Aku mengenalnya pertama kali sebagai sesama karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan yang sama, hanya saja aku ditempatkan di kantor cabang sedangkan dia di kantor pusat. Namanya Khainan, seorang staf senior di divisi akunting kami. Aku sebagai supervisor akunting di kantor cabang bertugas memberi laporan ke kantor pusat setiap minggunya, dan kebetulan untuk teamku ditangani oleh dia. Selain divisi keuangan, ada tiga divisi lain yaitu team finance, billing dan pajak yang ditangani oleh staf senior yang berbeda di pusatnya. Saat closing bulanan tiba, teamku lah yang paling sibuk di ujung deadline karena ada beberapa laporan yang harus menunggu tiga divisi lain closing, setelah itu baru team akunting bisa bergerak merampungkan tugasnya hingga menjadi laporan keuangan dan dilaporkan ke pusat, sudah biasa buat kami pulang larut malam bahkan dini hari apabila laporan belum selesai. Awal bekerja, aku kaget dengan ritme kerja teamku, laporan harus selesai tepat waktu dengan deadline yang mepet, beberapa kali sempat membuatku stress, tapi beruntunglah seniorku begitu baik, tidak jarang dari kantor pusat Khainan membantu teamku menyelesaikan laporan supaya bisa tepat waktu.
Setahun lebih aku bekerja, belum pernah sekalipun bertemu dengan Khainan, dia tidak pernah ikut di jadwal visit ke kantor cabang seperti staf senior yang lain, aku disebut sebagai putri kesayangan Khainan oleh mereka karena apabila di kantor pusat menemukan kesalahan di team akunting, Khainan selalu bisa pasang badan dengan berbagai penjelasan, berbeda sekali saat Khainan menangani team sebelum aku. Aku pernah bertanya kenapa tidak pernah mau mampir ke cabang, selalu dijawab bahwa dia mempunyai team yang hebat yang cukup dipantau dari jauh saja semua sudah beres. Aku sudah begitu familiar dengan suaranya karena kami setiap hari bicara melalui telepon dan email untuk masalah pekerjaan, Suara Khainan sangat nyaman didengar, dalam keadaan marahpun suaranya selalu tenang dan dia juga begitu perhatian pada anggota team yang sakit. Bukan hanya pekerjaan, terkadang Khainan juga iseng komen photo profilku di akun messanger, dan akhirnya menimbulkan obrolan yang panjang lebar dan ledek-ledekan juga, sebenarnya ke temen satu teamku yang lain juga dia melakukan hal sama, dia beralasan supaya hubungan kami tidak kaku satu dengan yang lain dan lebih terbuka setiap ada masalah. Tapi sepertinya aku telah jatuh hati dengan sosok yang belum pernah aku lihat itu karena intensitas komunikasi lebih sering denganku, sosok misterius yang bahkan photo profile di messanger nya tidak pernah menampakan wajahnya. Kadang kami satu team bercanda membayangkan wajah Khainan seperti apa, ya… seperti apa ya? Aku sendiri penasaran.
Mungkin aku telah gila, selain teman-teman satu team dikantor, perasaanku ini juga aku sampaikan ke sahabat-sahabatku diluar kantor, yaitu teman dulu sekampus, karena diantara kami berlima (Rita, Sasha, Elin, Ayu dan aku) hanya aku sendiri yang masih sendiri. Aku selalu jadi bahan ledekan dengan julukan jones (Jomblo ngenes) karena sudah 3 tahun aku tidak kunjung mempunyai kekasih. Ya… sudah 3 tahun sejak aku patah hati dikhianati dan ditinggal menikah dengan wanita lain oleh pacarku waktu itu, entah berapa kali mereka mencoba menjodohkanku dengan teman-teman mereka, tapi nihil, tidak ada yang bisa menarik perhatianku karena memang sosokku sendiri yang susah untuk jatuh cinta. Mereka kegirangan saat aku memberitahu bahwa aku sepertinya jatuh hati pada atasanku itu, tapi kemudian mereka tertawa dengan pengakuanku, bagaimana bisa sudah jatuh hati padahal bertemupun belum pernah. Aku hanya menjawab bahwa aku menyukai namanya, Khainan… Khainan.. entahlah nama itu begitu indah didengar.
