Jumat, 26 Agustus 2016

Tragedi Salah Sambung


Drrr… Drrr…
Getar HP di saku celanaku mengagetkanku yang sedang serius mengikuti meeting pagi ini, aku mengabaikannya karena itu paling hanya notifikasi sebuah pesan masuk. Aku memang type orang yang tidak suka menggunakan nada dering baik dalam pesan atau telepon, selalu getar yang aku aktifkan supaya tidak menggangu saat bekerja. Aku kembali mengamati bosku yang sedang semangat 45 menjelaskan projek pekerjaan kami yang baru.
Drrr… Drrr... getar kembali dari saku celanaku, aku masih abaikan.
Drrr… Drrr…
Drrr… Drrr…
Drrr… Drrr…
Haiss… asli getar itu mulai menggangguku, sebagai cowok ini terasa begitu menggelitik dipahaku (you know what I mean lah), perlahan aku ambil Hpku dari sakuku dan aku intip diam-diam supaya tidak mencurigakan bosku. Ada 5 sms yang masuk, semua dari nomer yang sama, nomer yang tidak kukenal.
“Awan hari ini mengingatkanku ke kamu,”
“Awan”
“Kamu”
“Aku”
“Masih mungkinkah menjadi kita?”
Entah orang mana ini yang sepagi ini sudah gila. Sudah dua minggu ini aku menerima sms aneh – aneh seperti ini dari nomor yang tidak aku kenal, hampir setiap hari aku pasti menerima sedikitnya 2 sms setiap harinya, isinya hanya – hanya kata singkat seperti itu. Aku abaikan karena menganggap itu hanya sms iseng salah sambung atau aku sedang dikerjain temenku. Cuma asli, ini mulai menggangguku. Aku berencana membalasnya nanti pas istirahat makan siang.
Dan saat makan siang, aku membalas singkat sms aneh itu.
“Siapa ya ini?”
Lama tidak ada balasan, sampai aku selesai makan siangpun tidak ada sms masuk ke HPku. Dasar, orang gila! Gerutuku kesal.
***
Aku merebahkan badanku di tempat tidurku, Ahhh… Akhirnya bisa selonjoran setelah seharian berada diluar kantor mengecek pekerjaan di lapangan. Drrr… Drrr… Hpku bergetar.
“Aku benci malam” sms gila itu kembali masuk. Rasa isengku muncul. Orang ini tampak seperti sedang kehilangan seseorang, rasa penasaranku pun muncul.
“Kenapa? Malam disini Indah kok,”
“Malammu sudah bukan malamku,” aku makin penasaran dengan bahasa orang aneh ini.
“Masih mungkin,” balasku singkat, aku coba mengikuti bahasa orang itu yang sedikit sok misterius.
“Boleh kenalan?,” Insting isengku sebagai cowok muncul, ya kali aja ternyata cewek cantik. Namanya juga usaha.
“Kenapa harus kenal?,” balasnya
“Karena kamu sudah menganggu hariku,” Hahayyy… aku mulai keluarkan jurusku. Dua tahun menjomblo wajar apabila aku mulai penasaran dengan sosok pengirim pesan misterius ini dan siapa tahu Tuhan sedang membukakan jalanku bertemu dengan jodohku, aku nyengir sendiri dengan imajinasiku itu.
“Maaf sudah mengganggumu, aku berhenti disini,”
Rasa penasaran membuatku mencoba menelpon nomer orang itu, 3 kali aku mencoba tapi dia tidak mengangkat telepon dari ku. Sial... aku dikacangin. Akupun putuskan untuk tidur dengan perasaan kesal.
Esoknya HP ku sepi, tidak ada pesan aneh yang masuk. Hari kedua, ketiga hingga seminggu lebih orang itu berhenti mengirim sms lagi. Ada sedikit rasa ingin tahu kenapa dia berhenti mengirim pesan ke aku, aku sudah mulai terbiasa dengan adanya sms aneh itu dan saat tidak ada lagi sms yang masuk darinya, aku mulai merasa seperti ada yang kurang dalam hari – hariku. Ahhh… mungkin sudah kembali waras tuh orang, pikirku. Sejenak aku merasa bodoh telah memikirnya.
***
Dua bulan berlalu, musim berganti. Cuaca hujan yang tidak diprediksi mulai mengisi hari. Seperti hari ini Aku  terpaksa berteduh di halte, aku tidak membawa jas hujan karena cuaca pagi tadi begitu cerah. Ya... today is my blue day, dikantor sedang banyak masalah dengan proyek aku tangani, begitu banyak komplainan yang aku terima hari ini, ditambah kabar bahwa ibu dikampung mendadak sakit, aku harus mengirimkan uang segera untuk biaya rumah sakit, sedang sekarang masih tanggung bulan, Hhh… nasib karyawan rendahan. Tiba – tiba, HPku bergetar, membuyarkan lamunanku.
“Hari ini hujan turun, apa kamu juga melihatnya,” sms dari nomer aneh itu datang lagi. Dimana sebenarnya orang ini berada, kok bisa sama – sama sedang hujan. Penasaranku yang tertunda waktu itu muncul kembali.
“Ya,,, aku sedang melihat dan merasakannya, Hujan yang penuh keresahan,” balasku.
“Ulurkan tanganmu dan sentuhlah hujan itu, itu yang biasa kita lakukan dulu untuk menenangkan diri, bukan?,”
Wuihh… kok pas banget nih orang membaca suasana hatiku. Aku membalasnya.
“Kamu bukan aku,”
“Cobalah…,” balasnya.
Aku menutup HPku dan memasukannya ke dalam sakuku. Aku pandangi air hujan yang menetes deras melalui atap halte, jatuh bercipratan mengenai sepatuku. Perlahan aku ulurkan tangan kananku kedepan, aku merasakan air hujan menitik ditanganku, lama aku mengamati percikan airnya, udara dingin tapi aku merasakan sedikit kehangatan dan merasa mempunyai teman, ya... setidaknya aku tidak sendirian, ada air hujan kali ini yang menjadi temanku.
Malam itu, sesampainya dirumah, aku mengirim sms ke nomer itu sambil menanti kantukku datang.
“Semoga tidurmu tidurku nyenyak kali ini,” 10 menit tidak ada balasan.
“Setidaknya beritahu namamu,” tanyaku
“Namaku Dian” balasnya singkat.
Aku tersenyum membacanya, Dian… entah kenapa di kepalaku langsung terlintas sosok cantik Dian Sastrowardoyo.
***
Hari berikutnya, aku semangat berkirim pesan ke Dia, bertanya dia orang mana? Apa kita kenal sebelumnya? Tahu dari mana no handphone-ku? Apa penyebab dia selalu mengirim pesan aneh ke aku? Dan bla… bla… bla…. Masih banyak segudang pertanyaan lain. Ada sedikit pengharapanku bahwa dia mungkin memang orang kiriman dari Tuhan untukku, tapi dari sekian smsku, dia hanya membalasnya sekali.
“Aku tinggal di Bandung, setahun lalu aku kehilangan seseorang, nomermu persis nomernya, nomer yang sudah lama tidak aktif, ternyata sekarang nomer itu telah jadi nomermu. Mengirim sms ke nomer kamu menjadi obat rindu buatku, maafkan”
“Mulai hari ini kamu boleh bebas mengirim sms ke aku kapanpun, aku ga akan bertanya banyak,” tulisku.
***
Hari – hari berikutnya, kami sesekali masih berkirim pesan dan masih menggunakan bahasa – bahasa yang bukan pada umumnya. Kami tidak pernah bertanya kabar atau basa basi sejenisnya, kami masih bicara tentang Malam, Angin, Hujan atau lainnya, bahkan dia tidak pernah bertanya siapa aku? Siapa namaku? Tinggal dimana aku? Dan tidak ada niatan juga untuk saling menelpon untuk mengetahui lebih jauh tentang satu sama lain biarpun aku begitu penasaran dengan sosoknya, tapi aku merasa tidak masalah, karena komunikasi kami ini lah yang membuat aku merasa berbeda.
Hingga pada suatu hari, aku ditugaskan ke Bandung untuk meninjau proyek yang sedang kantorku tangani, mendengar nama tempat itu langsung ingatanku tertuju pada Dian. Aku mantapkan diri untuk menemuinya.
“Kenal dengan Bandung?,” aku mengawali smsku
“Ya… Itu tempat dimana aku berpijak sekarang,” balas Dian.
“Besok aku juga akan berpijak disana, mau ketemu?,” Pancingku.
“Hahahaa… Aku pernah bilang, jangan pernah penasaran denganku,”
Aku tersenyum membaca tawanya di sms,” Sudah kucegah, tapi tetap muncul penasaran itu,”
“Nama kamu siapa sih?,” balasnya. Akhirnya dia menanyakan namaku juga, itu menandakan dia penasaran juga ke aku.
“Kiki…,” aku membalas pesannya segera.
“Hmm.. Oke, Mari kita coba ketemu,”
Yess… aku kegirangan dalam hati.
***
Hari itu, Aku bergegas mengendarai mobilku menuju sebuah Cafe di Bandung setelah semua pekerjaanku kelar. Ya… hari itu kami sudah berencana bertemu. Aku merapikan rambutku yang sudah ditata dengan pomade sedemikian rupa sebelum turun. Dian sms bahwa dia sudah menunggu di Café. Aku sedikit gugup.
Aku memasuki café dan menengok sekeliling pengunjung yang ada. Aku mengirim sms.
“Kamu duduk dimana? Pakai baju apa?,”
“Aku di deket jendela, pakai baju hitam, sudah dimana kamu?,” Dian membalas smsku. Aku mengedarkan pandanganku ke sekitar jendela,  ada beberapa pengunjung cewe dan cowo yang berbaju hitam. Aku menelpon nomer Handphone Dian untuk segera memastikan. Aku perhatikan siapa yang sedang mengangkat telepon, tapi ada dua atau tiga orang yang sedang mengangkat handphonenya. Dan terdengar sebuah suara mengangkat teleponku.
“Halo..,”
DEG!!! Aku kaget mendengar suara itu. Mataku langsung tertuju pada seseorang disana, dengan gemetar aku mendekat ke arah tempat duduk itu.
“Dian?,” Panggilku ragu.
Orang yang aku panggil itu menengok ke arahku, dan dia pun tak kalah terbelalak.
“Kiki??!,”
Kami saling pandang dengan terkejut, dan sejenak kemudian kami tertawa terbahak – bahak dan saling tunjuk satu sama lain, tak peduli pengunjung lain menatap kami dengan keheranan.
“Ya ampun.. jadi Dian itu cowok? Hahaa…” aku terpingkal sambil memandang seorang cowok gondrong berpenampilan anak sastra atau seni.
“Lah.. jadi Kiki juga cowok? Wakakakkaa…,” Dian lebih terpingkal lagi.
Sosok wajah ayu Dian Sastrowardoyo pun pecah berantakan dalam pikiranku. Bodohnya aku tidak pernah kepikiran bahwa nama dian juga bisa mungkin nama cowok, begitu pula dengan Dian yang pasti menganggap Kiki adalah nama cewek karena itu dia mau juga menerima ajakanku untuk bertemu. Sejam kemudian kami sudah asyik bercerita dan saling ledek.
“Jadi kamu bela – belain ke Bandung demi Dian nih hihii… wah aku tersanjung,” ledek Dian kepadaku.
“Lah.. Jadi orang ini yang selama ini menggangguku dengan sms – sms melownya? Malu sama rambut gondrongmu woyyy…,” Balasku tak mau kalah.
Hari itu aku mendapat seorang teman baru, biarpun dengan cara yang tidak terduga.
Hmm…  Kalau kata pepatah, “Apalah arti sebuah nama,” bagi kami berdua kedepannya sama – sama sepakat mengganti pepatah itu “Pentingnya arti sebuah nama”.


