Jumat, 20 Januari 2017

PENYESALAN NARA


“Mamahh… Aku jatuh cinta deh kayaknya hehee,”

Ungkapan dua bulan lalu itu masih terbayang jelas dimataku, senyum merekah tergambar jelas dibibir anakku, binar matanya ikut membuktikan kebenaran ucapannya, aku memeluknya sambil tertawa mendengar pengakuannya, hmm… Gadis kecilku telah beranjak dewasa terrnyata, ini pertama kalinya dia benar-benar jatuh cinta sepertinya, ya… di tingkat akhir masa sekolah menengahnya ini pertama kalinya dia bercerita tentang seorang laki-laki kepadaku, sebelumnya dia tidak pernah berpacaran, dia fokus dengan sekolahnya di sekolah kesehatan supaya bisa masuk kuliah ke fakultas kedokteran nantinya seperti harapanku.

 Aku mendidiknya seorang diri sejak suamiku meninggal dunia karena kecelakaan, aku berjanji bahwa aku akan menjadi ibu sekaligus ayah dan sahabat buat putriku yang waktu itu masih balita. Aku pun tidak mencari pengganti suamiku karena merasa kebersamaanku dengan anakku sudah cukup membahagiakan. Aku terlalu sibuk bekerja untuk masa depan anakku. Kami berdua memang sangat dekat, kami membudayakan selalu terbuka dalam hal apapun, anakku tidak sungkan cerita-cerita tentang masa puber fisiknya, atau tentang teman-teman sekolahnya, hampir semua temannya aku tahu nama dan sifatnya karena hampir setiap hari kami bertukar cerita sebelum tidur. Dan karena keterbukaan kami inilah yang membuatku hari ini terpekur di pusara almarhum suamiku, mataku sembab karena sudah hampir 1 jam aku menangis, bayangan wajah putriku yang tertunduk tadi pagi sambil berucap,” Mah, maafkan aku, aku hamil” kembali melintas di kepalaku, membuat airmataku semakin deras menetes. Aku merasakan ada godam berat yang menghantam dadaku, yang membuat nafasku sesak setiap aku tarik.

“Maafkan aku mas… ” Ucapku lirih sambil terisak,”Maafkan aku, aku gagal mendidik anak kita”.

***

Hari ini adalah hari ketiga aku mendiamkan anakku, jam pulang kantor yang biasanya aku tunggu-tunggu karena ingin segera pulang bertemu anakku, kali ini berbeda. Aku begitu enggan beranjak pulang, aku benar-benar belum bisa berpikir harus bagaimana terhadap anakku. Aku memilih menghabiskan waktuku di coffee shop hingga larut, dengan harapan saat pulang ke rumah anakku sudah tertidur dikamarnya dan aku tidak perlu bertemu dengannya, aku takut emosiku meluap saat didepannya, karena kali ini dia benar-benar telah membuatku kecewa. Hidup merantau di kota orang, jauh dari orang tua ataupun saudara-saudara telah membuatku terbiasa memutuskan segalanya sendiri, tapi untuk masalah ini aku benar-benar tidak kuat menanggungnya sendiri, kehamilan adalah sesuatu yang tidak bisa disembunyikan, semakin lama perut anakku akan semakin besar.

