan mengembalikan jas nya.
Hampir jam 2 pagi, tapi Davin belum kembali juga ke kamarnya, aku mengambil jaketku untuk bersiap-siap akan menyusulkan, saat tiba-tiba pintu kamar terbuka. Aku terkejut bukan main, Davin yang terlihat setengah mabuk dipapah wanita muda seksi masuk ke dalam kamar. Aku geram bukan main.
“Apa-apaan ini?!,” Seruku dengan suara gemetar. “Maaf mba, terima kasih sudah mengantar suami saya, sekarang silahkan keluar,”
“Hei… siapa kamu? Seenaknya menyuruh orang keluar, aku yang mengundangnya, kalau kamu tidak suka, silahkan kamu yang keluar dari kamar ini,” Ujar Davin cuek sambil membuka jas yang dipakainya dibantu wanita muda itu yang tersenyum menang ke arahku sambil menempelkan dadanya yang montok ke lengan Davin seperti ulet keket.
“Bertemu wanita lain bagiku bukan hanya merupakan bentuk pengkhianatan, tapi itu juga berarti bentuk kamu mengusirku dari hatimu perlahan,” Ucapku dengan mata berkaca-kaca menahan emosi. “Apa sekarang ini kamu sedang mengusirku, Vin? Tolong jawab!”
“Dan bertemu lelaki lain di rumah sendiri apa itu juga bukan merupakan bentuk pengkhianatan, Nan?” Davin menatap tajam ke arahku. Tangan Davin menyingkirkan tangan wanita yang dibawanya dan beranjak kearahku.
“Bagaimana bisa kamu mengkhianatiku terlebih dahulu saat status kita masih bersama? Bahkan saat kamu berpikir sudah tidak bisa melakukannya lagi, setidaknya terus lakukanlah sampai akhir,” Davin mendekatiku hingga wajahku begitu dekat dengannya, dia memegang pipiku dengan tangannya yang begitu dingin.
“Sekalipun hanya satu hari saja, aku ingin kita saling mencintai selayaknya pasangan sesungguhnya. Tapi kita berdua sama-sama terlalu keras untuk mengakui bahwa kita saling membutuhkan, bukan?” Davin dengan mata berkaca-kaca menatap mataku, dia mengusap rambutku dengan lembut. “Aku selalu ingin melakukan ini, menatap wajahmu 5 cm dari wajahku, setidaknya satu kali dalam pernikahan kita ini, aku ingin melakukan ini sambil memberitahumu bahwa aku mencintaimu, Nan,”
“Davin…” Suaraku tercekat.
“Naniya… aku tahu kamu tidak mencintaiku, tapi bahkan saat kamu berpikir sudah tidak bisa melakukannya lagi, setidaknya terus lakukanlah sampai akhir. Tetaplah seperti ini sampai akhir kontrak kita, setidaknya lakukanlah demi aku, karena aku benar-benar mencintaimu,”
Aku terisak mendengar pengakuan Davin, entah dapat kekuatan darimana tiba-tiba aku mencium bibir Davin, mata Davin sempat terbelalak kaget tidak menyangka dengan yang aku lakukan.
“I love you…,” Ucapku lirih sambil tersenyum meyakinkan Davin. Davin meraih pinggangku dan membalas ciumanku dengan begitu dalam. Kami berdua benar-benar merasakan kelegaan yang luar biasa.
“Hello… aku ada disini lohhhhh,” Seruan tiba-tiba dari wanita yang dibawa Davin tadi mengagetkan kami berdua, kami sama-sama tertawa konyol karena benar-benar telah mengabaikannya. Davin segera mengambil dompetnya dan memberikan sejumlah uang kepada wanita itu dan menyuruhnya keluar.
“Tapi om… aku kan belum dipakai,” Rajuk wanita itu seperti tidak ingin meninggalkan kamar kami,” Kita main sekali deh ya, ahhh… aku penasaran sama om yang ganteng maksimal ini,” Rayunya sambil menggelayut manja.
“Haisss… ini ulet keket ya, enak saja mau nyobain om ganteng, aku yang istrinya juga belum pernah nyobain,” Ujarku gemas mendengar ucapan wanita muda itu, dan menarik tangannya keluar kamar. Davin tertawa tergelak mendengar ucapanku, malam itu kami berdua tidur nyenyak, tidak ada lagi guling ditengah-tengah kami, tidak ada lagi hal-hal konyol yang akan membangunkan pagiku selain pelukan hangat dari suamiku.
Besok sorenya, kami mengantar keluarganya Davin kembali ke Jakarta, Davin memberitahu mereka bahwa kami berdua akan tinggal lebih lama untuk sekalian berbulan madu. Ayahnya Davin kembali berpesan,” Ya… buatkan ayah cucu yang lucu segera,” dan  aku dan Davin kompak menjawab,” Siap, yah”.