Pancoran, 26 Agustus 2016.

Rabu, 24 Agustus 2016

Bukan Cinta Buta

       Aku mengenalnya pertama kali sebagai sesama karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan yang sama, hanya saja aku ditempatkan di kantor cabang sedangkan dia di kantor pusat. Namanya Khainan, seorang staf senior di divisi akunting kami. Aku sebagai supervisor akunting di kantor cabang bertugas memberi laporan ke kantor pusat setiap minggunya, dan kebetulan untuk teamku ditangani oleh dia. Selain divisi keuangan, ada tiga divisi lain yaitu team finance, billing dan pajak yang ditangani oleh staf senior yang berbeda di pusatnya. Saat closing bulanan tiba, teamku lah yang paling sibuk di ujung deadline karena ada beberapa laporan yang harus menunggu tiga divisi lain closing, setelah  itu baru team akunting bisa bergerak merampungkan tugasnya hingga menjadi laporan keuangan dan dilaporkan ke pusat, sudah biasa buat kami pulang larut malam bahkan dini hari apabila laporan belum selesai. Awal bekerja, aku kaget dengan ritme kerja teamku, laporan harus selesai tepat waktu dengan deadline yang mepet, beberapa kali sempat membuatku  stress, tapi beruntunglah seniorku begitu baik, tidak jarang dari kantor pusat Khainan membantu teamku menyelesaikan laporan supaya bisa tepat waktu.

     Setahun lebih aku bekerja, belum pernah sekalipun bertemu dengan Khainan, dia tidak pernah ikut di jadwal visit ke kantor cabang seperti staf senior yang lain, aku disebut sebagai putri kesayangan Khainan oleh mereka karena apabila di kantor pusat menemukan kesalahan di team akunting, Khainan selalu bisa pasang badan dengan berbagai penjelasan, berbeda sekali saat Khainan menangani team sebelum aku. Aku pernah bertanya kenapa tidak pernah mau mampir ke cabang, selalu dijawab bahwa dia mempunyai team yang hebat yang cukup dipantau dari jauh saja semua sudah beres. Aku sudah begitu familiar dengan suaranya karena kami setiap hari bicara  melalui telepon dan email untuk masalah pekerjaan, Suara Khainan sangat nyaman didengar, dalam keadaan marahpun suaranya selalu tenang dan dia juga begitu perhatian pada anggota team yang sakit. Bukan hanya pekerjaan, terkadang Khainan juga iseng komen photo profilku di akun messanger, dan akhirnya menimbulkan obrolan yang panjang lebar dan ledek-ledekan juga, sebenarnya ke temen satu teamku yang lain juga dia melakukan hal sama, dia beralasan supaya hubungan kami tidak kaku satu dengan yang lain dan lebih terbuka setiap ada masalah. Tapi sepertinya aku telah jatuh hati dengan sosok yang belum pernah aku lihat itu karena intensitas komunikasi lebih sering denganku, sosok misterius yang bahkan photo profile di messanger nya tidak pernah menampakan wajahnya. Kadang kami satu team bercanda membayangkan wajah Khainan seperti apa, ya… seperti apa ya? Aku sendiri penasaran.

        Mungkin aku telah gila, selain teman-teman satu team dikantor, perasaanku ini juga aku sampaikan ke sahabat-sahabatku diluar kantor, yaitu teman dulu sekampus, karena diantara kami berlima (Rita, Sasha, Elin, Ayu dan aku) hanya aku sendiri yang masih sendiri. Aku selalu jadi bahan ledekan dengan julukan jones (Jomblo ngenes) karena sudah 3 tahun aku tidak kunjung mempunyai kekasih. Ya… sudah 3 tahun sejak aku patah hati dikhianati dan ditinggal menikah dengan wanita lain oleh pacarku waktu itu, entah berapa kali mereka mencoba menjodohkanku dengan teman-teman mereka, tapi nihil, tidak ada yang bisa menarik perhatianku karena memang sosokku sendiri yang susah untuk jatuh cinta. Mereka kegirangan saat aku memberitahu bahwa aku sepertinya jatuh hati pada atasanku itu, tapi kemudian mereka tertawa dengan pengakuanku, bagaimana bisa sudah jatuh hati padahal bertemupun belum pernah. Aku hanya menjawab bahwa aku menyukai namanya, Khainan… Khainan.. entahlah nama itu begitu indah didengar.

        Akhirnya hari yang aku tunggu datang juga, aku mendapat undangan untuk menghadiri training selama seminggu di kantor pusat bersama supervisor dari divisi lain juga. Itu berarti aku akan bertemu dengan Khainan disana. Teman – teman satu teamku sudah heboh menitip pesan supaya aku mengambil poto sosok Khainan, oleh anak – anak divisi lain juga aku mendapat ledekan bahwa akhirnya akan bertemu dengan pangeranku. Suatu reaksi yang berlebihan mengingat aku ini hanya akan bertemu seorang atasan.

***
     Jam 9.00 tepat kami team cabang telah berkumpul di lobi, kemudian diarahkan ke ruang meeting, aku membenahi rambutku, sedikit deg-degan saat memasuki ruangan, ternyata lumayan banyak yang sudah duduk disana, ya mereka adalah anggota team pusat dan team cabang kota lain, satu dua wajah sudah aku kenal sewaktu mereka mengunjungi kantor cabang tempatku, beberapa lainnya asing dimataku, salah satu dari mereka mungkin Khainan tapi aku tidak berani memperhatikan mereka. Sebelum meeting dimulai, kami semua diperkenalkan oleh Mba Nina, salah satu team HRD pusat, disebut nama dan divisinya, satu persatu kami berdiri membungkuk saat nama kami dipanggil lalu duduk kembali. Saat anggota team pusat diperkenalkan, disitulah aku baru tahu sosok atasanku itu.