“Aarrgghh! Argh! Argh!” Aku menjedot-jedotkan keningku kemeja beberapa saking kesalnya.
“Mbak… Heiii!” Ada sebuah tangan yang menepuk pundakku, aku mengangkat kepalaku dengan rambut acak-acakan kedepan muka semua.
“Mbaknya sehat?” Tanya seorang pria yang berdiri di depan mejaku dengan keheranan. Aku buru-buru memperbaiki dudukku dan merapihkan rambutku sambil menengok ke sekeliling cafĂ©, duh… ternyata pengunjung lain banyak yang memperhatikanku, raut mereka seperti baru saja terganggu dengan tingkahku.
“Maaf… maaf…” Ujarku sambil membereskan tasku untuk beranjak pergi.
“Kira…“ Pria tadi tiba-tiba memanggil namaku, aku menoleh, aku tertegun sejenak, dahiku berkernyit mencoba me-recall memoryku tentang sosok di depanku.
Ini bener Kira bukanya? Orang Purwokerto?” tanyanya lagi untuk meyakinkan, aku mengerutkan keningku mencoba mengingat sosok didepanku.
“Anda kenal saya?”
“Wah tidak salah lagi, ini kamu Kira. Tahi lalat di atas alis kamu itu pas banget cirinya seperti temanku,” Pria itu berbinar matanya yakin sekali bahwa aku adalah teman yang dia maksud. Aku mengamati wajahnya, entahlah mungkin karena pikiranku yang sedang kacau jadi aku tidak kunjung mengingatnya.
“Astagaaa… kamu lupa sama aku??” Aku mengamati kembali orang itu, dia tersenyum memasang muka manis dengan raut berharap aku bisa mengingatnya, beberapa detik aku mengamatinya tapi sama sekali tidak ada sesosok orangpun yang muncul dalam pikiranku.
“Maaf… Saya benar – benar lupa. Siapa ya?”
“Wah… Bener-bener ya kamu ini, sama mantan pacar sendiri bisa lupa” Dia masih begitu antusias mencoba membangunkan ingatanku, mata kami bertemu dan kemudian dia mengedip-ngedipkan matanya memasang muka lucu, wah… Mata itu, aku sepertinya mengenalnya.
 “Rayan…“ Tercetus satu nama olehku.
Dan pria tersebut tersenyum kemudian mengulurkan tangannya.
“Senang kamu masih mengingatku, ra…”
“Gila, ini beneran Rayan? Kamu berubah banget, gimana aku bisa kenal kamu coba?” Suaraku berubah meninggi karena terkejut. Tidak salah lagi hanya Rayan temanku yang punya gaya kedipan tengil seperti itu, sejenak kemudian aku memukul bahunya. Wah... Aku masih tidak percaya dengan sosok yang didepanku, ya… Rayan teman SMA ku dulu itu kurus tinggi, sedikit hitam kucel dengan rambut berponi acak culun menutupi dahinya, jauh berbeda dengan sosok didepanku sekarang, tubuh gemuk tinggi, kulit putih bersih dengan dagu ditumbuhi sedikit jenggot, rambut disisir rapi, baju kemeja berdasi dan sepatu pantofel hitam mengkilap.
“Wah… beli dimana itu perut? Kok bisa jadi gendut begitu?” Ledekku sambil tertawa, sejenak sedihku menguap entah kemana.
“Hahaa… tadi nyomot didepan tuh kebetulan ada badut yang lagi istirahat. Wah… Kamu sendiri apa kabar, Ra? Long time no see ya” Rayan menatap mataku dalam. Aku segera mengalihkan pandanganku dengan mengajaknya duduk kembali di mejaku dan kami pun berbincang sejenak.
“Aku sebenarnya sudah beberapa hari ini lihat sosok kamu disini, pertama melihatmu aku merasa itu kamu tapi aku agak takut mau menyapa takut salah orang,” cerita Rayan berderai.”Makanya pas tadi lihat kamu jedotin kepala ke meja, aku pikir wah… ini orang mau bunuh diri nih, harus segera diselamatkan hahaa… “.
“Ishh… Kamu, siapa juga yang mau bunuh diri?” Sanggahku tersenyum malu.
“Wah… kamu tidak berubah ya, cantiknya nambah, cuma kok kamu kecilnya masih kayak dulu sih, jangan-jangan kamu makannya masih susah kayak dulu ya? Jarang makan jadi tidak ada perkembangan badannya hahaa… Ini kalau kita jalan jejeran, aku bisa dikira om kamu loh ini” Kelakar Rayan, raut wajahnya menunjukan rasa senangnya karena bertemu denganku.
“Wah... ngomong-ngomong sudah berapa kali ini kita ngomong wah ya? Haha… " Balasku. "Iya...  Tidak menyangka juga loh bisa ketemu teman lama disini,”
“Hmm… Teman ya?” Rayan mengangguk-anggukan kepala sambil tersenyum menatap mataku aneh, sejenak aku menghela nafas.
“Rayan… Please… ” Ucapku sambil merengut membalas tatapannya, kalau saja Rayan bisa mengartikan mataku, ada kata maaf tak terucap disana karena teringet aku pernah menyakiti Rayan dengan meninggalkannya yang sedang kuliah kala itu untuk menikah dengan pilihan orang tuaku, yakni Almarhum suamiku, ayahnya Nara.
“Ok… Ok… Maaf… Maaf, iya nih suka lupa umur saking senengnya ketemu kami jadi teringat masa lalu” Rayan segera membenarkan posisi duduknya, senyumnya masih mengembang di bibirnya,” Jadi bagaimana, Ra? Sekarang sudah punya anak berapa kamu?”
“Anakku baru satu, sudah SMA kelas 3 sekarang. Kamu sudah menikah? Sama orang mana?” Tanyaku penasaran.
“Aku single kok,” Jawabnya segera, aku menjulurkan lidahku tanda tidak percaya. Hampir 20 Tahun lebih kami tidak bertemu, aku tidak yakin kalau Rayan benar - benar single, apalagi di umur kami yang sudah tidak lagi muda.
“Eh… Masih tidak percayaan banget koh ke aku, karena tidak bisa mendapatkan kamu makanya sekarang aku masih single hehee…”
“Sudah ah bercandanya, aku pengin denger cerita kamu” Ujarku.