Begitulah, doa itu seperti kayungan sepeda, semakin kita sering mengayuhnya, semakin dekat pula dengan tujuannya. Jangan pernah berhenti untuk meminta (berdoa) kepada Tuhanmu  apapun keinginanmu itu, sebut dan tunjuk saja “Tuhan… Aku mau yang itu…” sebanyak kamu bisa meminta, mengenai dikabulkan atau tidak, itu biarlah menjadi rahasia-Nya. Seperti aku, biarpun aku pernah berdoa kepada Tuhan bahwa aku mau Zian, ternyata Tuhan memberiku Davin. Ya… Tuhan tidak memberikan apa yang kita mau, melainkan apa yang kita butuhkan. Apa yang kita anggap baik oleh kita, belum tentu baik untuk kita, dan terkadang apa yang kita anggap buruk untuk kita, justru mungkin itu yang terbaik untuk kita. Semua hal akan biasa karena terbiasa.

*Sekian*

NB: Jalan cerita, nama tokoh dan lainnya hanya karangan belaka, pembaca dilarang baper ^.^.
Pembaca yang bijak akan  meninggalkan komentarnya buat penulis, karena menulis itu tidak ada sekolahnya, gurunya adalah kritik dan saran dari yang membaca tulisannya itu sendiri.
Happy Reading :)
The more you read, the more things you know.

Rabu, 14 September 2016

Love in Silence - Part 3 (Yang Hilang Takan Pernah Kembali)


       Bandar Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II, hari ini.
Aku menatap tiga sosok dalam pantulan dinding kaca yang ada di ruang tunggu keberangkatan, tampak seorang pria dan wanita berdiri mengapit seorang anak laki – laki yang tampak tersenyum lebar dengan kedua tangannya memegang tangan sang pria dan wanita itu, matanya bersinar penuh kebahagiaan, sang pria menyengirkan giginya lucu sambil mengetuk-ngetuk dinding kaca didepannya menunjuk ke arah bayangan anak laki-laki itu.
“Knock knock! Ciapa itu?? Kok rama ada dua? Mana yang anaknya Bapak Dokter nih ya?” Canda pria itu. Segera anak kecil itu memeluk sang pria dengan erat dan kami tertawa bersama. Ya… Tiga sosok ini adalah aku, Alan dan Rama. Hai.. siapa Rama? Rama adalah anak angkat Alan, anak umur 3 tahun yang hanya tinggal bersama neneknya, yang sekarang sudah setahun belakangan ini tinggal bersama Alan.
Hari ini kami bertiga akan terbang ke kampung halamanku, Alan berencana melamarku, setelah mengenalnya selama hampir 1 tahun ini, aku tidak bisa menolaknya saat dia mengutarakan niatnya itu, bagaimana bisa aku menolak pria yang benar – benar telah berhasil membuatku merasakan kembali rasanya jatuh cinta setelah bertahun – tahun hatiku seperti telah mati?. Aku duduk di kursi menelpon ibuku sambil mengamati Alan dan Rama yang bermain uncang – uncang. Ahh… betapa aku bersyukur bisa memiliki Alan yang begitu baik hati dan bisa membuat ceria orang-orang disekitarnya, terutama rama, anak sebatang kara yang hanya tinggal bersama neneknya itu selalu bisa tertawa saat bersama Alan, faktor kasihan yang membuat Alan awalnya membantu kehidupan Rama dan neneknya lama-lama berubah menjadi kasih sayang yang tulus, lebih – lebih saat ayahnya Rama yang konon bekerja sebagai TKI di luar negeri sudah tidak pernah ada kabar sama sekali. Alan memutuskan untuk memboyong mereka untuk tinggal bersamanya, Alan sudah menganggap Rama seperti anak sendiri. Dan aku tidak keberatan sama sekali dengan keputusan Alan tersebut, karena akupun begitu menyukai Rama, anak kecil yang mempunyai mata sendu yang khas, menyiratkan kesepian yang begitu dalam, membuat siapapun yang menatapnya akan merasa ingin memeluk tubuh kecil itu untuk menyayanginya. Aku selalu mengutuk ayah Rama yang telah demikian tega meninggalkan Rama diasuh neneknya seorang diri dan menghilang tanpa kabar, tapi Alan selalu menasehatiku bahwa setiap orang melakukan sesuatu pasti mempunyai alasan tersendiri jadi dia memintaku untuk lebih ikhlas dalam menyayangi Rama karena dia akan menjadi anakku juga sebentar lagi.
“Halo, Esti… Sudah sampai mana, nak?,”tanya ibuku disebrang telepon, suara tua itu terdengar penuh bahagia sejak kemarin mendengar anak perempuannya ini mau pulang kampung untuk dilamar.
“Iya ibu, ini mau ngabarin, Esti baru mau naik pesawat, ibu lagi dimana kok rame banget?,”
“Ibu lagi di pasar ini nak, coba kamu tebak lagi beli apa?,” Nada suara ibuku memancing, aku tersenyum sendiri membayangkan apa yang ibu beli.