Akhirnya hari yang aku tunggu datang juga, aku mendapat undangan untuk menghadiri training selama seminggu di kantor pusat bersama supervisor dari divisi lain juga. Itu berarti aku akan bertemu dengan Khainan disana. Teman – teman satu teamku sudah heboh menitip pesan supaya aku mengambil poto sosok Khainan, oleh anak – anak divisi lain juga aku mendapat ledekan bahwa akhirnya akan bertemu dengan pangeranku. Suatu reaksi yang berlebihan mengingat aku ini hanya akan bertemu seorang atasan.
***
Jam 9.00 tepat kami team cabang telah berkumpul di lobi, kemudian diarahkan ke ruang meeting, aku membenahi rambutku, sedikit deg-degan saat memasuki ruangan, ternyata lumayan banyak yang sudah duduk disana, ya mereka adalah anggota team pusat dan team cabang kota lain, satu dua wajah sudah aku kenal sewaktu mereka mengunjungi kantor cabang tempatku, beberapa lainnya asing dimataku, salah satu dari mereka mungkin Khainan tapi aku tidak berani memperhatikan mereka. Sebelum meeting dimulai, kami semua diperkenalkan oleh Mba Nina, salah satu team HRD pusat, disebut nama dan divisinya, satu persatu kami berdiri membungkuk saat nama kami dipanggil lalu duduk kembali. Saat anggota team pusat diperkenalkan, disitulah aku baru tahu sosok atasanku itu.
“Berikutnya, yang duduk di pojok kanan adalah bapak Khainan R. Tama, penanggung jawab team akunting cabang kota Jakarta Selatan,” sebut Mba Nina. Tampak seorang pria tanpa bediri, hanya melambaikan tangan dari tempat duduknya dan tersenyum sambil menyapa sekeliling,” Halo..semua, saya Khainan, senang bertemu kalian semua,”. Aku menoleh kearah datangnya suara, orang itu daritadi luput dari pandanganku karena tempat duduk kami yang sejajar. Oohh.. ini yang namanya Pak Khainan, Finally, I found you, batinku sambil tersenyum sendiri. Sosok yang lumayan tinggi dengan badannya yang sedang dan rambut yang dibiarkan lurus berantakan di dahinya. Meeting berjalan lancar, dan akupun begitu semangat mengikutinya. Saat selesai hari sudah gelap, masing-masing sibuk berbenah perlengkapan mereka dan bergegas untuk pulang, aku masih membereskan berkasku saat tinggal beberapa orang yang tersisa di ruang meeting tersebut. Dan terdengar Khainan memanggilku.
“Eriel… kamu pulang bareng siapa?,” aku menoleh kearah Khainan yang menatap ke arahku dari tempat duduknya, sembari tangannya masih sibuk membereskan charger laptopnya.
“Saya naik taksi sendiri pak, tidak ada arah yang sama dengan saya soalnya,”
“Yaudah.. kamu bareng saya saja, sudah lumayan malam ini,”
“Ohh.. memang pak Khainan searah sama saya?,” tanyaku agak sungkan.
“Gampang, saya searah-arahin buat kamu,” guraunya sambil tersenyum,” kamu duluan saja, tunggu di Lobi, saya ambil mobil dulu”.