Sejenak kemudian, aku sudah terhanyut dengan cerita Rayan, iya benar saja statusnya sekarang ternyata memang single tapi single parent, istrinya meninggal 3 tahun lalu saat melahirkan anak pertama mereka dan sampai sekarang dia belum menikah lagi, dia merawat anaknya dengan bantuan bibi nya. Rayan bekerja sebagai Dokter Psikolog sesuai dengan cita-citanya dulu dan dia mengambil side job sebagai dosen pengajar juga di sebuah Universitas. Aku ikut bangga mendengar ceritanya, dia konsisten dengan ucapannya waktu dulu, bahwa dia tidak akan menikah dulu sebelum menjadi Dokter, ya… itu juga salah satu alasanku dulu meninggalkannya karena desakan keluarga. Malam itu aku kembali pulang larut karena keasyikan mengobrol dengan Rayan, kami berjanji akan bertemu kembali dilain hari.

***

Pagi itu, aku memanggil Nara, anakku, untuk bicara dari hati ke hati. Mata Nara tampak sembab seperti habis menangis, sebelum ini setiap aku melihat Nara seperti itu pasti aku akan segera memeluknya untuk menenangkannya, tapi kali ini tanganku seperti kaku, hatiku masih sakit dan tidak percaya bahwa anak yang aku besarkan telah berani melakukan perbuatan terlarang.

“Siapa orangnya?” Tanyaku membuka keheningan kami. Lama Nara tidak menjawab pertanyaanku.
“Nara! Kalau kamu tidak mau berterus terang sama mamah, kamu boleh tinggalkan rumah ini” Gertakku.
“Maafkan aku mah, aku belum siap untuk berkata jujur sekarang, kasih aku waktu untuk menyelesaikannya sendiri dulu,”
“Wah… Hebat kamu ya? Mau menyelesaikan sendiri? Lalu apa maksud kamu memberitahu mamah tentang ini kalau kamu tidak mau bercerita ke mamah?”
“Aku hanya ingin mamah tidak kaget kalau tiba-tiba aku menikah, mah,”
“Nara… Kamu tahu, ini bukan masalah kecil, perut kamu makin lama akan semakin membesar dan mamah akan meminta pertanggungjawaban pacar kamu itu,” Aku mulai gemas sendiri.
”Kasih tahu siapa orangnya? Rumahnya dimana? Kenapa dia selama ini tidak pernah ke rumah? Bahkan mamah tidak tahu kalau kamu sudah punya pacar, bagaimana bisa tiba-tiba sekarang kamu bilang kamu hamil dan ingin menikah? Kamu benar-benar menyakiti hati mamah. Perlu kamu tahu itu, nak”

Nara menangis lama didepanku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, aku meninggalkannya karena dadaku pun sesaknya melihatnya seperti itu.

***

Hari ini, entah untuk keberapa kalinya aku mendesak Nara untuk mempertemukanku dengan pacarnya tapi kesekian kalinya juga dia menolak karena dia masih yakin bisa membuat pacarnya mau bertanggung jawab dengan caranya, dia makin susah aku ajak bicara, aku merasa ada hal besar yang ditutupi Nara tapi setiap aku ajak duduk berdua, dia akan segera pergi dari rumah dengan alasan ada janji ini itu. Sebenarnya aku sudah sangat gemas, tapi aku tidak ingin menambah pikiran Nara jadi aku berencana menunggunya selama seminggu kedepan.

 “Anakku hamil, Ray…” Aku membuka percakapan dengan Rayan sore itu, setelah pertemuan kami yang sudah beberapa kali akhirnya aku baru berani bercerita tentang masalahku. Ya… Bagaimanapun aku butuh masukan dari orang lain mengenai aibku ini, orang lain yang bisa menjaga rahasia keluargaku tentunya dan aku merasa Rayan adalah orang yang tepat, lebih – lebih dia seorang psikolog, aku berharap dia bisa membantuku menyelesaikan masalahku. Berkali-kali aku juga mengungkapkan penyesalanku karena tidak bisa mendidik anakku dengan baik, hal ini benar-benar menjadi beban yang paling berat buatku ke mendiang suamiku.