“Berikutnya, yang duduk di pojok kanan adalah bapak Khainan R. Tama, penanggung jawab team akunting cabang kota Jakarta Selatan,” sebut Mba Nina. Tampak seorang pria tanpa bediri, hanya melambaikan tangan dari tempat duduknya dan tersenyum sambil menyapa sekeliling,” Halo..semua, saya Khainan, senang bertemu kalian semua,”. Aku menoleh kearah datangnya suara, orang itu daritadi luput dari pandanganku karena tempat duduk kami yang sejajar. Oohh.. ini yang namanya Pak Khainan, Finally, I found you, batinku sambil tersenyum sendiri. Sosok yang lumayan tinggi dengan badannya yang sedang dan rambut yang dibiarkan lurus berantakan di dahinya. Meeting berjalan lancar, dan akupun begitu semangat mengikutinya. Saat selesai hari sudah gelap, masing-masing sibuk berbenah perlengkapan mereka dan bergegas untuk pulang, aku masih membereskan berkasku saat tinggal beberapa orang yang tersisa di ruang meeting tersebut. Dan terdengar Khainan memanggilku.

“Eriel… kamu pulang bareng siapa?,” aku menoleh kearah Khainan yang menatap ke arahku dari tempat duduknya, sembari tangannya masih sibuk membereskan charger laptopnya.
“Saya naik taksi sendiri pak, tidak ada arah yang sama dengan saya soalnya,”
“Yaudah.. kamu bareng saya saja, sudah lumayan malam ini,”
“Ohh.. memang pak Khainan searah sama saya?,” tanyaku agak sungkan.
“Gampang, saya searah-arahin buat kamu,” guraunya sambil tersenyum,” kamu duluan saja, tunggu di Lobi, saya ambil mobil dulu”.

          Aku menggangguk dan bergegas meninggalkan ruangan meeting. Ahh.. mimpi apa aku langsung diajak pulang bareng gini. Aku tersenyum sediri, please Eriela.. Jangan GR dulu kamu, ini hanya perhatian atasan yang tidak tega melihat anak buahnya pulang malam sendirian, aku berusaha menekan perasaan senangku. Tidak lama aku menunggu, tampak Khainan sudah didepan lobi dan membunyikan klakson mobilnya. Aku bergegas masuk ke dalam mobilnya. Kami bercerita kecil selama perjalanan, rasa kikukku perlahan lumer karena Khainan yang banyak bertanya ini itu ke aku seputar kerjaan, suaranya bener-bener mampu mencairkan suasana, dan membuatku berani nyerocos juga menjawab ini itu setiap pertanyaannya, lebih-lebih dia memintaku untuk tidak memanggil bapak apabila sudah diluar jam kerja, karena dia merasa seumuran juga denganku. Asli, aku benar-benar terpesona dengan sosoknya.

       Satu setengah jam perjalanan ke rumahku terasa begitu singkat buatku, Khainan menolak saat aku menawarkannya untuk mampir dulu ke rumahku dengan alasan sudah larut malam, dia hanya melambaikan tangannya tanpa turun dari mobilnya dan menyuruhku segera masuk ke dalam rumah. Akupun berterima kasih dan segera masuk, namun dari balik korden jendela rumah, aku masih mengintipnya hingga mobilnya menghilang di ujung jalan. Fix, aku menyukai sosok itu.

       Waktu seminggu itu berlalu dengan cepat, banyak hal yang pelajari dalam pekerjaan dan banyak pula hal yang aku perhatikan dari Khainan. Dia sosok yang supel dan humoris, tapi di jam – jam tertentu seperti jam makan siang dia lebih memilih tidak bergabung dengan teman – temannya, setiap yang lain beranjak ke kantin untuk makan siang, dia selalu saja tampak asyik dengan laptopnya, entahlah mungkin memang karena dia sedang banyak kerjaan. Begitu juga saat mengajakku pulang bersama, selalu aku disuruh turun duluan dari lantai 4 tempat kantor kami dan menunggu di lobi, jawaban yang sama dengan hari pertama dia mengantarku juga selalu dia cetuskan setiap aku ajak mampir ke rumahku. Dihari terakhir, Khainan kembali mengantarku, dia membelikanku makanan via Drive Thru di sebuah restoran cepat saji, macet membuatnya lapar katanya. Dalam perjalanan itu Khainan bercerita bahwa dulu dia termasuk orang yang keras dan tanpa toleransi ke anak team nya, semua laporan harus perfect tidak boleh ada kesalahan, tidak sedikit yang menganggapnya menyebalkan dan bahkan beberapa anak cabang yang dibawahinya ada yang resign hanya karena sikap Khainan, tapi ada satu kejadian yang telah membuatnya berubah, yang membuatnya berpikir bahwa kalau kita ingin disukai orang lain, maka kita juga harus belajar menyukai orang terlebih dahulu. Saat aku tanya apa kejadian itu, Khainan hanya menggelengkan kepalanya. Akupun hanya menggangguk-angguk maklum tanpa berniat mendesaknya. Ohh… mungkin ini alasannya selama ini dia begitu baik ke anak buahnya, termasuk aku. Aku tersenyum kecut begitu memikirkannya.

         Hari Senin, aku memamerkan photoku bersama Khainan kepada teman – teman kantorku, photo yang aku ambil sebelum aku turun dari mobilnya saat hari terakhir Khainan mengantarku, itupun sedikit memaksa dengan alasan bahwa kasihan teman – teman team akunting lain juga begitu ingin melihat sosoknya. Sedikit buram memang pencahayaan di photo tersebut sehingga wajah Khainan tidak begitu jelas terlihat. Aku bercerita bahwa sosok Khainan ternyata benar – benar sempurna seperti yang aku bayangkan, teman – teman yang lainpun meledek iri kepadaku. Sejak photo itu aku perlihatkan, gossip aku berpacaran dengan Khainan menyebar cepat di kantor cabangku tanpa bisa aku cegah, aku menyangkal bahwa tidak ada hubungan apa – apa dengan Khainan pun tetap sia – sia, mereka tetap meledekku. Karena aku pikir, mereka hanya bercanda jadi aku tidak terlalu memikirkannya.

       Dan pada teman – teman kampusku aku tunjukan pula photo itu supaya mereka berhenti meledekku jones, tidak ada maksud lain saat itu. Sampai pada akhirnya berita itu sampai ke orang – orang kantor pusat, dan aku merasa Khainan berubah terhadapku. Komunikasi pekerjaan hanya dia balas melalui email, telepon dan pesan – pesanku mulai jarang dia balas biarpun mengenai pekerjaan. Setiap di telpon selalu sedang tidak berada ditempat, lebih sering menitip pesan untukku melalui teman satu teamku apabila ada koreksi atas pekerjaanku.

       Ohh… Tuhan, beginikah rasanya ditolak sebelum menembak? Ya… bahkan aku pun belum mengutarakan perasaanku ini tapi aku merasa seperti sudah ditolak oleh Khainan. Dan aku pun tidak mempunyai keberanian untuk menanyakan ke Khainan kenapa dia berubah? Kenapa dia menghindariku belakangan ini? Kalaupun dia marah akan gossip itu, tidak bisakah dia tanyakan ke aku terlebih dahulu? Tiba – tiba ada kesedihan yang tidak bisa diceritakan, menusuk hati dan menyesakkan dadaku. Dan di bulan kedua Khainan mendiamkanku, kesabaranku mulai habis, aku bertekad untuk menyelesaikan ini dengan mengirim pesan singkat ke Khainan malam itu.

