Jumat, 29 Juli 2016

Sebelum Kita Sejauh "Matahari" Kita Pernah Sedekat "Nadi"


Bukan tanpa alasan Allah mempertemukan kita
Bukan sebuah kebetulan jika kita ternyata sangat dekat
Dan bukan karena sebuah keterpaksaan akhirnya kita berpisah
Semua telah tertulis di lauful mahfudz

Aku sangat mengenal dirimu
Bukan karena lamanya waktu
Aku tidak memerlukan banyak waktu untuk dapat mengenalmu lebih jauh

Dirimu seperti udara yang aku nikmati di pagi hari
Seperti makanan yang aku santap setiap siang
Seperti jalanan yang aku lewati setiap sore
Dan Seperti musik yang aku dengar setiap malam

Aku hapal lembut suaramu
Aku ingat tatapan matamu
Dan aku mengerti arti senyumanmu

Meninggalkan aku sudah menjadi niatmu
Mungkin akan kamu sesali dikemudian hari
Kamu menangis di hadapan aku
Aku sangat sedih sekali
Karena dibelakangku kamu tertawa

Aku mencintaimu dan kamu tau itu
Mungkin kamu ingat pernah mengatakan hal yang sama padaku
 tapi itu DULU.....
Saat kamu sanggup mengatakannya dengan senyuman

Sekarang kamu benar-benar meninggalkan aku
Demi mengejar mimpi - mimpi mu
Aku tidak boleh egois

Sekarang kamu sangat jauh dariku sejauh Matahari
Walaupun sebelumnya kita pernah sedekat nadi

Tetaplah menjadi indah diwaktu yang indah
Aku akan menjaga semua titipan yang dirimu berikan

Doaku tak putus untukmu
karena begitulah cara aku mencintaimu
Cinta yang tak perlu ada balasannya
Cinta yang bisa aku rasakan sendiri

Berbahagialah kamu disana
Biar kurasakan merindu dirimu mengalir dalam nadiku

Sumber: http://www.kompasiana.com/seraymulyani/sebelum-kita-sejauh-matahari-kita-pernah-sedekat-nadi_55723a032523bde96112ae8e

Terima kasih sudah menciptakan tulisan yang begitu indah mba Seray ^.^

Selasa, 19 Juli 2016

UCIL (Ungkapan Kecil)

Apa yang berbeda dari hujan sore ini?
Aromanya... Ya aroma - aroma kemarahan dari angin, aroma ketakutan dari dingin, aroma kekalahan debu – debu tanah yang tergerus air hujan. 
Lalu apa ada yang salah? Tidak, tidak ada yang salah, kecuali mereka - mereka yang merasa kalah.
Itu saja.

Makna Sebuah Titipan

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan
Bahwa mobilku hanya titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya
Tetapi, mengapa aku tidak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?


Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yg bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali olehNya?


Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja yang melukiskan bahwa itu adalah derita


Ketika aku berdoa, kuminta titipan yg cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta, lebih banyak mobil, lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan.


Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
“aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan nikmat dunia kerap menghampiriku


Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku” dan
menolak keputusan Nya yang tak sesuai keinginanku,


Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk
beribadah…
“Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja”

(WS Rendra)
Note: Buat titipan terindahku (Anakku): Selamat Ulang Tahun, nak... segala doa kebaikan ibu senantiasa menyertaimu 😙