“Hidup itu intinya adalah penerimaan, Ra. Mau kamu sudah menjaga anakmu sebaik mungkin pun kalau memang ini harus terjadi ya sudah terjadilah. Yang kamu butuhkan saat ini adalah menguatkan hatimu dulu supaya bisa menguatkan hati anak kamu. Tidakkah kamu berpikir bahwa anakmu juga lebih menderita dari kamu? Dia pasti tidak ingin hal ini terjadi padanya. Di usianya yang masih begitu muda, dia sudah hamil, wanita hamil itu sebisa mungkin tidak boleh stres karena berpengaruh ke janinnya bukan? Aahh… pasti kamu lebih tahu daripadaku kalau mengenai ini”

Aku menangis tergugu mendengar nasehat Rayan, ya… bagaimana bisa aku yang wanita malah tidak berpikir tentang kesehatan janin anakku? Bagaimanapun dia adalah cucuku.
“Bukannya aku membela anak kamu juga, tapi kita sedang bicara hal yang sudah terjadi yang tidak bisa kita tarik kembali bukan? Terkadang memang memaafkan diri sendiri itu jauh lebih sulit daripada memaafkan orang lain tapi cobalah, berhenti menyalahkan dirimu sendiri, bangunkan diri kamu dengan gagah untuk menghadapi semuanya. Bicaralah yang tenang dengan anakmu, Insha Allah akan ada jalan keluar terbaik nanti”.
“Aku sendiri juga ada masalah dengan anak didikku di pekerjaanku, ruwet dan tidak masuk akal kalau dipikir-pikir, tapi ya tetep harus dibawa enjoy. Life is too short to be unhappy, Kira. Sudah… itu ingusnya dilap dulu” Rayan mengulurkan tissu sambil memalingkan mukanya dengan ekspresi pura-pura jijik seolah-olah benar ada ingus di hidungku. Aku melempar tissu bekas yang aku pakai buat mengelap airmataku ke arah Rayan dengan sebal, Rayan tertawa dan akupun ikut tersenyum akhirnya.
“Masalah kamu apa di pekerjaan?” Tanyaku mengalihkan topik tentangku.
“Yahh… Biasalah, Dokter tampan sepertiku terlalu banyak penggemar, artis saja kalah hehe… Kenapa aku bilang kalah? Karena penggemar jaman sekarang jauh lebih gila dari jaman kita dulu. Mereka tidak lagi meminta tanda tangan idolanya, melainkan minta orangnya langsung buat jadi miliknya. Cckk… Cckkk… Kadang aku juga tidak habis pikir, kenapa wanita jaman sekarang buas dan juga ganas, takut sendiri jadinya”
“Buas? Kamu pikir wanita itu macan apa pakai disamain dengan istilah ganas,”
“Kalau wanitanya kamu iya aku sebut macan, manusia cantik hehe…” Aku kembali melempar tissu kearah Rayan, kali ini bekas ingusku.
Hhhh… Aku merasakan bebanku sedikit berkurang setelah mendengar masukan Rayan.

***

Pagi ini aku sengaja bangun pagi, aku menyiapkan sarapan dan juga bekal makan siang untuk Nara, ya… Rayan benar, hidup itu adalah tentang penerimaan, mau aku emosi seperti apapun bentuknya ke Nara itu tidak akan membalikkan keadaan seperti semula, justru aku yang merusak diriku sendiri. Nara tampak keluar dari kamarnya, dia tidak menuju meja makan melainkan berjalan ke rak sepatu mengambil sepatunya. Dia tidak berkata sepatah katapun kepadaku, pasti dia mengira emosiku masih sama seperti kemarin. Egoku pun sebenarnya masih tinggi untuk mengawali pembicaraan dengannya tapi aku mencoba berdamai dengan egoku mengingat Janin yang ada di perut Nara harus sehat.

“Nara, sarapan dulu kamu, bawa bekelnya, mamah sudah siapin ini” Ujarku tanpa melihat ke arah Nara.
“Ohya… Nanti sore mau ada anak teman mamah yang akan menginap disini selama seminggu jadi langsung pulang kamu nanti” Lanjutku sambil langsung bergegas berjalan menuju kamarku untuk mandi. Nara sedikit heran melihat sikapku, tapi ada raut kelegaan di wajahnya. Nara beranjak ke meja makan, dia menarik piring yang berisi nasi goreng yang sudah aku siapkan tadi, disampingnya tampak box tempat makan untuk bekelnya, keningnya berkerut saat ada 2 box yang disiapkanku, tangannya bergerak meraih box yang kecil tersebut dan membuka tutupnya untuk melihat isinya, saat itu tepat dengan aku juga berteriak dari dalam kamar.