Aku menggangguk dan bergegas meninggalkan ruangan meeting. Ahh.. mimpi apa aku langsung diajak pulang bareng gini. Aku tersenyum sediri, please Eriela.. Jangan GR dulu kamu, ini hanya perhatian atasan yang tidak tega melihat anak buahnya pulang malam sendirian, aku berusaha menekan perasaan senangku. Tidak lama aku menunggu, tampak Khainan sudah didepan lobi dan membunyikan klakson mobilnya. Aku bergegas masuk ke dalam mobilnya. Kami bercerita kecil selama perjalanan, rasa kikukku perlahan lumer karena Khainan yang banyak bertanya ini itu ke aku seputar kerjaan, suaranya bener-bener mampu mencairkan suasana, dan membuatku berani nyerocos juga menjawab ini itu setiap pertanyaannya, lebih-lebih dia memintaku untuk tidak memanggil bapak apabila sudah diluar jam kerja, karena dia merasa seumuran juga denganku. Asli, aku benar-benar terpesona dengan sosoknya.
Satu setengah jam perjalanan ke rumahku terasa begitu singkat buatku, Khainan menolak saat aku menawarkannya untuk mampir dulu ke rumahku dengan alasan sudah larut malam, dia hanya melambaikan tangannya tanpa turun dari mobilnya dan menyuruhku segera masuk ke dalam rumah. Akupun berterima kasih dan segera masuk, namun dari balik korden jendela rumah, aku masih mengintipnya hingga mobilnya menghilang di ujung jalan. Fix, aku menyukai sosok itu.
Waktu seminggu itu berlalu dengan cepat, banyak hal yang pelajari dalam pekerjaan dan banyak pula hal yang aku perhatikan dari Khainan. Dia sosok yang supel dan humoris, tapi di jam – jam tertentu seperti jam makan siang dia lebih memilih tidak bergabung dengan teman – temannya, setiap yang lain beranjak ke kantin untuk makan siang, dia selalu saja tampak asyik dengan laptopnya, entahlah mungkin memang karena dia sedang banyak kerjaan. Begitu juga saat mengajakku pulang bersama, selalu aku disuruh turun duluan dari lantai 4 tempat kantor kami dan menunggu di lobi, jawaban yang sama dengan hari pertama dia mengantarku juga selalu dia cetuskan setiap aku ajak mampir ke rumahku. Dihari terakhir, Khainan kembali mengantarku, dia membelikanku makanan via Drive Thru di sebuah restoran cepat saji, macet membuatnya lapar katanya. Dalam perjalanan itu Khainan bercerita bahwa dulu dia termasuk orang yang keras dan tanpa toleransi ke anak team nya, semua laporan harus perfect tidak boleh ada kesalahan, tidak sedikit yang menganggapnya menyebalkan dan bahkan beberapa anak cabang yang dibawahinya ada yang resign hanya karena sikap Khainan, tapi ada satu kejadian yang telah membuatnya berubah, yang membuatnya berpikir bahwa kalau kita ingin disukai orang lain, maka kita juga harus belajar menyukai orang terlebih dahulu. Saat aku tanya apa kejadian itu, Khainan hanya menggelengkan kepalanya. Akupun hanya menggangguk-angguk maklum tanpa berniat mendesaknya. Ohh… mungkin ini alasannya selama ini dia begitu baik ke anak buahnya, termasuk aku. Aku tersenyum kecut begitu memikirkannya.
Hari Senin, aku memamerkan photoku bersama Khainan kepada teman – teman kantorku, photo yang aku ambil sebelum aku turun dari mobilnya saat hari terakhir Khainan mengantarku, itupun sedikit memaksa dengan alasan bahwa kasihan teman – teman team akunting lain juga begitu ingin melihat sosoknya. Sedikit buram memang pencahayaan di photo tersebut sehingga wajah Khainan tidak begitu jelas terlihat. Aku bercerita bahwa sosok Khainan ternyata benar – benar sempurna seperti yang aku bayangkan, teman – teman yang lainpun meledek iri kepadaku. Sejak photo itu aku perlihatkan, gossip aku berpacaran dengan Khainan menyebar cepat di kantor cabangku tanpa bisa aku cegah, aku menyangkal bahwa tidak ada hubungan apa – apa dengan Khainan pun tetap sia – sia, mereka tetap meledekku. Karena aku pikir, mereka hanya bercanda jadi aku tidak terlalu memikirkannya.