“Terong ya?,” tebakku
“Tepat sekali. Ibu mau bikin pecak terong kesukaan kamu,” jawabnya sambil tertawa. Ibuku memang tidak pernah melupakan kesukaanku yang satu ini.
“Aahhh… udah 1 tahun lebih ga makan pecak buatan ibu nih, jadi makin pengin cepet nyampe rumah, ya udah nanti Esti langsung pulang ga mampir-mampir kok,”
“Ya hati – hati ya nak, ibu tunggu,” ibu menutup telponnya, berbarengan dengan Alan melambaikan tangannya memberitahuku bahwa penumpang sudah mulai bisa menaiki pesawat. Aku menenteng tas keperluan susu Rama, sedang Alan menggendong Rama dengan sigap. Aku menjajari langkah Alan dan melingkarkan tanganku di lengannya, dia menoleh ke arahku, aku tersenyum sambil berbisik lirih,” love you more”.
Ibu… PR besarmu kala itu sebentar lagi akan anakmu tuntaskan, pulang membawa calon menantu.
*****
       Hiruk pikuk di rumahku malam ini membuat aku tidak merasakan lelah dengan acara yang dari pagi baru saja aku lewati, acara lamaran berjalan lancar, tanggal pernikahan sudah ditentukan 6 bulan lagi dan rombongan keluarga Alan pun sudah pulang tadi sore, tersisa hanya rombongan keluarga yang dari jauh yang menginap malam ini, Rama tampak akrab bermain dengan keponakan – keponakanku, dia begitu bahagia karena menemukan banyak teman yang seumuran. Aku dan Alan duduk bersama dengan bapak dan ibu sambil mengawasi mereka dari ruang tamu.
       “Nak Alan, bisa ceritakan sedikit mengenai Rama?,”tanya bapakku,”Apa yang membuatmu tergugah untuk mengangkatnya sebagai anak?,”
Alan tersenyum, sambil memandangi Rama yang masih asik bermain, ingatannya melayang ke peristiwa 2 tahun lalu. Dan sejenak kemudian, kami sudah larut dalam cerita Alan tentang Rama.
Alan mengenal Rama  di sebuah rumah sakit kurang lebih 2 tahun lalu, saat itu ada sebuah kecelakaan menimpa seorang ibu muda, korban tabrak lari. Menurut kesaksian ibu muda yang menggendong anak kecil itu berjalan melamun dan tertabrak sebuah mobil. Anaknya tidak luka sedikitpun, sedang ibunya tewas ditempat. Saat itu Alan yang kebetulan sedang bertugas di Poli Anak, ikut memeriksa kondisi anak tersebut. Anak itu hanya ditemani neneknya yang sudah lanjut usia, yang wajahnya tidak berhenti meneteskan air mata selama pemeriksaan si anak, bahkan saat Alan memberitahu nenek tersebut bahwa cucunya baik-baik saja, nenek tersebut masih tetap menangis, ternyata dia menangis kebingungan karena pihak rumah sakit memberitahukan bahwa jenazah ibu dari anak itu sudah boleh dibawa pulang, tapi dia bingung harus dibawa kemana? Dikubur dimana?. Mereka adalah pendatang dan tidak mempunyai saudara sama sekali, tempat tinggalnya hanya sebuah rumah petakan kecil. Alan akhirnya ikut pulang mengantar jenazah perempuan itu dan mengajak warga sekitar tempat tinggal nenek itu untuk bersama – sama mengurus pemakamannya, Alan melihat nenek itu begitu tegar, dia tahu sang nenek menegarkan diri di tengah raganya yang lemah demi cucunya yang belum paham bahwa dia baru saja kehilangan ibunya. Sang nenek memberikan sebuah handphone dan sebuah buku tabungan dan atm ke Alan saat Alan pamit untuk pulang.
       “Nak Dokter, bolehkah nenek minta tolong sekali lagi?,”Alan melihat mata nenek itu berkaca-kaca seperti memohon
      ”Ayah Rama bekerja di Malaysia, bisakah nak dokter memberitahunya tentang yang menimpa ibunya Rama, selama ini nenek hanya tahu cara mengangkat telpon dari ayahnya rama di handphone ini, mata nenek sudah tidak bisa membaca tulisan jadi nomer telponnya yang manapun nenek tidak tahu, terakhir dia menelpon kami itu seminggu lalu, dia memberi kabar bahwa dia ada dikantor polisi, entah kasus apa yang menimpanya tapi dia minta maaf bahwa mungkin tidak bisa menghubungi kami lagi sementara waktu, hal ini pula yang membuat ibunya Rama sering melamun hingga terjadi kecelakaan itu,” Air mata sang nenek kembali bercucuran, dia menghela nafas seperti menahan sesak.