“Jangan lupa di box yang satunya juga kamu bawa buat bekel, anak di kandungan kamu juga harus makan buah!” Seruku mengingatkan Nara dari dalam kamar. Nara terpaku mendengar teriakanku, tenggorokannya tiba-tiba kelu dan sulit menelan makanan di mulutnya, air matanya menetes mendengar seruanku.
"Maafkan Nara, Mah" ucapnya dalam hati.

***

Sudah hampir seminggu anaknya Rayan, Danar dan bibinya menginap dirumahku karena Rayan harus tugas keluar pulau selama dua minggu. Aku sebenarnya yang menawarkan diri untuk menjaga mereka, kasihan aku melihat Danar hanya berdua dengan bibinya, dia pasti butuh teman, sama sepertiku yang butuh teman dirumah untuk mengalihkan masalahku. Danar sangat menggemaskan karena badannya yang gempal dengan pipi chuby luar biasa, membuat orang yang melihatnya pasti gemas ingin mencubit atau menciumnya, tapi diluar dugaan terrnyata Danar adalah anak yang hyperactive, di rumah dia tidak bisa diam, lari sana sini, segala macam barang dipegang dan diberantakin, bahkan ada beberapa pajangan yang pecah olehnya, bibir mungilnya tidak berhenti bertanya tentang apa saja yang dilihat oleh bola matanya yang Indah, Itu apa? Ini apa? Itu kenapa? Untuk satu hari, orang mungkin akan maklum-maklum saja dengan tingkah dan tanyanya, tapi untuk tiap hari memang butuh kesabaran ekstra. Jujur, aku merindukan suasana gaduh seperti ini dirumahku, ya aku merindukan saat – saat Nara kecil dulu jadi aku tidak terganggu sama sekali dengan tingkah Danar, aku memakluminya apabila dia sangat aktif, dia pasti merindukan perhatian dari ibunya yang tidak pernah dia lihat sama sekali karena itu dia mencari perhatian dari orang sekelilingnya.

Yang lucu, setiap malam menjelang tidur, Danar selalu minta tidur denganku terus, tidak mau tidur bersama bibinya, ada yang lucu dari kebiasaan Danar saat dia akan tidur, begitu dia sudah mengantuk dia akan minta gendong dan kemudian tiduran dikasur minum susu sambil mengelus-elus lengan tanganku bagian dalam dekat ketiak, saat seperti itu aku bisa mencium anak itu melepas gemasku dan aku sangat senang dengan momen itu karena mendekati anak ini dalam keadaan dia terjaga alias tidak tidur adalah mustahil, dia pasti akan memukul atau mencakar muka orang yang menciumnya seperti yang terjadi pada Nara di hari pertama Danar datang, Nara bersikap manis dengan hendak menggendong dan mencium Danar tapi Danar refleks langsung mencakar pipi Nara hingga lecet kecil terkena kukunya, ya… memang kata bibinya Danar memang tidak suka dicubitin pipinya atau dicium oleh orang lain selain Ayahnya, Rayan.

Hari itu, begitu Nara pulang aku segera menanyakan kembali tentang masalahnya, aku sudah tidak sabar lagi untuk menunggu bertemu dengan pacarnya karena hati kecilku mulai khawatir jangan – jangan pacarnya melarikan diri tidak mau bertanggung jawab karena Nara selalu berbelit – belit dengan berbagai alasannya.