“Nan, aku minta maaf kalau aku sudah melakukan kesalahan yang mungkin aku tidak sadari hingga kamu sekarang berubah, dan aku minta maaf apabila sudah membuatmu tidak nyaman atas berita yang beredar. Selama ini aku juga sudah menyangkalnya tapi aku tidak bisa membungkam semua orang untuk berhenti meledekku, salahku memang sudah membiarkannya tapi itu karena aku tahu mereka hanya bercanda. Aku harap kamu tidak marah atas ini dan kita bisa tetap bekerja sama dengan nyaman seperti sebelumnya,”

Pesanku terkirim dan Handphone-ku langsung berdering, aku kaget, itu telpon dari Khainan. Lama dering itu aku biarkan tak terangkat, entahlah entahlah aku seperti tidak punya keberanian untuk menghadapinya. Aku tiba – tiba merasa malu dan bingung harus mengatakan apa.
“Tolong angkat teleponku sebentar, Er,” pesan masuk dari Khainan.
“Maaf nan, lewat pesan saja, aku lagi ga bisa angkat telepon” balasku
“Sepertinya kita perlu ketemu, Er, kita perlu bicara”
“Maaf aku belum bisa ketemu kamu sekarang – sekarang ini, nan”
“Kenapa begitu?”
 “Entahlah... tiba – tiba aku ga punya keberanian buat ketemu kamu”
 “Loh… Kenapa Er?”
Lama aku membiarkan pesan terakhir dari Khainan tidak aku balas. Ada kebimbangan yang tidak bisa dijelaskan. Pesan masuk tampak di handphone-ku lagi.
“Eriela…”
Aku masih membiarkan handphone ku tergeletak. Perasaanku makin berkecamuk tidak jelas. Semenit kemudian, berturut – turut pesan masuk berbunyi.
“Please... jawab aku. Kenapa?”
Khainan sepertinya sangat penasaran dengan alasan ketidakberanianku bertemu dia, aku putuskan untuk membalas pesannya.
“Karena aku menyukai kamu, nan. Itu yang sebenarnya terjadi”
“Kalau begitu, kita harus ketemu,”
Tiba – tiba handphone-ku langsung berdering kembali, Ohemji… Khainan menelponku lagi. Dengan gemetar aku beranikan menerima telponnya.
“Kita harus ketemu,”
“Maaf nan, aku…,” belum selesai aku berbicara, Khainan sudah menyambarku.
“Tolong Er… jangan menolaknya. Aku tunggu kamu besok malam,” Tutt… Tutt… Tutt… Khainan mengakhiri panggilannya. Membiarkan aku gelisah menunggu esok hari.