Dan pada teman – teman kampusku aku tunjukan pula photo itu supaya mereka berhenti meledekku jones, tidak ada maksud lain saat itu. Sampai pada akhirnya berita itu sampai ke orang – orang kantor pusat, dan aku merasa Khainan berubah terhadapku. Komunikasi pekerjaan hanya dia balas melalui email, telepon dan pesan – pesanku mulai jarang dia balas biarpun mengenai pekerjaan. Setiap di telpon selalu sedang tidak berada ditempat, lebih sering menitip pesan untukku melalui teman satu teamku apabila ada koreksi atas pekerjaanku.
Ohh… Tuhan, beginikah rasanya ditolak sebelum menembak? Ya… bahkan aku pun belum mengutarakan perasaanku ini tapi aku merasa seperti sudah ditolak oleh Khainan. Dan aku pun tidak mempunyai keberanian untuk menanyakan ke Khainan kenapa dia berubah? Kenapa dia menghindariku belakangan ini? Kalaupun dia marah akan gossip itu, tidak bisakah dia tanyakan ke aku terlebih dahulu? Tiba – tiba ada kesedihan yang tidak bisa diceritakan, menusuk hati dan menyesakkan dadaku. Dan di bulan kedua Khainan mendiamkanku, kesabaranku mulai habis, aku bertekad untuk menyelesaikan ini dengan mengirim pesan singkat ke Khainan malam itu.
“Nan, aku minta maaf kalau aku sudah melakukan kesalahan yang mungkin aku tidak sadari hingga kamu sekarang berubah, dan aku minta maaf apabila sudah membuatmu tidak nyaman atas berita yang beredar. Selama ini aku juga sudah menyangkalnya tapi aku tidak bisa membungkam semua orang untuk berhenti meledekku, salahku memang sudah membiarkannya tapi itu karena aku tahu mereka hanya bercanda. Aku harap kamu tidak marah atas ini dan kita bisa tetap bekerja sama dengan nyaman seperti sebelumnya,”
Pesanku terkirim dan Handphone-ku langsung berdering, aku kaget, itu telpon dari Khainan. Lama dering itu aku biarkan tak terangkat, entahlah entahlah aku seperti tidak punya keberanian untuk menghadapinya. Aku tiba – tiba merasa malu dan bingung harus mengatakan apa.
“Tolong angkat teleponku sebentar, Er,” pesan masuk dari Khainan.
“Maaf nan, lewat pesan saja, aku lagi ga bisa angkat telepon” balasku
“Sepertinya kita perlu ketemu, Er, kita perlu bicara”
“Maaf aku belum bisa ketemu kamu sekarang – sekarang ini, nan”
“Kenapa begitu?”
“Entahlah... tiba – tiba aku ga punya keberanian buat ketemu kamu”
“Loh… Kenapa Er?”
Lama aku membiarkan pesan terakhir dari Khainan tidak aku balas. Ada kebimbangan yang tidak bisa dijelaskan. Pesan masuk tampak di handphone-ku lagi.
“Eriela…”
Aku masih membiarkan handphone ku tergeletak. Perasaanku makin berkecamuk tidak jelas. Semenit kemudian, berturut – turut pesan masuk berbunyi.
“Please... jawab aku. Kenapa?”
Khainan sepertinya sangat penasaran dengan alasan ketidakberanianku bertemu dia, aku putuskan untuk membalas pesannya.
“Karena aku menyukai kamu, nan. Itu yang sebenarnya terjadi”
“Kalau begitu, kita harus ketemu,”
Tiba – tiba handphone-ku langsung berdering kembali, Ohemji… Khainan menelponku lagi. Dengan gemetar aku beranikan menerima telponnya.