“Nanti sih mah, belum waktunya” Kembali Nara mengelak sambil melepas sepatu olah raganya. Mukanya tampak lelah karena memang sedang ujian tentang penjaskes. Nara membalikkan sepatunya dan membersihkannya, pasir – pasir keluar dari dalam sepatunya. Aku terkejut.
“Habis olahraga apa kamu, Nara?”
“Penilaian lompat jauh” Jawab Nara datar.
“Kamu kan lagi hamil, kenapa ikut olah raga itu?!” Tanyaku khawatir,” Sore ini kita harus ke Dokter, cek kandungan kamu”
“Ahh… Mah, Nara lagi banyak tugas nih, jangan sekarang-sekarang. Nara baik-baik saja kok, jangan berlebihan begitu sih khawatirnya”
“Tidak bisa, mamah tidak mau mendengar kamu menolaknya lagi. Harusnya kamu lebih berhati-hati dengan kegiatan kamu karena di perut kamu itu ada bayi, bayi loh ya? Bukan mainan yang bisa kamu abaikan kesehatannya, kalau ada apa-apa dengan bayi kamu siapa coba yang repot? Kamu harus mikir sampai situ, paham!” Aku mulai tinggi kembali melihat Nara yang tampak santai tidak mempedulikan kandungannya.
“Mamah curiga, jangan – jangan kamu sengaja tidak merawat kandungan kamu supaya keguguran ya? Jangan – jangan karena pacar kamu tidak mau tanggung jawab? Buktinya kamu selalu menolak mamah untuk menemuinya”
“Astaga mamah… Pikirannya jauh banget sih sampai keguguran segala? Sabar mah, sebentar lagi Nara bakal ajak ke rumah menemui mamah, tenang aja. Dia masih sibuk dengan pekerjaannya di luar kota”
“Ohh… Pantes kamu bisa sampai hamil, ternyata pacar kamu sudah bekerja? Jadi bukan teman sekolah kamu? Gila ya… Bagaimana bisa kamu tidak pernah menceritakan pacar kamu selama ini ke mamah, nak? Mamah benar – benar merasa kecolongan”
“Sudah deh mah, jangan berpikiran macam-macam tentang dia, intinya dia orang baik kok, mamah akan tahu sendiri kalau sudah kenal”
“Kalau dia baik dan gentle, justru dia yang akan menemui mamah duluan! Ok, jadi sebentar laginya itu kapan? Mamah butuh kepastian, mamah sudah cukup sabar loh menunggu, hampir satu bulan ini dari pengakuan kamu” Tegasku, tapi Nara tidak menjawab, dia meninggalkanku menuju kamarnya dengan lesu dan muka bersungut tapi tidak berapa lama terdengar teriakan histeris Nara.
“Mamahhhh!!! Ini kamarku kenapa?!” Teriaknya. Aku bergegas ke kamarnya, dan aku terkejut melihat kamar Nara yang berantakan, buku – buku pelajaran Nara berserakan di lantai dan beberapa tampak sobek dan penuh coretan. Deg! Danar.
“Kamu lupa mengunci pintu kamar memang tadi?” Aku justru bertanya balik ke Nara. Nara tidak menjawabku, dia berjalan dengan penuh emosi ke kamarku, dia menemukan Danar sedang berdiri di dekat kaca jendela kamarku asyik bermain robot-robotan, dia masuk dan langsung mencubit Danar saking kesalnya, ternyata Danar melawan dengan mengigit tangan Nara dan spontan Nara mendorong  kepala Danar dengan keras, saking kerasnya dorongan Nara, Danar terjatuh ke belakang dan kepalanya menimpa lampu tidur hias di meja kecil kamarku, lampu itu pecah dan pecahan kacanya ada yang melukai  Danar. Aku segera mendorong tubuh Nara.
“Hentikan Nara! Kamu gila ya?! Danar kan masih anak-anak” Aku menggendong Danar yang menangis keras, ada darah menetes dari belakang kepala Danar. Aku panik dan segera memanggil bibinya Danar.
“Mah, Nara tidak mau tahu, pokoknya anak ini harus segera pergi sekarang juga dari rumah kita!” Teriak Nara, emosinya meledak juga setelah sebelumnya dia sudah menumpuk emosi saat berbicara denganku membahas kehamilannya, fisiknya pun sedang lelah habis pulang dari sekolah, ditambah melihat kamarnya berantakan dan tugas makalahnya dicoret-coret, jadi Danar lah yang menjadi sasaran luapan emosinya. Aku memaklumi emosinya tapi tetap tidak membenarkan dia mengasari Danar.
“Tugas kamu kan bisa di print ulang. Latih kesabaran kamu dong, namanya juga anak-anak. Kalau Danar terluka begini gimana mamah menjelaskan ke ayahnya coba?” Belaku sambil menenangkan Danar. Bibinya Danar tergopoh-gopoh datang mendengar tangisan Danar.
“Aduh… Maaf Mbak Kira, saya tadi di halaman sedang menjemur baju”
“Tolong siap-siap bi, kita ke Dokter sekarang”
“Mamah membawa Danar kesini juga salah satunya supaya kamu belajar dekat dengan anak-anak karena kamu sebentar lagi akan menjadi ibu. Harusnya kamu memikirkan ini saat kamu mau bikin anak, Nara. Mengurus anak itu tidak semudah saat kamu bikin, itu kenapa selama ini mamah selalu tegas mengenai aturan pacaran, sekali kamu terpeleset kamu sudah tidak bisa mundur lagi. Andai kamu tahu perasaan mamah,”
 Aku menatap tajam ke Nara, dia hanya bisa menunduk diam tidak berani menjawabku lagi.