***
       Aku melirik jam di dinding kafe tempat aku akan bertemu dengan Khainan, sudah lewat seperempat jam tapi Khainan belum juga kelihatan.  Sedikit tidak sabar aku menunggunya, jujur aku merindukan raut dan suara Khainan yang belakangan terasa sekali jauh dariku. Aku menyeruput minumanku yang sudah hampir habis. Mataku tak lepas mengawasi pintu masuk kafe, berharap Khainan segera muncul. Dan tiba – tiba mataku menangkap sosok seorang pria berjalan memasuki kafe, aku mengenal betul wajah itu, ya wajah yang aku rindukan belakangan ini, tapi aku terkejut melihat cara dia berjalan, langkahnya tampak pendek sebelah, kaki sebelah kanannya terlihat jelas lurus kaku dengan diseret perlahan menuju ke arahku.
   “Khainan….,” Suaraku tercekat di tenggorokan, aku berdiri kaget tanpa bisa berkata – kata. Ingatanku seketika melayang saat – saat aku mengikuti training di kantor pusat, terjawab sudah mengapa Khainan selama ini tidak pernah ikut mengunjungi kantor cabang, mengapa dia tidak pernah bergabung untuk makan siang bersama, mengapa dia selalu menyuruhku duluan dan menunggu di Lobi saat mengantarku pulang, pesanan via drive thru hingga ajakan mampir yang selalu dia tolak. Benarkah karena ini alasannya?
***
Aku masih termenung di kamarku, mengingat cerita Khainan tentang kakinya, sebuah kecelakaan yang mengerikan 4 tahun lalu hasil perbuatan mantan anak buahnya yang sakit hati karena dipecat oleh Khainan saat ketahuan menggelapkan uang kas kantor, seperti yang diceritakan Khainan sebelumnya bahwa dulunya dia sosok yang tegas dan tanpa toleransi, tanpa mendengar alasan anak buahnya bahwa dia menggelapkan uang kas karena butuh biaya untuk membayar hutang sewaktu istrinya melahirkan, tapi Khainan tetap memecatnya. Aku masih memikirkan kata-kata Khainan di pertemuan kami tadi, supaya aku berpikir ulang untuk menyukainya, dia memberitahu bahwa akan tidak mudah jalan dengan pria dengan kondisi seperti dia, bagaimanapun akan ada saja orang yang melihat dengan aneh. Tapi tadi dengan yakin aku langsung menjawab tetap akan menyukainya dengan segala kondisinya karena aku sudah terlanjur sayang, dan lagi aku merasa alangkah jahatnya aku jika aku langsung berhenti menyukainya hanya karena kekurangan fisiknya.
Benar saja, hari pertama aku mengenalkan Khainan ke keluargaku, ibuku tampak sangat terkejut. Setelah Khainan pulang, aku disuruh berpikir ulang untuk tidak meneruskan hubungan dengan Khainan, ibuku khawatir Khainan tidak bisa menjagaku karena untuk menjaga dirinya sendiri Khainan pasti kesusahan, aku memohon pada ibuku untuk membiarkan aku mencoba menjalani hubungan ini.
Berjalan hampir 2 bulan hubunganku dengan Khainan baik – baik saja, aku menemukan kenyamanan dengan semua perhatian Khainan. Aku yang seorang anak tunggal merasa menemukan sosok seorang kakak yang mengayomiku. Tapi entah kenapa aku belum berani menceritakan tentang kondisi Khainan yang sebenarnya baik ke teman kantor di cabang ataupun ke teman-temanku kampusku, aku selalu menyiapkan jawaban saat mereka menyuruhku mengajak Khainan untuk ikutan futsal bareng pacar – pacar mereka. Masih ada rasa malu terselip di hatiku karena di awal aku sudah menceritakan Khainan adalah sosok yang begitu sempurna.
Siang itu, aku berkumpul di salon dengan teman – teman kampusku untuk menghadiri pesta pernikahan Rita, ya... akhirnya salah satu dari kami menikah juga.  Teman-temanku yang lain mengajak pacar mereka, hanya aku yang datang sendiri.
“Er, kok Khainan ga ikut?,” tanya Sasha sambil membantuku mengancingkan kebaya yang sedang aku kenakan.
“Iya, dia ada meeting keluar kota hari ini jadi ga bisa nemenin aku deh,” sahutku sekenanya. Bohong, aku berbohong lagi. Khainan bahkan tadi menawarkan diri untuk sekedar mengantarku yang pamit malam ini akan ada acara keluarga, tapi aku menolaknya. Masih terbayang jelas tatapan dalam Khainan kepadaku saat aku menolak diantar.
“Ohh.. ya sih dia orang sibuk kan. Ohya Er, aku kemarin ikutan interview di kantor pusat kamu tau, di bagian HRD, nama kantor kamu PT Astec bukan?,” cerita Sasha.
“Iya, itu kantorku. Kok ga cerita – cerita ngelamar disitu, Sa?”
“Aku juga ga niat tadinya, ditawarin kakakku, eh gantian dong pasangin kain buatku,” ujar Sasha sambil menyodorkan kain jarik miliknya. Aku membantunya dengan pikiran berkecamuk, bagaimana kalau Sasha benar – benar diterima kerja di kantor pusatku?.
“Ohya Er, waktu aku nunggu interview di resepsionist, ada orang yang manggil nama Khainan ke seseorang yang lewat depanku waktu itu, tapi orang itu kakinya ada kelainan, kaya pincang sebelah gitu. Bukan Khainan kamu kan itu?,” Deg!! Aku terpaku, tanganku sedikit gemetar mendengar cerita Sasha.
“Eh.. mungkin aku yang salah denger ding, pasti itu orang lain. Mr. Khainan nya Eriela yang tercinta kan katanya perfect banget, ya kannn…,” Sasha keburu nyerocos tanpa sempat aku menjawab pertanyaannya, mencubit pipiku gemas sambil mengedipkan matanya ke arahku,’ awas kalau nanti di pernikahan aku, kamu ga ajak dia loh,”
Aku tersenyum kaku,” Iya.. pasti aku ajak dia,”
Esoknya aku mendadak menjadi lebih romantis, mengirimkan coklat ke kantor pusat untuk Khainan dengan serangkaian kata puitis untuknya, Khainan tertawa menelponku saat sudah menerimanya, menanyakan dalam rangka apa itu?, aku hanya menjawab setengah bercanda.
”Dalam rangka takut kehilanganmu,” jawabku sambil membalas tawanya. Tapi dalam hatiku berkata lain,”Dalam rangka meminta maaf telah membohongimu kemarin, Nan”.
***
Hari ini, aku berencana nonton bareng bersama geng kampus, Rita akan mentraktir kami karena kemarin sudah membantunya sewaktu acara pernikahannya. Aku berencana menelpon Khainan saat tiba-tiba ada panggilan masuk yang ternyata dari dia.
“Hai sayang,,, baru aja aku mau nelpon kamu, ,” ujarku ceria
“Ohya… wah kita memang sehati nih,” tawa Khainan,” Aku mau ajak kamu nonton hari ini, kamu ada waktu ga, yang? Ada film bagus katanya,”
“Wahh.. aku udah ada janji sama temen-temen kampus hari ini, yang. Aku udah iyain ajakan mereka, baru aja aku tadi mau nelpon kamu buat ngasih tau, Gimana  dong?”
“Hmm.. Pada mau kemana memang hari ini?,”
“Emm.. Mau pada nyalon rame-rame, dapat traktiran dari Rita, yang.  Maaf ya ga bisa ajak kamu, acara cewe soalnya ini,” Aku menggigit bibirku. Bohong, ya aku kembali berbohong pada Khainan, berat memberitahukan dia bahwa aku juga mau nonton, tapi bagaimana lagi, aku belum siap mengajak Khainan bertemu dengan teman – temanku.
“Ooohh.. it’s OK, kita ganti hari aja ya nontonnya, nonton sendiri males ga seru, kamu hati – hati ya dijalan” kata Khainan, ada nada kekecewaan terdengar ditelingaku.
***
Aku berlari-lari menuju lantai 3 tempat bioskop dimana aku mau nonton bareng teman-teman kampusku, aku terlambat karena macet. Tampak yang lain sudah berkumpul menungguku bersama pasangannya masing - masing, Aku masih ngos-ngosan saat masuk ke dalam bioskop karena film sudah akan dimulai.
“Khainan ga bisa ikut lagi, Er?,” tanya Rita,” Dinas keluar kota lagi pasti ya?”
“Heee.. begitulah,” sahutku sekenanya sambil meringis. Terlihat dari tempat duduk kami di bagian atas, belum banyak bangku yang terisi. Di deretan bawah masih banyak yang kosong. Tiba – tiba aku melihat dua sosok pria memasuki ruangan, salah satunya tampak berjalan dengan kaki terseret, sejenak aku terkejut menahan nafas. Deg!! itu Khainan…!.
Sasha tiba – tiba berseru, sambil menunjuk kearah Khainan ”Eh… Er, itu orang yang pernah aku lihat pas interview dikantor kamu, kamu beneran ga kenal?,”
“Engga, aku ga kenal, duh kok aku ngantuk ya” jawabku gugup. Aku segera menutupi wajahku dengan tissue sambil berdoa semoga tempat duduk mereka jauh dari tempat dudukku, tapi Tuhan tidak mengabulkan permintaanku kali ini, mereka berdua terus naik keatas menuju ke arah tempat duduk kami, aku melirik ke bangku seberang tempatku duduk persis, hanya dua bangku itu yang masih kosong untuk bagian atas. Matilah aku! Benar saja mereka duduk disitu. Dan Khainanlah yang duduk disebelah seberangku persis, dia belum menyadari keberadaanku disitu.
Jantungku berdegup kencang dan bingung harus bagaimana, aku sudah terlanjur bilang ke teman-teman bahwa Khainan keluar kota dan aku terlanjur bilang juga bahwa aku tidak mengenal sosok yang ditunjuk Sasha tadi. Aku mengutuk diriku sendiri karena telah menutupi tentang Khainan dari awal.
“Eriel.. iihh ngapain sih mukanya ditutupin tissue gitu? Udah mau mulai tuh filmnya,” kata Sasha sambil menarik tissue yang aku gunakan menutupi wajahku.
“Damn.. Sashaaaa… “Teriakku dalam hati sambil meringis, dan menundukan kepalaku ke bahu Sasha, tidak berani melihat ke arah Khainan,”Diem ih,, kepalaku agak pusing tiba-tiba,” bisikku.
“Eriel…,” Suara orang dari sebelah dan sebuah tangan menyentuh bahuku pelan, suara yang biasa nyaman ditelingaku sekarang terdengar seperti petir. Tamatlah sudah, aku harus bersandiwara apalagi ini?? Aku benar - benar menangis dalam hati. Aku beranikan diri menengoknya.
“Eh.. iya,  saya?,” suaraku terdengar sekali gugupnya.
“Loh.. kamu kenal dia, Er? Tadi katanya engga kenal,” suara polos Sasha setengah berbisik di telingaku. Argghh.. Sashaaa betapa ingin aku sumpal mulut kamu saat ini. Khainan menarik tangannya mendengar kata – kata Sasha, dengan ragu dia duduk kembali, aku menengok ke arahnya, mata kami bertemu, ada kekecewaan yang begitu dalam terlihat jelas olehku karena dia  menyadari bahwa aku baru saja sedang berpura – pura tidak mengenalnya, dia tampak tersenyum sendiri dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ada ketakutan yang begitu besar di mataku. Aku kehilangan kata – kata, tenggorokanku seperti tercekat. Teman – temanku masih belum sadar tentang yang terjadi.
Sejenak kemudian, Khainan berdiri dan tanpa berkata sepatah katapun berjalan meninggalkan ruangan bioskop, menuruni tangga tempat duduk dengan susah payah, dia tidak menghiraukan temannya yang memanggilnya. Aku masih tertegun tidak tahu harus berbuat apa melihat sosok yang aku cintai itu pergi, yang aku cinta?? Benarkah? Kalau cinta harusnya buta, harusnya aku tidak malu dengan kondisi Khainan, ahh.. tidak.. tidak.. aku bukannya malu, tapi aku hanya butuh waktu untuk menjelaskan salah paham teman – temanku selama ini akan sosok Khainan yang sempurna, aku mencintai Khainan tulus selama ini. Tulus?? Berhentilah membela diri, Eriela! Cinta yang tidak buta, itu bukan cinta namanya, itu hanya obsesi! Ahh.. tidak, aku sungguh – sungguh menyayangi khainan, Perang batin terjadi di dalam diriku. Aku tiba – tiba merasa menjadi orang yang paling munafik yang pernah ada, dan merasa begitu bersalah kepada Khainan, tanpa sadar aku terisak. Sedetik kemudian aku putuskan mengejar Khainan, aku benar – benar tidak mau kehilangan orang yang aku sayang untuk kedua kalinya.
“Eriel… kamu mau kemana?,” seru Sasha setengah berbisik. Aku berlari tidak mempedulikan panggilan Sasha, yang ada dipikiranku hanya aku harus segera minta maaf kepada Khainan dan menyesali sikapku. Tapi aku tidak menemukan sosok Khainan diluar bioskop, aku mengedarkan padanganku kesekeliling di setiap lantai mall yang aku turuni, belum terlihat juga. Tiba di lobby mall hujan turun dengan derasnya. Aku mencoba menelpon Khainan, tapi tidak diangkat. Aku  harus menemukan Khainan saat ini juga, aku putuskan berlari ke arah jalanan menembus hujan, mataku mencari sosok Khainan dan aku melihatnya sosok itu di seberang jalan berteduh di halte bus.
”Khainannnn…!!!,” teriakku memanggil, sosok itu menoleh melihat ke arahku, rautnya terkejut melihatku hujan – hujanan. Saking senangnya, aku berlari menyebrang jalan bermaksud mengejar Khainan, tepat dengan sebuah mobil melaju kencang. Terdengar bunyi klakson mobil begitu keras, dan aku merasakan tubuhku terhempas tinggi dan jatuh menghujam jalanan aspal yang keras dan basah, dan aku tidak bisa merasakan tubuhku, aku merasakan dadaku sesak dan semua tiba – tiba gelap.
***
Esok hari aku membuka mataku, aku melihat keluargaku, ada ibuku menangis disampingku, ada sosok Khainan disana menatapku dengan mata berkaca - kaca, aku bingung kenapa mereka semua sedih, tapi aku bahagia bisa melihat Khainan kembali, aku ingin minta maaf ke dia secepatnya, aku ingin dia tahu bahwa aku akan menyayanginya dengan tulus. Aku berusaha bangun dari tempat tidurku dan aku terkejut saat aku menyadari kakiku tidak bisa aku rasakan,”Ibu… Dimana kakiku?”

***SEKIAN***

Note: Cerita ini hanya fiksi, apabila ada nama atau kisah yang sama, itu hanya kebetulan belaka, tidak bermaksud menyinggung siapapun.