      “Entah dibuku tabungan itu masih ada uangnya atau tidak, tapi ibunya Rama yang biasa mengambilnya ke Bank setelah mendapat kiriman dari suaminya itu untuk kebutuhan sehari – hari. Nenek tidak tahu cara mengambil uangnya, kalau tidak keberatan maukah nak Dokter mengambilkan uangnya setiap bulan buat kami? Setidaknya sampai ayahnya Rama pulang, buku tabungan dan atm nya silahkan nak Dokter yang pegang,” Sang nenek memegang tangan Alan,” Biarpun nenek baru bertemu dengan nak Dokter, tapi nenek percaya nak Dokter orang baik, kami sudah tidak punya siapa – siapa lagi disini, tolong bantu kami,”
       Saat itu Alan tertegun, menatap nenek itu dan cucunya yang sudah terlelap di gendongan neneknya. Alan membuka buku tabungan yang diberikan nenek itu, sejenak tertegun melihat angka yang tercantum di buku itu, angka 100 dengan digit dibelakangnya 6 angka. Alan kemudian mengembalikan buku itu dan atmnya  kepada sang nenek. Nenek itu tampak sangat khawatir.
      “Kenapa nak? Apa ditabungan itu sudah tidak ada uangnya,” Alan tersenyum sambil memegang tangan sang nenek.
      "Uang ditabungan itu biar untuk kebutuhan Rama saja nek kelak, buat kebutuhan sehari-hari nanti Insha Allah saya yang akan bantu nenek, saya akan sering main kesini nek, kebetulan keluarga saya juga jauh dari sini, jadi saya akan anggap nenek dan Rama seperti keluarga sendiri,”
        Nenek itu memeluk Alan dan berterima kasih berkali-kali sambil menangis, malam itu akhirnya Alan memutuskan untuk menginap di rumah sang nenek, dan mencoba menghubungi nomer telpon yang ada di handphone yang diberikan nenek itu, hanya satu nomer telpon yang ada di nomer itu, tapi berkali –kali mencoba nomer itu sudah tetap tidak bisa dihubungi. Tidak ada petunjuk apa-apa selain nomer itu.
       “Begitu pak ceritanya,” Alan mengakhiri ceritanya,”karena itulah nomer itu sampai saat ini masih saya aktifkan, takutnya tiba-tiba ayah Rama meghubungi,”.
      "Subhanallah nak Alan… Semoga Allah membalas semua kebaikanmu ya,”ujar ibuku sambil menatap bangga ke arah Alan.
       "Seneng bisa kenal orang sebaik kamu, Lan” Aku mengusap-usap pelan pundak Alan, tangan Alan membalas dengan menepuk pelan tanganku.
      "Eh... lalu uang di tabungan nenek kamu apain?"
      "Engga aku apa-apain lah, tahu pin atm-nya saja engga," Kamipun tergelak bersama.
       “Alhamdulillah… sepertinya kali ini putri bapak benar-benar mendapat jodoh yang baik,” Bapakku melempar senyum ke arahku,” Semoga tidak mengecewakan lagi seperti yang pertama,”
     “Pak… please, jangan ungkit,”pintaku sambil merengut.
       “Hahaa… setidaknya nak Alan harus tau, bahwa anak bapak ini pernah dikecewakan, sampai-sampai kami mengira dia tidak tertarik lagi pada laki-laki, dan nak Alan sekarang bisa membuatnya bangkit kembali, bapak sangat berterima kasih sekali dan tolong jangan kecewakan dia lagi karena apapun,”
     “Saya janji pak, saya akan menjaga bidadari bapak ini,” kata Alan sambil memegang tanganku. Ahh.. aku merasa menjadi orang paling bahagia hari ini. Terima kasih, Tuhan…

****

     Pagi itu, Alan memintaku menemaninya jalan-jalan pagi, dia ingin melihat matahari terbit dari pematang sawah di desaku, aku ajak juga Rama yang berlari-lari kecil kegirangan, anak itu memang selalu ceria, sepanjang aku mengenalnya selama ini, tidak pernah sekalipun aku melihatnya menangis, pernah aku menyaksikan dia terjatuh dari ayunan dan kakinya lecetpun dia tidak menangis, padahal rautnya kala itu tergambar jelas menahan sakit. Dia seperti mengerti bahwa orangtuanya sudah tidak ada disampingnya, dia terbentuk alamiah lebih mandiri dibanding dengan anak-anak seumurannya.
       “Nak Esti?,” Ada suara lirih yang memanggil namaku dari belakang kami, aku menoleh. Tampak seorang ibu tua tersenyum ragu ke arahku yang memandangnya dengan sedikit terkejut. Deg! Ibunya Rian. Salah satu orang yang aku hindari setiap aku pulang ke kampungku ini. Sejak peristiwa gagalnya pernikahanku dengan Rian, aku selalu menghindari melewati jalan-jalan disekitar rumah Rian karena tidak ingin bertemu dengan orang-orang yang bisa mengingatkanku ke Rian.
      “Apa kabar, nak?,” ibu itu menjulurkan tangannya. Tapi aku malah terpaku tak membalas uluran tangan itu. Alan yang menyadari sikapku segera menyambut tangan tua itu. Ibu Rian tampak salah tingkah.