“Kita harus ketemu,”
“Maaf nan, aku…,” belum selesai aku berbicara, Khainan sudah menyambarku.
“Tolong Er… jangan menolaknya. Aku tunggu kamu besok malam,” Tutt… Tutt… Tutt… Khainan mengakhiri panggilannya. Membiarkan aku gelisah menunggu esok hari.
***
Aku melirik jam di dinding kafe tempat aku akan bertemu dengan Khainan, sudah lewat seperempat jam tapi Khainan belum juga kelihatan. Sedikit tidak sabar aku menunggunya, jujur aku merindukan raut dan suara Khainan yang belakangan terasa sekali jauh dariku. Aku menyeruput minumanku yang sudah hampir habis. Mataku tak lepas mengawasi pintu masuk kafe, berharap Khainan segera muncul. Dan tiba – tiba mataku menangkap sosok seorang pria berjalan memasuki kafe, aku mengenal betul wajah itu, ya wajah yang aku rindukan belakangan ini, tapi aku terkejut melihat cara dia berjalan, langkahnya tampak pendek sebelah, kaki sebelah kanannya terlihat jelas lurus kaku dengan diseret perlahan menuju ke arahku.
“Khainan….,” Suaraku tercekat di tenggorokan, aku berdiri kaget tanpa bisa berkata – kata. Ingatanku seketika melayang saat – saat aku mengikuti training di kantor pusat, terjawab sudah mengapa Khainan selama ini tidak pernah ikut mengunjungi kantor cabang, mengapa dia tidak pernah bergabung untuk makan siang bersama, mengapa dia selalu menyuruhku duluan dan menunggu di Lobi saat mengantarku pulang, pesanan via drive thru hingga ajakan mampir yang selalu dia tolak. Benarkah karena ini alasannya?
***
Aku masih termenung di kamarku, mengingat cerita Khainan tentang kakinya, sebuah kecelakaan yang mengerikan 4 tahun lalu hasil perbuatan mantan anak buahnya yang sakit hati karena dipecat oleh Khainan saat ketahuan menggelapkan uang kas kantor, seperti yang diceritakan Khainan sebelumnya bahwa dulunya dia sosok yang tegas dan tanpa toleransi, tanpa mendengar alasan anak buahnya bahwa dia menggelapkan uang kas karena butuh biaya untuk membayar hutang sewaktu istrinya melahirkan, tapi Khainan tetap memecatnya. Aku masih memikirkan kata-kata Khainan di pertemuan kami tadi, supaya aku berpikir ulang untuk menyukainya, dia memberitahu bahwa akan tidak mudah jalan dengan pria dengan kondisi seperti dia, bagaimanapun akan ada saja orang yang melihat dengan aneh. Tapi tadi dengan yakin aku langsung menjawab tetap akan menyukainya dengan segala kondisinya karena aku sudah terlanjur sayang, dan lagi aku merasa alangkah jahatnya aku jika aku langsung berhenti menyukainya hanya karena kekurangan fisiknya.
Benar saja, hari pertama aku mengenalkan Khainan ke keluargaku, ibuku tampak sangat terkejut. Setelah Khainan pulang, aku disuruh berpikir ulang untuk tidak meneruskan hubungan dengan Khainan, ibuku khawatir Khainan tidak bisa menjagaku karena untuk menjaga dirinya sendiri Khainan pasti kesusahan, aku memohon pada ibuku untuk membiarkan aku mencoba menjalani hubungan ini.
Berjalan hampir 2 bulan hubunganku dengan Khainan baik – baik saja, aku menemukan kenyamanan dengan semua perhatian Khainan. Aku yang seorang anak tunggal merasa menemukan sosok seorang kakak yang mengayomiku. Tapi entah kenapa aku belum berani menceritakan tentang kondisi Khainan yang sebenarnya baik ke teman kantor di cabang ataupun ke teman-temanku kampusku, aku selalu menyiapkan jawaban saat mereka menyuruhku mengajak Khainan untuk ikutan futsal bareng pacar – pacar mereka. Masih ada rasa malu terselip di hatiku karena di awal aku sudah menceritakan Khainan adalah sosok yang begitu sempurna.