Kamis, 18 Agustus 2016

Love in Silence (1 & 2)

… “Rian Erlangga”…
Jariku berhenti di tombol enter setelah mengetik nama itu di kolom search people di akun social mediaku. Untuk memutuskan mengetik nama itu saja butuh keberanian yang cukup lama, entah kenapa begitu tinggal menekan tombol enter justru keraguan itu kembali hadir. Ya.. hampir 4 tahun aku memutuskan untuk melupakan nama tersebut, nama seseorang yang telah meninggalkan luka yang begitu dalam. Tanpa sadar aku menahan nafas saat jariku jatuh juga ke tombol enter. Tidak begitu lama terpampang lah profil Rian dihadapanku, ahh.. dia masih memakai photo profile yang lama, photo yang pernah aku ambil saat kami berdua sama-sama masih kuliah. Agak lama aku mengamati wajah itu, mata itu, senyum itu.. masih sama, betapa aku sangat merindukannya, 4 tahun benar-benar aku tidak pernah melihatnya, mengintip social media nya pun tidak sama sekali, aku benar-benar memutuskan untuk tidak mengingatnya lagi, pikiranku mendadak berubah saat minggu lalu waktu aku mudik ke kampung tanpa sengaja mendengar obrolan ibu-ibu depan rumah bahwa anak Mira sedang sakit-sakitan. Ya.. Mira, istri Rian. Wanita itu telah berhasil merampas Rian dan menggelapkan hidupku dalam sekejap. Tanpa kusadari, airmataku menetes saat ingatanku melayang pada kejadian dimana pernikahanku yang sudah didepan mata gagal berantakan, masih jelas dalam ingatanku, H-3 dari hari besar yang telah aku tunggu-tungggu selama 8 tahun berpacaran dengan Rian, tenda besar sudah berdiri megah di depan rumahku, keluarga jauhpun semua sudah berkumpul ingin ikut menyaksikan hari bahagiaku, semua tawa ceria keluargaku berubah dalam sekejap menjadi kemarahan yang tak terbendung saat di sore itu Rian bersama keluarganya membatalkan semuanya, Bapak Rian menjelaskan bahwa Rian terpaksa harus menikahi wanita lain karena wanita tersebut sedang hamil anak Rian. Sebuah alasan yang tidak masuk di akalku karena aku begitu mengenal Rian lebih dari siapapun, Rian tidak mungkin mengkhianatiku, apalagi sampai menghamili wanita lain. Tapi itulah kebenaran yang keluar dari mulut Rian saat terakhir dia menemuiku, dia bersujud dikakiku memohon maaf karena telah melukaiku dan juga mencoreng nama keluargaku, aku hanya terpaku, hatiku kaku, menangispun tak bisa, hatiku ingin berteriak dan menanyakan bagaimana mungkin ini terjadi sedang aku sangat mempercayainya selama ini? Benarkah ini? Siapa wanita itu? Dimana kamu mengenalnya? Dan sejuta pertanyaan lain dibenakku yang tak pernah sempat kutanyakan, karena bapakku dengan penuh emosi telah menyeret Rian keluar dan mengusirnya untuk tidak pernah datang lagi ke rumahku.
“Dokter Esti… Dok… Dokter Esti.. Permisi Dok..”, Suara Santi, petugas perawat yang memanggilku sembari mengetok pintu ruang kerja sedikit menggagetkanku, lamunanku buyar,”Maaf Dok, ada pasien diluar?”.
“Eh iya San, maaf saya keasyikan ngetik laporan barusan?”, kataku sambil menutup laptop segera, “OK… suruh tunggu di ruang periksa saja ya, 5 menit lagi saya menyusul, San,”
Begitulah hari – hariku disibukan dengan mengabdi sebagai Dokter di sebuah rumah sakit kecil di suatu kecamatan di pelosok kota Tuban. Bermil-mil jaraknya dari rumahku. Sepi dan Jauh dari keramaian kota itu justru yang aku cari sejak kejadian 4 tahun silam itu. Senyap dari omongan tetangga yang selalu melihat kasihan ke arahku dan jauh dari desakan keluarga untuk segera menikah atau juga desakan menentukan pilihan terhadap calon – calon yang ibuku sodorkan. Berulang kali keluarga menyuruh melamar di rumah sakit di sekitar kota tempat tinggalku tapi bagiku kota kelahiranku terlalu banyak magnet yang membuatku selalu mengingat Rian.
Aku mulai menikmati jauh dari orang-orang yang aku kenal dan memilih pulang mengunjungi keluarga setiap tiga bulan untuk mengobati kerinduan. Menghabiskan hari libur mingguku dengan memilih menulis, tanpa teman dekat. Sekali-kali membuka social mediaku untuk mengintip akun Rian, tapi hasilnya sama tidak ada aktifitas, sepertinya akun itu tidak aktif bertahun-tahun. Status terakhirnya itu hampir 3 tahun lalu, Rian hanya mengupdate dia sedang mendengarkan lagu “trouble” by Coldplay, dengan beberapa like dari teman-temannya.
Hari – hari selanjutnya aku seperti kecanduan untuk “menjenguk” akun social media milik Rian, tiada hari tanpa meng’klik’ nama Rian di kolom search people, sudah seperti makan 3 kali sehari, setiap senggang sedikit aku pasti akan langsung mengintip. Aku tahu tidak akan ada update apa-apa dari akun tersebut, tapi entah kenapa aku cukup puas dengan hanya melihat photo profile Rian, menatapnya sejenak sampai lagu trouble coldplay yang aku putar di hpku berakhir dan kemudian melanjutkan pekerjaanku lagi. Rasa sayangku terhadap Rian begitu besar lebih dari yang orang diluar tahu, rasa ini tidak akan pernah mati sedikitpun, akan tetap seperti dulu rasaku biarpun kelak aku menemukan pendamping hidup lain. Aku menyadari entah kegilaan apalagi ini? Sekian tahun aku menjauhkan diri untuk melupakan Rian, tapi sekarang aku kembali berkubang dengan hari-hari yang dipenuhi nama Rian. Tapi aku memilih cara ini, membiarkan diriku mencintai Rian dalam diam.
Hari minggu ini aku menyempatkan waktuku pergi ke supermarket untuk membeli kebutuhan bulanan yang sudah banyak yang habis, membeli belanja bulananku tidak sampai menghabiskan waktu 2 jam, tapi mengingat jauhnya perjalanan dari rumah dinasku, biasanya aku akan menghabiskan waktuku di supermarket itu sampai sore ditoko buku dan baru pulang menjelang malam, sekalian jalan sekalian capek aku menyebutnya.
“Mbak Esti?,” terdengar suara bernada ragu memanggilku. Aku mengalihkan mataku yang sedari tadi berkencan dengan buku yang sedang aku baca. Tampak sesosok gadis cantik berdiri di seberang meja tempatku duduk.
“Iya.. kamu panggil saya?”, tanyaku sambil berusaha mengingat
“Eh.. jadi beneran ini mbak Esti toh? Ya Allah mimpi apa aku akhirnya dipertemukan sama mbak Esti, kenalkan aku Rara mba,” kata gadis itu terlihat begitu senang dan seperti sudah sangat mengenalku sambil mengulurkan tangan ke arahku.
Aku menyambutnya dengan hangat,”iya, saya Esti, emm.. maaf ingatan saya agak jelek, apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Hehee… mbak memang enggak kenal aku, kita belum pernah bertemu ataupun kenal, tapi aku nya aja yang merasa sangat kenal mbak saking seringnya melihat mba di photo,” ujar gadis yang mengaku bernama Rara itu sambil menggaruk kepalanya seperti malu.
“Sebentar, maksudnya sering melihat di photo gimana ya? Photo apa? dimana? Saya enggak pernah masuk majalah seinget saya , “gurauku dengan raut penasaran.
“Emm.. Aku mengenal wajah mbak dari seseorang yang hampir setiap hari meminjam hpku untuk melihat social media milik mbak Esti,”
“Ohh yaa? Siapa orang itu?,” tanyaku dengan dahi berkerut.
“Rian mbak…,” ucapnya lirih, matanya naik seperti menanti reaksiku. Dan kali ini dia berhasil membuatku terkejut, bertahun-tahun aku tidak pernah mendengar nama itu diucapkan oleh orang lain, begitu sekarang ada yang menyebut namanya di depanku, entah mengapa hatiku merasa sedikit lebih dekat selangkah dengan Rian.
“Ri.. Rian?,”
“Iya mbak, maaf kalau aku mengejutkan mbak Esti. Aku keponakan mas Rian mbak yang tinggal di Papua selama ini, mas Rian juga menetap disana sekarang, pindak sejak 4 tahun lalu, 2 tahun ini aku kuliah di Yogya, di sini aku lagi PKL,” Sejurus kemudian Rara bercerita kesana kemari tentang kuliahnya, tentang sedikitnya tenaga medis di daerahnya disana sehingga membuatnya mengambil kuliah kedokteran dengan harapan bisa mengabdi disana kelak. Sebuah cita – cita mulia, dia tidak menceritakan apa-apa tentang Rian, dan akupun berusaha tidak menanyakannya, sampai Rara sendiri yang menanyakannya padaku.
“Mbak Esti ga pengin denger kabar mas Rian?,” ujar Rara sambil menoleh ke arahku. Aku tersenyum menduduk sambil mengaduk-aduk minuman didepanku,
“Sepertinya enggak pengin Ra, buat apa juga?”
“Yakin, mba?,” Rara menatapku dalam. Aku menarik nafas panjang dan menatap langit yang mulai memerah melalui jendela, terukir acak namun begitu indah awan di langit sana, tapi sinar merahnya tetap menyakitkan apabila ditatap berlama-lama. Berkecamuk pikiranku, aku tidak siap untuk sakit hati kembali mendengar semua cerita kehidupan Rian dengan keluarganya yang pasti sudah bahagia sekarang, yaa.. semua sudah tidak penting untuk aku ketahui, sudah cukup begini saja buatku, mencintai dalam diam tanpa butuh pembalasan ataupun berharap diketahui orang.
Esok harinya, aku terbangun sedikit kesiangan menuju klinik tempatku bekerja, pertemuan dengan Rara membuatku tidak bisa tidur karena ingatanku ke Rian menguat berkali-kali lipat.
“Dok.. Dokter kepala tadi kesini, beliau titip pesan, Dokter Esti suruh memilih amplop yang dimeja,” sambut Santi begitu aku sampai di mejaku.
“OK san, makasih ya,”
Ahh,,, sekilas aku sudah bisa membaca perihal yang tertulis di amplop, “Surat Penugasan”. Dokter Kepala memang membuka beberapa cabang Rumah Sakit baru di beberapa daerah pelosok, seharusnya dia paham betul kalau aku sudah begitu betah bekerja di Rumah Sakit ini, 4 tahun ini aku lolos dari pemindahan tempat dinas, sayang kali ini aku tidak lolos. Aku membuka amplop itu dengan setengah hati, tertulis surat penugasan untuk di cabang Rumah Sakit yang baru dengan dua pilihan tempat untukku, satu di Riau dan satu lagi… Papua. Mataku terpaku pada tempat kedua, membaca berulang - ulang nama tempat itu, tanpa sadar aku berucap lirih,” Rian…..,”