        “Hai ibu, saya temannya Esti,” Alan memperkenalkan diri sambil tersenyum ramah. Alan menyenggol bahuku untuk memperbaiki sikapku.
      “Ya bu, kabar saya baik seperti yang ibu lihat,” Aku memaksakan senyumku.
      “Syukurlah, selamat ya, ibu dengar nak Esti habis dilamar, apa ini calonnya?,” Ibunya Rian menengok ke arah Alan. Aku membuang muka, entahlah ucapan selamat itu ditelingaku lebih terdengar seperti ejekan mentang-mentang aku baru bisa mendapatkan pengganti anaknya setelah bertahun-tahun. Alan mengangguk tersenyum. Mata ibu Rian menangkap sosok Rama yang aku gandeng, dia menundukan badan dan mengusap pipi Rama lembut.
       “Lucunya… namanya siapa nak?,” tanya ibu Rian, tapi diluar dugaan tiba-tiba Rama menangis seperti ketakutan, aku segera menggendongnya.
        “Maaf bu, mungkin karena baru kenal jadi menangis,”ujar Alan, dia mengusap-usap kepala Rama yang aku gendong,”Kenapa ini anak bapak? Tumben kok nangis hmm…,”
      “Anak Rian juga pasti sebesar ini sekarang, sayang ibu tidak pernah mendengar kabar mereka bertahun-tahun ini,” Ibunya berucap lirih seperti berkata ke dirinya sendiri, tapi entah kenapa di telingaku itu seperti teriakan yang memekakkan telingaku karena aku tidak ingin mendengar apapun tentang Rian, apalagi tentang anaknya. Rian… Akhirnya tiba juga saatnya, dimana saat aku mendengar namamu disebut, hatiku biasa saja.
       “Maaf… saya harus pulang, sepertinya Rama sudah lapar jadi dia menangis,” Aku segera meninggalkan ibunya Rian, disusul Alan yang sedikit kebingungan dengan sikapku yang tidak seperti biasanya selalu ramah ke semua orang. Alan mengejar langkahku.
       “Kenapa tiba-tiba jadi pulang? Kan kita mau melihat matahari terbit?,”  tanya Alan.
      “Lain kali saja,” jawabku singkat. Alan menahan langkahku dengan memegang tanganku.
    “Ada apa sebenarnya? Siapa ibu tadi? Siapa itu Rian?,” Tanya Alan tidak bisa menyembunyikan penasarannya. Langkahku terhenti dan menatap Alan dengan marah.
     “Tolong, jangan pernah tanyakan apapun tentang mereka lagi,” Jawabanku membuat Alan semakin penasaran.
     “Sayang… Ayolah, kita sudah pernah berjanji untuk tidak menyembunyikan apapun bukan? Ada cerita apa yang belum aku ketahui hingga kebencian tampak jelas dimata kamu ke ibu tadi? Aku belum pernah melihatmu seperti itu,”
     "Kamu akan hidup denganku dengan masa depanku bukan? Bukan dengan masa laluku?,” Mataku mulai berkaca-kaca,”Aku membutuhkan cerita itu hanya untuk diam dalam ingatan, bukan untuk aku ceritakan ke siapapun, tolong mengertilah,”
Alan tertegun dengan reaksiku, tapi kemudian dia mengangguk perlahan sambil menepuk pundakku menenangkanku. Kemudian kami berjalan pulang tanpa ada perbincangan lagi.

****
Pagi itu, aku baru saja pulang dari pasar menemani ibuku belanja, Alan segera menyongsongku dengan wajah penuh kecemasan.
“Esti, aku harus kembali ke Riau hari ini juga, tadi ada telpon dari Tari, kalau neneknya Rama masuk rumah sakit terkena serangan jantung,”
“Loh…apa yang terjadi memang?,”
“Entahlah, Tari belum cerita banyak, tapi hari ini juga aku benar – benar harus balik bersama Rama, kamu bisa berangkat menyusul nanti, habiskan liburanmu saja dulu disini,”
“Aku ikut pulang, aku juga khawatir terjadi apa-apa dengan nenek”
Hari itu juga, kami berangkat kembali ke Riau, sisa liburan kami yang masih 5 hari lagi sebenarnya membuat ibuku sedih karena masih ingin berkumpul denganku, tapi beruntungnya mereka bisa mengerti situasiku.
****
Rama menangis melihat neneknya terbaring lemah di ranjang rumah sakit tempat Alan bekerja, neneknya pun tampak berurai air mata sambil memeluk Rama.
“Nak… Ayahmu sudah pulang nak,”isaknya. Aku dan Alan terkejut dan saling pandang.
“Ayahnya Rama sudah kembali nek? Lalu dimana dia sekarang?,”tanya Alan sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.