***

Hari itu, aku dan Danar sudah bersiap-siap menjemput Rayan ke bandara, semalaman kemarin aku sudah mengarang dan merangkai cerita untuk menjelaskan kepada Rayan mengenai luka Danar, aku sebenarnya malu karena tidak bisa menjaga anaknya dengan baik hingga terluka begitu, aku sengaja tidak menceritakan ke Rayan melalui telepon karena takut membuatnya khawatir dan mengganggu pekerjaannya. Saat aku sedang memanaskan mobil, tiba-tiba saja Rayan menelponku memberitahu bahwa aku tidak perlu menjemputnya karena dia ada urusan mendadak di pekerjaannya jadi dia akan menyelesaikannya dulu. Dan baru saja aku menutup teleponku dari Rayan, tiba-tiba dari sekolah Nara menelponku bahwa Nara sedang di Rumah Sakit karena telah terjadi masalah. Aku segera buru-buru meluncur menuju kesana.

Begitu tiba di Rumah Sakit aku disambut oleh Wali kelas Nara yang sudah menungguku di parkiran mobil, ahh… pasti wali kelasnya sudah tahu bahwa Nara hamil. Aku sudah pasrah dengan apa yang terjadi, kalau memang aib ini harus terbongkar ya sudah aku pasrah apabila Nara harus dikeluarkan dari Sekolahnya, hanya itu yang berkecamuk di pikiranku. Aku menggendong Danar yang ikut bersamaku karena tadi dia tidak mau aku tinggal di rumah bersama bibi yang sedang tanggung memasak. Perasaanku sudah campur aduk, nafasku terasa tersengal berjalan terburu-buru, dan keringat dingin mulai menetes di leherku, anggota badanku sudah tidak bisa lagi menyembunyikan kecemasanku membayangkan rasa malu sebentar lagi menyaksikan pengakuan Nara tentang kehamilannya di depan semua orang, ya… kali ini semua orang akan membicarakan aib kami ini.

“Dikamar apa Nara dirawat, bu?” Tanyaku pada Ibu Wali Kelas Nara.
“Nara tidak di rawat Bu Kira, dia ada di ruangan staf” Aku heran mendengar jawabannya. Kami menuju ruangan yang dimaksud, dari luar sudah terdengar suara teriakan seorang perempuan yang terdengar sedang memohon-mohon, deg! Tidak salah lagi itu suara Nara.

“Dokter harus menikahi saya, kasihan mamah saya dok, tolong tanggung jawab karena telah membuat saya seperti ini,”

Aku membuka pintu ruangan itu tanpa mengetuk, di sana tampak ada beberapa dokter dan seorang gadis yang sedang berlutut didepan dokter pria yang berdiri, mendengar suara pintu terbuka dokter pria itu menoleh ke pintu, padangan kami bertemu, dan seketika mataku terbelalak melihat sosok itu. Danar beringsut turun dari gedonganku dan berlari kearah pria itu yang juga tidak kalah terkejutnya melihatku.
“Ayah… Ayah… “
Nara terbelalak melihat anak kecil itu berlari memeluk sosok didepannya.
”Ayah????” Seketika Nara pucat pasi, dia kaget melihatku juga ada disitu.
“Ra… Rayan…” Suaraku tercekat. Aku mematung masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat, kakiku gemetar, dadaku sesak karena emosi yang tiba-tiba menyeruak dan tiba-tiba aku merasa seluruh sendi tulangku lepas, lemas seolah tidak kuat menopang berat badanku lagi dan BRUKKKK!!! Aku pun jatuh pingsan.

***

Aku merasakan sakit yang luar biasa di kepalaku begitu membuka mataku. Nara segera menyongsongku melihatku sudah terbangun.