Rintik hujan mengiringi laju bus yang aku tumpangi, penumpang penuh sampai ada yang berdiri, hal itu membuat bus terasa semakin penuh sesak dan panas, tapi tidak bagiku, hatiku sedang merasakan kelegaan luar biasa karena merasa sudah mengambil keputusan tepat untuk surat penugasanku, keputusan yang membawaku berada di bus ini sekarang, bus yang sedang melaju ke daerah Siak Kecil namanya, sebuah kecamatan di kota Bengkalis, Riau. Ya… akhirnya aku menjatuhkan pilihan pada tempat ini setelah hampir seminggu aku berperang dengan hatiku sendiri. Tidak memungkiri awalnya keinginanku untuk mengetahui kehidupan Rian begitu besar, aku ingin kembali selangkah lebih dekat dengan Rian, apalagi setelah pertemuan yang tidak disengaja dengan Rara waktu itu, cerita Rara tentang Rian yang sering meminjam hp nya untuk sekedar mengintip akun social media ku itu terus terngiang di pikiranku, ternyata Rian selama ini juga mungkin benar memikirkanku, mungkin merindukanku juga diam-diam, ahh,, hal ini semakin membuat aku penasaran dengan kehidupan Rian dan ingin mendengar penjelasan Rian langsung tentang apa yang sebenarnya yang terjadi selama ini. Tapi akal sehatku masih jauh lebih menguasaiku apalagi kalau ingat sekarang Rian sudah mempunyai anak dan istri, ya biarpun aku begitu membenci Mira yang sosoknya sama sekali belum pernah aku lihat, tapi aku tidak ingin mengganggu kebahagian mereka. Biarlah mereka dan aku sendiri bahagia dengan cara kami masing – masing. Ini yang membuatku yakin memilih Riau sebagai tempat dinasku selanjutnya. Berharap menemukan kehidupan lain di tempat itu.
Bus yang melaju semakin jauh membuatku sedikit pusing dengan udara yang panas yang bercampur aduk dengan bau yang beraneka dari para penumpang, aku merogoh tasku mencari kipas tangan, benda kecil itu selalu nyelip entah dimana setiap dibutuhkan padahal aku yakin sudah membawanya tadi, tanganku tidak menemukan kipas melainkan secarik kertas kaku, haiss… ternyata itu kartu undangan pernikahan aku dulu dengan Rian yang gagal, konyol… ternyata aku masih menyimpannya di tas travelku yang jarang aku pakai ini, aku tersenyum sendiri mengingat dulu memang aku menyembunyikan 1 buah undangan pernikahanku ini sebelum bapak membakar sisa undangan yang belum terbagi waktu itu. Aku membukanya, terpampang namaku dengan Rian disana, tanganku meraba tulisan nama Rian, teringat janjiku kepada ibuku sebelum berangkat kemarin bahwa aku akan segera mencari pendamping hidup, ya kupastikan suatu saat akan ada nama lain yang akan benar – benar menjadi mempelaiku tertulis di undangan kelak. Masih teringat jelas dimataku tatapan mata ibuku yang penuh kekhawatiran dengan usiaku yang sudah menginjak pertengahan kepala 3. Aku mengerti kekhawatiran ibuku, paradigma di kampungku kalau seorang wanita umur 30-an, belum menikah, itu dikategorikan Perawan Tua. Hanya saja, menurutku konyol kalau seseorang buru – buru menikah hanya karena pandangan orang, padahal dia belum menemukan sosok pendamping yang cocok menurut hatinya, yang akan menjalani kehidupan itu kita sendiri, bukan mereka. Prinsip ini yang membuatku menggelengkan kepala kepada setiap pilihan yang disodorkan ke ibuku, lama kelamaan keluarga seperti menyerah menjodoh-jodohkanku, lama ibuku tidak cerewet menanyakan kapan menikah? Tetapi pesan terakhir ibuku saat mengantarku ke bandara kemarin membuatku tersentuh, dengan mata berkaca dia memelukku erat dan seperti menghiba supaya aku memberi dia kesempatan untuk melihat cucu dariku dan mempertimbangkan usianya yang sudah hampir 60 tahun. Aku menghiburnya dengan mengatakan bahwa semoga di Riau nanti dewi fortuna memihakku dan aku bisa pulang dengan membawa calon mantu buat ibuku. Yapp… sebuah PR besar yang aku sendiri belum tahu akan bisa mengerjakannya atau tidak, tapi yang jelas aku akan mencobanya.
Aku dijemput Tari saat bus yang aku tumpangi tiba di terminal, Tari adalah teman satu kostan saat masih kuliah dulu, dia memang sudah lama dinas tugas di Riau sebagai bidan desa dan telah menikah dengan orang sana juga, tetapi hingga pernikahannya menginjak tahun ke 2 dia belum di beri momongan. Tari lah yang membantuku mencarikan tempat kost untuk tempat tinggalku selama bertugas di Riau. Tari menjemputku bersama dengan suaminya dan seorang pria, dia mengenalkan pria itu dengan nama Alan, seorang Dokter anak di sebuah Rumah Sakit seberang kota tempatku berdinas.
“Dia masih single loh ti,” Tari menggodaku saat mengenalkan Alan ke aku. Aku tersenyum meringis sambil menerima uluran tangan Alan.
“Hai,,, senang bisa bertemu kamu, aku Alan,” Dia memperkenalkan diri dengan senyum lebar, dari senyumnya aku bisa langsung menebak Alan berkepribadian supel dan welcome dengan kehadiran orang baru, eh ya jelas lah.. Dokter Anak kan dia.
“Hai.. aku Esti, temen kuliah Tari dulu,” sambutku hangat.
“Esti, kamu nanti boncengan sama Alan ya, pakai motor kita, kakak..,” Ujar Tari sambil melirikku nakal.
“Ehh..pakai motor? Wahh.. aku bakal ngrepotin ini, aku naik taksi aja ya? Bawaanku banyak soalnya,”
“Disini ga ada taksi, tuan putri.. Akses disini paling mudah dan cepat ya pakai motor,” kata Alan tanpa menunggu persetujuanku, sambil menyambar koper kecilku dan berjalan menuju parkiran motor,” Udah ayukk nanti keburu malem, serem.. banyak culik cewe cantik loh”. Aku buru-buru mengikuti Alan mendengar kalimatnya yang terakhir.
Aku sampai di rumah kost-ku hampir jam 9 malam, Tari sudah menyiapkan semuanya dengan baik, suasana rumah tertata rapi bersih. Sementara Tari menyiapkan makanan di dapur bersama suaminya, Alan membantuku memindahkan posisi tempat tidur sesuai dengan keinginanku. Kami berempat kemudian makan dengan lahap masakan tari. Sambutan yang luar biasa buatku. Berterima kasih sekali aku telah dipertemukan dengan orang-orang sebaik mereka. Itulah hari pertama yang begitu berkesan buatku.