“Nak Alan, tolonglah ayahnya Rama, tolong selamatkan dia,” Neneknya Rama kembali menangis terisak, bibirnya tampak bergetar seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tercekat oleh nafasnya yang tersengal-sengal sesak. Alan mencoba menenangkan neneknya Rama biarpun dia belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Aku mengambil handphoneku dan menelpon Tari untuk menanyakan tentang yang menimpa neneknya Rama. Akhirnya aku dan Alan mendapat penjelasan, bahwa neneknya Rama awalnya menerima kejutan telpon dari ayahnya Rama yang sudah pulang ke rumah lama mereka tapi tidak menemukan siapapun, lalu neneknya Rama memberitahu bahwa sekarang tinggal dirumah seorang dokter dan menyuruh ayahnya Rama datang ke komplek perumahan dokter dimana Alan tinggal, neneknya Rama sengaja berdiri di pinggir jalan depan rumah supaya ayahnya Rama bisa dengan mudah menemukannya. Namun malang, saat melihat ayahnya Rama di seberang jalan melambai ke arahnya, sang nenek tidak sabar dan segera menyongsongnya tanpa memperhatikan kondisi jalan, ada sebuah mobil pick up melaju kencang, ayahnya Rama berlari dan menyelamatkan sang nenek, tapi dia sendiri yang menjadi korban tertabrak mobil itu dan mengalami luka parah di bagian kepala.
“Ini ceritanya bener-bener kayak drama deh,” ujarTari mengakhiri ceritanya dengan wajah sedih,”Tapi syukurlah Esti, sekarang kamu ada disini, ayahnya Rama sedang membutuhkan darah banyak, golongan darah kamu O kan? Kami butuh donor,”
“Tentu saja, ayo ambil darahku kalau memang cocok,”
“Ayo… kita sambil lihat ayahnya Rama nya dulu,” ajak Alan. Lalu kami bertiga bergegas menuju ke ruangan dimana ayahnya Rama dirawat sedangkan Rama aku tinggalkan bersama suster diruangan neneknya.
“Ini ayahnya Rama,” Tari berkata seraya membuka tirai pembatas tempat tidur pasien di kamar itu. Aku dan Alan mendekat dan betapa terkejutnya aku melihat sosok yang terbujur lemah itu, aku lebih mendekatkan diri lagi untuk memastikan, aku menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya dengan penglihatanku, sosok pria dengan kepala yang di lilit perban dan dengan jambang yang menutupi wajahnya itu, ya… aku tetap mengenali wajah itu, wajah yang bertahun – tahun ini sudah berusaha aku lupakan, wajah pria yang telah meninggalkan luka begitu dalam tanpa penjelasan 5 tahun lalu.
“Si.. siapa namanya, Tar?,”tanyaku gemetar. Aku benar-benar berharap Tari menyebutkan nama lain. Alan melihat ke arahku, dahinya berkerut melihat perubahan mukaku.
“Namanya Rian, kata nenek,” Tari dengan enteng menjawabnya, padahal aku baru saja seperti kejatuhan godam berat di dadaku mendengar jawabannya. Tiba-tiba aku merasa melayang sejenak dan tubuhku lemas, tidak salah lagi, itu dia. Alan segera tanggap merangkul tubuhku sehingga tidak sempat jatuh.
“Kamu tidak apa-apa?,” tanya Alan khawatir.
“Ini tidak mungkin,” ucapku lirih,”tidak mungkin,”
“Tari, Esti sepertinya butuh istirahat dulu, dia mungkin kelelahan karena baru saja menempuh perjalanan jauh,” Kata Alan cemas, sambil memapahku keluar ruangan.
“Lah… lalu donor darahnya bagaimana? Orang ini butuh segera,”
“Donor darah?,” Aku tiba-tiba seperti tersadar, dan mempunyai kekuatan kembali,”Aku tidak akan mendonorkan darahku untuk dia, Tari!,” Suaraku tiba-tiba penuh kebencian dan berlari meninggalkan ruangan itu. Alan mengejarku, meninggalkan Tari yang bengong tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

****
Aku duduk dipinggir danau taman Rumah Sakit, masih tidak percaya dengan semua yang terjadi, Rian adalah ayah Rama??? Ini gila, benar – benar gila! Airmataku menetes tak terbendung mengingat semuanya. Selama ini aku sudah menghindari mati-matian untuk menjauh dari Rian, sejak dia menggagalkan pernikahan kami 5 tahun lalu, aku sengaja jarang pulang ke kampung supaya tidak mendengar kabar apapun darinya, aku menyibukan diri dengan bertugas di daerah yang jauh dari rumah, bahkan aku memilih tugas di Riau ini pun karena aku menghindari kemungkinan bertemu Rian yang katanya tinggal di Papua? Ya.. bukankah kata sepupunya waktu itu Rian di Papua? Tapi kenapa sekarang dia dan keluarganya ada ditempat yang sama denganku?. Aku makin terisak mengingat ternyata aku justru ikut mengurus anak Rian dan Mira selama ini. Ya… Rama yang selama ini aku sayangi ternyata anak mereka? Ohh… Tuhan, bagaimana mungkin ini bisa terjadi?
“Kamu baik-baik saja?,” Suara lembut Alan mengagetkanku.