Siang itu, aku berkumpul di salon dengan teman – teman kampusku untuk menghadiri pesta pernikahan Rita, ya... akhirnya salah satu dari kami menikah juga. Teman-temanku yang lain mengajak pacar mereka, hanya aku yang datang sendiri.
“Er, kok Khainan ga ikut?,” tanya Sasha sambil membantuku mengancingkan kebaya yang sedang aku kenakan.
“Iya, dia ada meeting keluar kota hari ini jadi ga bisa nemenin aku deh,” sahutku sekenanya. Bohong, aku berbohong lagi. Khainan bahkan tadi menawarkan diri untuk sekedar mengantarku yang pamit malam ini akan ada acara keluarga, tapi aku menolaknya. Masih terbayang jelas tatapan dalam Khainan kepadaku saat aku menolak diantar.
“Ohh.. ya sih dia orang sibuk kan. Ohya Er, aku kemarin ikutan interview di kantor pusat kamu tau, di bagian HRD, nama kantor kamu PT Astec bukan?,” cerita Sasha.
“Iya, itu kantorku. Kok ga cerita – cerita ngelamar disitu, Sa?”
“Aku juga ga niat tadinya, ditawarin kakakku, eh gantian dong pasangin kain buatku,” ujar Sasha sambil menyodorkan kain jarik miliknya. Aku membantunya dengan pikiran berkecamuk, bagaimana kalau Sasha benar – benar diterima kerja di kantor pusatku?.
“Ohya Er, waktu aku nunggu interview di resepsionist, ada orang yang manggil nama Khainan ke seseorang yang lewat depanku waktu itu, tapi orang itu kakinya ada kelainan, kaya pincang sebelah gitu. Bukan Khainan kamu kan itu?,” Deg!! Aku terpaku, tanganku sedikit gemetar mendengar cerita Sasha.
“Eh.. mungkin aku yang salah denger ding, pasti itu orang lain. Mr. Khainan nya Eriela yang tercinta kan katanya perfect banget, ya kannn…,” Sasha keburu nyerocos tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya, mencubit pipiku gemas sambil mengedipkan matanya ke arahku,’ awas kalau nanti di pernikahan aku, kamu ga ajak dia loh,”
Aku tersenyum kaku,” Iya.. pasti aku ajak dia,”
Esoknya aku mendadak menjadi lebih romantis, mengirimkan coklat ke kantor pusat untuk Khainan dengan serangkaian kata puitis untuknya, Khainan tertawa menelponku saat sudah menerimanya, menanyakan dalam rangka apa itu?, aku hanya menjawab setengah bercanda.
”Dalam rangka takut kehilanganmu,” jawabku sambil membalas tawanya. Tapi dalam hatiku berkata lain,”Dalam rangka meminta maaf telah membohongimu kemarin, Nan”.
***
Hari ini, aku berencana nonton bareng bersama geng kampus, Rita akan mentraktir kami karena kemarin sudah membantunya sewaktu acara pernikahannya. Aku berencana menelpon Khainan saat tiba-tiba ada panggilan masuk yang ternyata dari dia.
“Hai sayang,,, baru aja aku mau nelpon kamu, ,” ujarku ceria
“Ohya… wah kita memang sehati nih,” tawa Khainan,” Aku mau ajak kamu nonton hari ini, kamu ada waktu ga, yang? Ada film bagus katanya,”
“Wahh.. aku udah ada janji sama temen-temen kampus hari ini, yang. Aku udah iyain ajakan mereka, baru aja aku tadi mau nelpon kamu buat ngasih tau, Gimana dong?”