Hari – hari selanjutnya, bulan demi bulan aku isi dengan kesibukanku di Rumah Sakit tempat dinasku yang baru. Tidak jarang aku memberikan penyuluhan – penyuluhan kepada masyarakat terkait tentang kesehatan, sebagai pendatang baru, aku merasa sangat diterima oleh mereka, ibu – ibu disekitar rumah kost-ku tidak jarang membagi masakan mereka buatku, mereka kasihan melihatku tinggal seorang diri dan jauh dari keluarga. Tari sendiri sangat sibuk dengan pekerjaannya, kami hanya bertemu sesekali untuk belanja bersama sekalian ngobrol. Alan lah yang paling sering menemaniku, tanpa diminta dia rajin menjemputku dan mengantarkanku pulang kerja, bahkan sering mengajakku melihat suasana praktek kerjanya, saat melihatnya dikelilingi anak – anak kecil, aku seperti melihat Alan yang berbeda dari biasanya, aura kebapakannya lebih keluar saat dia menggendong pasien kecilnya sambil bercanda, jika jadwal libur kami kebetulan sama, dia dengan sigap mengajakku berkeliling kota berjalan-jalan, sudah seperti personal tour guide buatku. Awalnya aku sungkan pergi hanya berdua saja dengan Alan, tapi sikap Alan yang menyenangkan dalam setiap ajakannya membuatku tidak bisa menolaknya. Celoteh – celotehannya selalu bisa membuatku tertawa, sungguh sebagai teman, dia sangat menyenangkan. Dengan fisik yang selalu dihiasi senyum kecil khas yang selalu mengembang di bibirnya. Entahlah, tapi aku tidak ada ketertarikan lebih terhadap Alan sejauh ini. Aku lebih menyukai lelaki yang bermata teduh dengan sifat pendiam dan misterius, jarang tersenyum namun sekali senyumnya keluar, aura ketampanannya akan terpancar indah, seperti Rian… ya seperti Rian. Hmmm… apa kabar dengan Rian? Sejak menginjakan kaki di sini, aku belum pernah menengok akun social media dia lagi, jaringan internet di tempat ini tidak terlalu bagus, membuatku malas berselancar di dunia maya.
Hari ini, Alan kembali menjemputku di tempat kerjaku, lagi – lagi tanpa persetujuanku. Tanpa turun dari motornya dia melambai ke arahku.
“Hello… Tuan “Tanpa Persetujuan” mau kemana kita hari ini?,” tanyaku sambil memukul lengannya. Dia tertawa kecil sambil menyodorkan sebuah jaket.
“Jangan tanya, karena kamu mau atau tidak, kali ini aku akan memaksamu untuk ikut,”
“Wah kemana dulu ini? Kok pakai jaket segala?,” tanyaku heran.
“Udah ayo naik aja, aku mau kenalin kamu ke anakku,” ujarnya sambil menyalakan motornya.
“Ehh… Anakmu??,” suaraku terdengar sekali bernada kaget. Entah kenapa ada perasaan yang entah apa namanya tiba – tiba muncul dihatiku mendengarnya.
Tanpa menjawab, Alan malah tersenyum dan menarik tanganku untuk segera naik ke motornya. Dengan masih keheranan, aku menuruti Alan. Disepanjang jalan, aku berpikir keras, Anak Alan?? Benarkah Alan sudah punya anak? Bukankah kata Tari dia masih single? Kenapa dia samasekali tidak pernah menceritakannya padaku? Kenapa dia justru menyibukan diri dengan memberi perhatian kepadaku? Dimana istrinya? Apa dia telah berpisah? Haiss… aku mengutuk diriku sendiri yang tiba-tiba memikirkan banyak pertanyaan konyol. Tidak ada yang salah kalau Alan ternyata benar telah mempunyai anak istri, aku akan menyiapkan diri untuk menghadapi malu terhadap diri sendiri karena pernah berpikir bahwa Alan selama ini menyukaiku. Aku merapatkan jaket Alan yang aku pakai karena angin sore itu lumayan dingin. Wangi parfum Alan begitu terasa dekat di hidungku, tanpa sadar aku memejamkan mata sambil menghirup wangi itu dalam-dalam, aku merasakan ketenangan menyusup ke hatiku.
Ditengah jalan, Alan mampir ke sebuah toko minimarket. Aku ikut turun untuk membeli minuman, Alan menghilang dibalik etalase-etalase toko mencari barang yang akan dibelinya. Aku menunggu di atas motor sambil menikmati minumanku. Tidak lama, Alan keluar dengan tangan penuh kantong belanjaan. Dia ternyata membeli beberapa box susu formula dan babby’s diaper. Aku terkagum melihatnya.
“Woww.. so sweet banget sih kamu, cowo tapi mau belanja beginian begitu banyak,” godaku.
“Hahaa.. stock buat dua minggu kedepan ini, tolong bantu pegangin ya,” ujarnya.
“Dengan senang hati, tuan,” aku mengambil kantong belanjaan itu dari tangan Alan. Diam – diam aku mengamati Alan yang sedang menyiapkan motornya, bertambah satu point rasa kagumku ke Alan.
Setengah jam kemudian, kami tiba di sebuah rumah kecil yang bercahaya remang. Tampak seorang anak berumur sekitar 4 tahun berlari keluar menyongsong Alan. Alan segera menggendongnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi hingga si anak tampak tertawa tergelak. Seorang nenek kurus keluar dari dalam kamar, seperti habis sholat magrib mungkin karena ditangannya masih sambil memegang mukena.
“Eh.. nak Alan sudah datang, Rama dari tadi tidak sabar menunggumu,” suaranya begitu lembut terdengar, mata nenek itu menangkap sosokku yang berdiri di depan pintu,” wahh.. ada tamu toh?, sini masuk nduk,”
Aku mencium tangan nenek dan memperkenalkan diri. Sang nenek begitu senang melihatku,” Akhirnya nak Alan membawa calon juga, tidak putus nenek doainnya supaya didekatkan jodohnya hehe.., nenek bikinkan minuman dulu ya, silahkan duduk nak Esti”.
Aku melirik Alan sambil mengernyitkan alisku tanda tidak mengerti dengan kata-kata nenek tadi, Alan tersenyum sambil mengangkat bahu. Aku membiarkan Alan bermain dengan Rama tanpa menanyakan apapun, karena sepertinya Alan benar-benar ingin menghabiskan waktu dengan Rama. Aku nimbrung ikut bermain dengan mereka, sampai Rama kelelahan dan tampak mengantuk, Alan membuatkan susu botol untuk Rama. Aku memangku Rama dan mengusap-usap rambutnya supaya tertidur, entah kenapa saat aku melihat wajah anak itu, hatiku berdebar tanpa sebab, aku seperti merasa langsung dekat dengannya biarpun baru pertama kali bertemu. Alan datang dengan sebotol susu ditangannya, melihat Rama tertidur dipangkuanku, Alan membungkuk berniat mengambil Rama dari pangkuanku, wajah kami berdua begitu dekat, tanpa sengaja aku beradu pandang dengan Alan, aku tiba-tiba merasa canggung dan sedikit tercekat menahan nafas. Alan seperti sengaja menatapku dalam, itu membuatku semakin grogi. Ahh.. bagaimana bisa selama ini aku tidak menyadari bahwa Alan mempunyai tatapan mata yang begitu tajam?. Aku segera mengalihkan pandanganku dan buru-buru memiringkan badanku untuk mempersilahkan Alan mengangkat Rama.
“Ti…,” Alan malah memanggil namaku lirih, aku menengok ke arah Alan. Tatapan kami berdua kembali bertemu, Alan perlahan semakin mendekatkan wajahnya ke arahku, aku diam tercekat, hanya mataku yang sedikit semakin membesar, seperti terhipnotis. Alan memiringkan wajahnya dan semakin dekat dengan wajahku, tanpa sadar aku memejamkan mata kuat-kuat, jantungku berdebar semakin kencang, dan…..
“Makasih ya,’’ suara Alan tiba-tiba terdengar begitu jelas di telingaku. Aku kaget dan membuka mataku, Alan tersenyum ke arahku. Ehh.. Jadi dia cuma mau menyampaikan terima kasih? Bukan mau… Ahh.. aku merasa mukaku memerah seketika.
“Kenapa? Ekspresi wajah kamu seperti mengharapkan sesuatu yang lain untuk aku lakukakan kepadamu?,” ujar Alan dengan senyum menggoda.
“Haiss.. kamu ini. Buruan ini angkat Rama nya,” Aku memanyunkan bibirku sambil memalingkan wajahku untuk menutupi salah tingkahku. Alan tertawa sambil mengangkat Rama, dia berdiri dan menengok ke arahku.
“Hei.. ,” Aku mendongak kearahnya, Alan berkata sambil mengulum senyumnya,”Tenang, lain kali akan aku lakukan dengan benar,”
Aku melotot ke arahnya, sambil berteriak,” Hei... Tuan “Tanpa Persetujuan! Berhenti menggodaku dan jangan bicara tentang lain kali karena tidak akan ada lain kali ”.
Ahh...Ibu, anakmu ini jadi ingin pulang karena ingin memberitahumu, sepertinya aku telah menemukannya.