“Aku ingin sendiri dulu, Lan,” sahutku sambil mengusap air mataku.
“Aku sudah tahu semuanya, dia Rian-mu yang dulu kan?,” Alan duduk disampingku,”Bapak sudah menceritakan semuanya saat kamu pergi ke pasar dengan ibu kemarin, dan melihat reaksimu tadi saat mendengar nama Rian yang Tari sebut, aku langsung tahu itu pasti dia,”
“Kenapa Tuhan memberiku permainan seperti ini, Lan? Terasa begitu menyakitkan mengetahui kenyataan ini,”
“Sekuat apapun kita menghindar, jika Tuhan sudah berkehendak, akan begitu mudah bagiNya membelokanmu,” Ujar Alan menasehatiku,” Jadi, hadapilah…,”
Mendengar kata-kata Alan, aku kembali tergugu, Alan memelukku, dia menepuk-nepuk bahuku mencoba menenangkan dan aku semakin menangis sejadi-jadinya.
****
Hari sudah menjelang sore, aku masih terduduk sendirian memandangi kilauan air danau yang terpantul sinar matahari yang sudah mulai memerah.  Alan membiarkan aku sendirian untuk menenangkan diri, dan benar saja, sesakku perlahan sudah sedikit berkurang.
“Nak Esti…,” sebuah suara tua memanggil namaku. Aku menoleh, tampak olehku neneknya Rama berjalan mendekat dan duduk disampingku. Nenek menatap sedih mataku yang sembab, aku menunduk. Tari pasti sudah cerita ke nenek kalau aku tidak bisa mendonorkan darahku.
“Maafin saya nek saya ga bisa,” jawabku lirih.
“Tapi Alan sedang mencarikan donor yang lain kok nek, nenek tenang saja, dia akan baik-baik saja,”
“Nenek kesini bukan mau menanyakan itu nak Esti, itu hak nak Esti kalau nak Esti tidak mau membantu nak Rian. Tapi ada satu cerita yang nak Esti harus tahu tentang nak Rian selama ini,”
Aku menoleh ke arah neneknya Rama,” Cerita apa, nek?”
“Kalau ada orang yang paling baik yang nenek kenal selain nak Alan, dia adalah nak Rian, selama ini dia banyak mengorbankan segalanya demi menyelamatkan orang lain,”
“Maksud nenek?,”tanyaku tidak mengerti.
“Nenek yakin selama ini nak Esti pasti tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan nak Rian dan nak Mira,” Neneknya Rama menghela nafas berat, ”Sebenarnya Rama bukanlah anak kandung nak Rian,”
Aku terkejut bukan main mendengar kata-kata neneknya Rama.
“Ya… nenek selama ini bekerja di rumah orangtua nak Mira sejak nak Mira masih kecil jadi nenek tahu betul apa yang terjadi. Nak Mira adalah korban pemerkosaan dan dia hamil karena peristiwa itu,” Neneknya Rama menghela nafas sebelum melanjutkan ceritanya.
“Nak Rian adalah sahabat dari kecil nak Mira, nak Rian menikahinya untuk menyelamatkan nak Mira yang mau bunuh diri pada waktu itu. Nak Mira hampir stress sejak dia mengetahui dirinya hamil, dia sering mengamuk dan membuat keluarga malu dan mengusirnya, hingga akhirnya nak Rian membawanya pindah ke Papua, nenek ikut mendampingi karena nenek sendiri memang sudah sebatang kara, disana nak Rian ikut bekerja dengan temannya. Stres nak Mira bukannya sembuh tapi malah semakin menjadi, apalagi sejak Rama lahir, hampir setiap hari dia membuat onar dilingkungan, dia hampir membakar diri dengan membakar rumah kontrakan yang kami tinggali, nak Rian harus mengganti rugi ke pemilik kontrakan waktu itu, dia sebenarnya hanya suami di kertas tapi dia bertanggung jawab sepenuhnya dengan kehidupan nak Mira. Dia banyak berhutang ke bank, tapi dia tidak pernah mengeluh. Kami pindah ke Riau karena nak Rian dijanjikan bekerja oleh temannya, tapi cuma sebentar sudah keluar, dia memutuskan pergi keluar negeri mengingat hutang yang harus dia tanggung dan juga nak Mira yang harus kontrol rutin berobat, nak Mira bisa normal asalkan obatnya rutin dia minum. Mendengar kabar bahwa nak Rian dipenjara di Malaysia, nak Mira berubah menjadi murung lagi, sampai kecelakaan itu merenggut nyawanya, mereka adalah orang baik tapi nasib mereka sungguh malang,” Neneknya Rama terisak menceritakannya. Aku terpaku mendengar semuanya. Jadi Rian melakukan semua ini demi menolong Mira?, aku pikir dia bahagia selama ini ternyata dia jauh lebih menderita dariku. Aku seperti tidak percaya mendengar semua ini.