“Hmm.. Pada mau kemana memang hari ini?,”
“Emm.. Mau pada nyalon rame-rame, dapat traktiran dari Rita, yang. Maaf ya ga bisa ajak kamu, acara cewe soalnya ini,” Aku menggigit bibirku. Bohong, ya aku kembali berbohong pada Khainan, berat memberitahukan dia bahwa aku juga mau nonton, tapi bagaimana lagi, aku belum siap mengajak Khainan bertemu dengan teman – temanku.
“Ooohh.. it’s OK, kita ganti hari aja ya nontonnya, nonton sendiri males ga seru, kamu hati – hati ya dijalan” kata Khainan, ada nada kekecewaan terdengar ditelingaku.
***
Aku berlari-lari menuju lantai 3 tempat bioskop dimana aku mau nonton bareng teman-teman kampusku, aku terlambat karena macet. Tampak yang lain sudah berkumpul menungguku bersama pasangannya masing - masing, Aku masih ngos-ngosan saat masuk ke dalam bioskop karena film sudah akan dimulai.
“Khainan ga bisa ikut lagi, Er?,” tanya Rita,” Dinas keluar kota lagi pasti ya?”
“Heee.. begitulah,” sahutku sekenanya sambil meringis. Terlihat dari tempat duduk kami di bagian atas, belum banyak bangku yang terisi. Di deretan bawah masih banyak yang kosong. Tiba – tiba aku melihat dua sosok pria memasuki ruangan, salah satunya tampak berjalan dengan kaki terseret, sejenak aku terkejut menahan nafas. Deg!! itu Khainan…!.
Sasha tiba – tiba berseru, sambil menunjuk kearah Khainan ”Eh… Er, itu orang yang pernah aku lihat pas interview dikantor kamu, kamu beneran ga kenal?,”
“Engga, aku ga kenal, duh kok aku ngantuk ya” jawabku gugup. Aku segera menutupi wajahku dengan tissue sambil berdoa semoga tempat duduk mereka jauh dari tempat dudukku, tapi Tuhan tidak mengabulkan permintaanku kali ini, mereka berdua terus naik keatas menuju ke arah tempat duduk kami, aku melirik ke bangku seberang tempatku duduk persis, hanya dua bangku itu yang masih kosong untuk bagian atas. Matilah aku! Benar saja mereka duduk disitu. Dan Khainanlah yang duduk disebelah seberangku persis, dia belum menyadari keberadaanku disitu.
Jantungku berdegup kencang dan bingung harus bagaimana, aku sudah terlanjur bilang ke teman-teman bahwa Khainan keluar kota dan aku terlanjur bilang juga bahwa aku tidak mengenal sosok yang ditunjuk Sasha tadi. Aku mengutuk diriku sendiri karena telah menutupi tentang Khainan dari awal.
“Eriel.. iihh ngapain sih mukanya ditutupin tissue gitu? Udah mau mulai tuh filmnya,” kata Sasha sambil menarik tissue yang aku gunakan menutupi wajahku.
“Damn.. Sashaaaa… “Teriakku dalam hati sambil meringis, dan menundukan kepalaku ke bahu Sasha, tidak berani melihat ke arah Khainan,”Diem ih,, kepalaku agak pusing tiba-tiba,” bisikku.
“Eriel…,” Suara orang dari sebelah dan sebuah tangan menyentuh bahuku pelan, suara yang biasa nyaman ditelingaku sekarang terdengar seperti petir. Tamatlah sudah, aku harus bersandiwara apalagi ini?? Aku benar - benar menangis dalam hati. Aku beranikan diri menengoknya.
“Eh.. iya, saya?,” suaraku terdengar sekali gugupnya.