“Mah… Mamah… tidak apa-apa?”
Aku mengedarkan pandanganku, hanya ada Ibu Wali kelas dan Nara yang ada diruangan itu.
“Rayan dimana?” Tanyaku dengan suara masih lemas,” Dia hutang penjelasan ke mamah”
“Tidak Mah, ini semua ulah Nara bukan Dokter Ray,” Nara menahanku untuk bangun, dia menatapku dengan penuh penyesalan.
“Maafkan Nara, Mah. Nara sudah berbohong ke semuanya, tentang kehamilan, tentang pacar, semua itu hanya rekaan Nara, Nara benar-benar minta maaf” Mata Nara mulai berkaca-kaca.
“Nara tidak tahu kalau Dokter Ray ternyata teman Mamah dan Danar adalah anaknya, Argh… Nara sangat malu kalau ingat perlakuan Nara ke Danar. Nara tadi sudah minta maaf ke Dokter Ray, Mah”
“Kenapa kamu melakukan semua ini, Nak?” Aku sedih mendengar pengakuan Nara, sedih karena dia sudah melakukan kebohongan besar yang mengerikan.
“Mamah pernah bilang, berbohong demi kebaikan itu dibolehkan, ya Nara melakukannya demi mendapatkan Dokter Ray”
“Kebaikan siapa yang kamu bicarakan?”
“Ya Nara mengaku ke Mamah, selama ini Nara tidak pernah mempunyai pacar ya karena Nara memang tidak pernah tertarik dengan cowok manapun, tapi pas PKL begitu melihat Dokter Ray Nara tiba-tiba saja tertarik, Nara mengagumi Dokter Ray sama seperti teman-teman Nara yang lain. Tapi Nara ingin Dokter Ray dekat terus dengan Nara karena Nara menemukan nyaman setiap berbicara dengannya, Dokter Ray sangat menyenangkan juga kebapakan dan itu mengingatkan Nara ke Papah. Mamah sendiri yang bilang tidak mau menikah lagi mencari pengganti Papah padahal Nara ingin sosok seorang Ayah di rumah kita. Nara menemukan sosok itu di Dokter Ray, mah. Ditambah teman Nara juga ada yang tergila-gila juga, ya sudah Nara melakukan kebohongan ini karena tidak ingin keduluan teman Nara yang lain,” Nara menyeringai malu. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku mendengar pengakuannya.
“Jadi, sampai detik ini kamu masih menyukai Dokter Ray itu?” Tanyaku meyakinkan lagi.
“Arghh… Rasa suka Nara tiba-tiba lenyap mah begitu tahu Dokter Ray adalah ayahnya Danar sekaligus teman Mamah. Rasa malu Nara lebih besar jadi mengalahkan rasa suka Nara”, Aku Nara polos dengan kekanak-kanakannya. Ah… Lihatlah betapa polosnya dia, perasaannya saja sudah bisa berubah dalam hitungan detik.
 “Maafkan Nara ya Mah sekali lagi, Nara pikir Mamah tidak akan keberatan kalau Nara menikah muda, asal calon suaminya seperti Dokter Ray”
“Mamah tidak keberatan kamu mau menikah dengan siapapun, Nara. Asal dengan cara yang baik, jangan tiba-tiba mengaku sudah hamil, itu beban buat Mamah karena merasa gagal mendidikmu di mata orang. Dan satu lagi, ya kalau bisa cari yang masih muda, yang seumuran… Jangan yang sudah Om – Om gitu” Ujarku merengut kearah Nara.
“Hmm… Memang kenapa kalau Om – Om?” Tiba-tiba sebuah suara datang masuk di pembicaraan kami. Tampak Rayan masuk ke dalam ruangan itu dengan menggendong Danar. Aku sedikit salah tingkah.
“Ya tidak kenapa - kenapa juga sih, cuma ya mbok Om – Om nya saja yang tahu diri,” Kilahku buru-buru. “Kalau semua Om – Om maunya dapet cewek yang muda, ya bakal apa kabar dengan cowok – cowok muda yang masih single di luaran sana coba? Kasihan mereka dong makin susah dapat perawan nanti”
“Haha… Ya sudah kalau gitu berarti Om nya buat Mamah kamu saja ya, Nara?” Ledek Rayan ke Nara.
“Wah… Tunggu dulu, kalau Dokter Ray sama Mamah, berarti anak ini bakal jadi adikku dong?” Tanya Nara dengan ekspresi shock sambil menunjuk kearah Danar. Danar yang merasa ditunjuk segera meminta turun dari gendongan Rayan.
“Kakak ini nakal… Kakak nakal… Aku mau pukul,” Danar berlari mengejar Nara yang histeris duluan.

Aku dan Rayan tertawa bersama melihat tingkah mereka, mengingat kelakuan Nara hari ini, ingatanku melayang pada obrolanku dengan Nara kala itu.

Dulu dia pernah bertanya:
"Ibu... kenapa berbohong itu dosa?"
"Karena Allah tidak menyukainya, nak"
"Hmm... jadi kita gak boleh bohong ya bu?"
"Boleh nak, tapi asal buat kebaikan"
Dan hari ini dia melakukannya, ya... Kamu belajar sangat baik ternyata nak, tapi ibu lupa memberitahukanmu dulu, bahwa point terakhir waktu itu tidak boleh kamu lakukan ke ibumu. Karena hal yang paling penting dari sebuah kebohongan adalah jangan berbohong kepada orang yang kamu cintai.

The most important thing about lie is don't lie to the person you love.

*SEKIAN*

NB: Jalan cerita, Nama tokoh dan lainnya hanya karangan belaka, pembaca dilarang baper ^. ^

Pic source by www.gambaranimasi.org