“Kenapa Rian tidak menceritakan semuanya dari dulu, nek?, kalau dari dulu saya diberitahu mungkin saya tidak semembenci ini,”
“Nenek tahu betul perasaan nak Esti selama ini, tidak mudah memang memaafkan, apalagi setelah mendengar ini pasti nak Esti merasa dikorbankan oleh nak Rian demi nak Mira. Tapi percayalah, itu semua karena nak Rian percaya nak Esti masih bisa mendapat kehidupan lebih baik, sedangkan nak Mira? Kehidupan dia sudah hancur. Bagaimanapun nak Esti lebih beruntung dari nak Mira, jadi nenek mohon maafkanlah mereka berdua,”
“Apa nenek tahu, betapa saya sangat mencintai Rian? 8 tahun saya menjalin hubungan dengan Rian, tidak mudah memaafkan saat tiba-tiba saja kita dikecewakan dengan cara yang sadis seperti yang saya alami”
“Tahukan kamu, nak? Salah satu cara untuk meng”indah”kan hidupmu adalah memaafkan, karena memaafkan adalah cabang mencintai yang paling indah,”
Aku menatap neneknya Rama mendengar kata-katanya, airmataku kembali menetes, semakin lama semakin deras, dan aku kembali menangis dipelukan neneknya Rama begitu mengingat kondisi Rian, kali ini aku meraung kencang meluapkan perasaanku yang tidak tergambarkan, jauh dalam hati kecilku aku tidak bisa bohong bahwa aku sangat sangat merindukan Rian, ada satu ruangan yang telah Rian tinggali selama ini dan tidak bisa aku singkirkan meski Alan menempati ruang hatiku sekarang.
“Nekkk… Rian kritis! Alan belum kembali juga” Tiba-tiba teriakan Tari mengagetkan kami. Mendengar nama Rian aku segera berlari ke arah Tari.
“Ambil darahku, Tar, ambil sebanyak-banyaknya yang penting Rian selamat,”
Tari kaget melihat perubahan sikapku, aku segera menariknya berlari ke laboratorium untuk mendonorkan darahku. Sejurus kemudian aku mondar-mandir didepan ruang operasi gelisah menunggu Rian yang sedang diambil tindakan, neneknya Rama tampak lemas duduk disamping Rama yang belum begitu mengerti. Sejam kemudian, pintu ruang operasi terbuka, seorang Dokter menghampiri kami. Aku buru-buru mendekatinya.
“Gimana operasinya, Dok?,” tanyaku penuh kecemasan. Sang Dokter menghela nafas panjang dan menggelengkan kepalanya.
“Maafkan kami, kami sudah berusaha semampu kami, tapi pendarahan di otaknya terlalu parah, kami tidak mampu menyelamatkan saudara Rian,”
Seketika aku merasa duniaku berputar, semakin lama semakin cepat, dan brukk! Duniaku tiba-tiba gelap.

****

     Aku tersadar dan mendapati diriku terbaring lemah di ranjang rumah sakit, Alan tampak setia disampingku memegangi tanganku. Entah berapa lama aku pingsan, tapi ingatanku segera melayang ke Rian.
     “Rian… Rian... aku harus menemui Rian,” aku berusaha bangun tapi badanku terasa lemas sekali. Alan menahan tubuhku dan mencegahku supaya tetap beristirahat.
     “Alan… tolonglah aku, beri aku kesempatan untuk bertemu Rian sekali lagi, tolong bawa aku ke Rian,” Aku benar-benar memohon ke Alan. Alan tampak tidak tega melihat kondisiku. Dia mengangguk dan memapahku perlahan ke ruangan Rian berada.
     Di ruangan itu, aku melihat sesosok tubuh yang sudah terbujur kaku ditutupi selimut putih, aku melepas tangan Alan dan berjalan sendiri dengan tertatih kearah sosok itu, tanganku gemetar membuka selimut di depanku, wajah didepanku itu terpejam dengan seutas senyum tergambar diwajahnya. Aku menyentuh wajah itu perlahan.
    “Rian… ,” Suaraku lirih memanggilnya, aku mendekatkan wajahku ke wajah itu mencoba meyakinkan diri lagi, bentuk mata itu, hidung itu, rahang itu, bibir itu… iya itu kamu, ian… memang benar itu kamu, aku memeluk wajah itu erat-erat, aku menciuminya dan berusaha membangunkannya.
     “Rian… ini aku, Esti. Bangunlah…,”tangisku.
     “Demi aku kali ini bangunlah, Riannnn! Aku merindukanmu, sangat sangat merindukanmu,” Aku berteriak histeris sambil menggoyang-goyangkan tubuh itu. Semua yang di ruangan hanya bisa terpaku melihatku.
      Alan tiba-tiba merasakan sesak didadanya melihatku, ada sesuatu yang basah di sudut matanya, "yang pertama memang akan selalu menjadi yang pertama".

      Masa lalu yang tidak terselesaikan akan selalu menemukanmu kembali, entah itu cinta atau kebencian (Doctors -2016)

****