“Loh.. kamu kenal dia, Er? Tadi katanya engga kenal,” suara polos Sasha setengah berbisik di telingaku. Argghh.. Sashaaa betapa ingin aku sumpal mulut kamu saat ini. Khainan menarik tangannya mendengar kata – kata Sasha, dengan ragu dia duduk kembali, aku menengok ke arahnya, mata kami bertemu, ada kekecewaan yang begitu dalam terlihat jelas olehku karena dia menyadari bahwa aku baru saja sedang berpura – pura tidak mengenalnya, dia tampak tersenyum sendiri dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ada ketakutan yang begitu besar di mataku. Aku kehilangan kata – kata, tenggorokanku seperti tercekat. Teman – temanku masih belum sadar tentang yang terjadi.
Sejenak kemudian, Khainan berdiri dan tanpa berkata sepatah katapun berjalan meninggalkan ruangan bioskop, menuruni tangga tempat duduk dengan susah payah, dia tidak menghiraukan temannya yang memanggilnya. Aku masih tertegun tidak tahu harus berbuat apa melihat sosok yang aku cintai itu pergi, yang aku cinta?? Benarkah? Kalau cinta harusnya buta, harusnya aku tidak malu dengan kondisi Khainan, ahh.. tidak.. tidak.. aku bukannya malu, tapi aku hanya butuh waktu untuk menjelaskan salah paham teman – temanku selama ini akan sosok Khainan yang sempurna, aku mencintai Khainan tulus selama ini. Tulus?? Berhentilah membela diri, Eriela! Cinta yang tidak buta, itu bukan cinta namanya, itu hanya obsesi! Ahh.. tidak, aku sungguh – sungguh menyayangi khainan, Perang batin terjadi di dalam diriku. Aku tiba – tiba merasa menjadi orang yang paling munafik yang pernah ada, dan merasa begitu bersalah kepada Khainan, tanpa sadar aku terisak. Sedetik kemudian aku putuskan mengejar Khainan, aku benar – benar tidak mau kehilangan orang yang aku sayang untuk kedua kalinya.
“Eriel… kamu mau kemana?,” seru Sasha setengah berbisik. Aku berlari tidak mempedulikan panggilan Sasha, yang ada dipikiranku hanya aku harus segera minta maaf kepada Khainan dan menyesali sikapku. Tapi aku tidak menemukan sosok Khainan diluar bioskop, aku mengedarkan padanganku kesekeliling di setiap lantai mall yang aku turuni, belum terlihat juga. Tiba di lobby mall hujan turun dengan derasnya. Aku mencoba menelpon Khainan, tapi tidak diangkat. Aku harus menemukan Khainan saat ini juga, aku putuskan berlari ke arah jalanan menembus hujan, mataku mencari sosok Khainan dan aku melihatnya sosok itu di seberang jalan berteduh di halte bus.
”Khainannnn…!!!,” teriakku memanggil, sosok itu menoleh melihat ke arahku, rautnya terkejut melihatku hujan – hujanan. Saking senangnya, aku berlari menyebrang jalan bermaksud mengejar Khainan, tepat dengan sebuah mobil melaju kencang. Terdengar bunyi klakson mobil begitu keras, dan aku merasakan tubuhku terhempas tinggi dan jatuh menghujam jalanan aspal yang keras dan basah, dan aku tidak bisa merasakan tubuhku, aku merasakan dadaku sesak dan semua tiba – tiba gelap.
***
Esok hari aku membuka mataku, aku melihat keluargaku, ada ibuku menangis disampingku, ada sosok Khainan disana menatapku dengan mata berkaca - kaca, aku bingung kenapa mereka semua sedih, tapi aku bahagia bisa melihat Khainan kembali, aku ingin minta maaf ke dia secepatnya, aku ingin dia tahu bahwa aku akan menyayanginya dengan tulus. Aku berusaha bangun dari tempat tidurku dan aku terkejut saat aku menyadari kakiku tidak bisa aku rasakan,”Ibu… Dimana kakiku?”
***SEKIAN***
Note: Cerita ini hanya fiksi, apabila ada nama atau kisah yang sama, itu hanya kebetulan belaka, tidak bermaksud menyinggung siapapun.