Senin, 16 Desember 2019

Sebuah Cerita Pendek tentang "PACAR ORANG"




Pagi itu, kembali sebuah suara membangunkanku, sayup terdengar tapi berulang-ulang, memanggil-manggil dan disertai ketukan berkali-kali. Aku melempar selimutku dengan kesal, bangun dan menuju pintu  dengan malas. Aku mengintip keluar dari lubang pintu, dan aku menghela nafas saat sesosok gadis terlihat sedang mengetuk-ketuk pintu unit kamar depanku.

“Hhh... Dia lagi,” Gerutuku sebal. Aku berjalan menuju kamar mandi setelah tahu suara ketukan itu bukanlah tamu untukku. Sambil menyikat gigiku terlintas dalam benakku, tidak habis pikir mengingat gadis yang tadi kulihat di depan itu, dia adalah pacar penghuni kamar depanku. Hampir setiap hari dia selalu rutin berkunjung setiap pagi ke rumah pacarnya itu hanya untuk mengantar makanan. Aku kesal bukan karena iri melihat perhatiannya mentang-mentang aku jomblo, hanya saja suara ketukan pintunya itu menggangguku. Penghuni depan kamarku itu baru pindah sekitar sebulan  lalu, dan  sekarang aku selalu terbangun karena ketukan pintu gadis itu, bahkan disaat jam alarm yang aku set pun belum berbunyi. Aku merasa rugi saja sendiri karena waktu tidurku berkurang sekian menit gara-gara menjadi bangun lebih awal.

Aku terkejut saat keluar kamar mandi ternyata ketukan pintu itu masih.

“Busyet.., Tega bener itu cowoknya kagak bangun-bangun” batinku sambil mengambil minuman dari kulkas dan kemudian menyalakan TV berniat menonton berita. Dan baru saja aku duduk di sofa tiba-tiba sekarang giliran pintu kamarku yang diketuk pelan.

“Permisi mas” Muncul wajah cantik begitu pintu aku buka.

“Maaf mengganggu nih mas, boleh nitip lagi tidak ya buat kamar depan?” Gadis itu tersenyum kepadaku, sambil mengacungkan sebuah tentengan makanan dan memasang wajah tidak enak hati. Harusnya itu menyebalkan karena ini sudah kali sekian dia meminta tolong hal yang sama, tapi rasa sebalku selalu luntur saat melihat senyumannya. Duh Ghuna... Pacar orang itu. Aku buru-buru mengalihkan pandangan.

“Ok” Jawabku singkat sambil menerima uluran plastik makanan itu dari tangannya.

“Maaf ya mas merepotkan lagi, soalnya aku sudah kesiangan mau kerja”

“Iya nanti aku sampaikan”

“Terima kasih banyak mas, terima kasih”

Dan gadis itu pun berlalu, berlari menuju lift. Aku hanya bisa menggelengkan kepala, heran jaman sekarang masih ada yang bucin, istilah netizen untuk si budak cinta. Dibela-belain seperti itu hanya untuk menunjukan perhatiannya untuk pasangannya. Aku melirik ke arah pintu kamar depanku yang masih tetap tertutup rapat. “Kebo lo” Umpatku sebal.

Ada sekitar satu jam aku tinggal mandi dan bersiap-bersiap untuk berangkat ke kafe tempatku bekerja. Dan saat sedang memakai sepatu, aku baru teringat akan titipan makanan itu. Aku mengambilnya bersiap mengantarkan ke kamar depan. Aku ketuk lumayan keras dengan harapan orangnya bisa langsung terbangun, karena aku benci mengetuk pintu berulang. Dua tiga kali ketukan, pintu kamar itu tetap tidak kunjung dibuka. Aku tambah sambil memanggil-manggil tapi nihil. Akhirnya aku gantungkan di pintu kamar itu dan aku tempel memo kecil di post it “Dari pacarmu”, ya... aku lupa menanyakan nama gadis itu padahal sudah dua kali bertemu. Setelah itu aku pun pergi untuk berangkat bekerja.

***

          Hari itu, Minggu pagi jam 05:00 aku sudah bersiap mau jogging seperti biasa, aku terkejut saat membuka pintu dan tepat sekali pintu kamar depanku juga dibuka, tampak gadis penitip makanan itu keluar dengan membawa plastik sampah besar.

          “Halo mas...” Dia menyapaku ceria.

          “Loh... Sepagi ini sudah disini? Nginep atau...?” Aku tidak dapat menyembunyikan keherananku.

          “Oh.. tidak kok mas, tadi datang jam setengah 5. Sengaja bangunin Bang Ario. Nanti ada acara keluarga pagi ini, bisa telat dia kalau aku tidak kesini” Jawabnya. Oh... Ario nama si kebo itu, batinku. Kami lalu berjalan ke lift bersama, di dalam lift aku melirik tentengan yang dia bawa.

          “Plastik sampah? Sekalian beberes?” Tanyaku

          “Iya mas, iseng saja, daripada nunggu bang Ario mandi lama” Ucapnya sambil tersenyum. Damn... Entah kenapa senyum gadis itu kok bisa begitu adem dilihatnya. Tanpa sadar aku tersenyum sambil mengulurkan tanganku.

          “Namaku Ghuna, panggil saja Ghun”

          “Oh iya namaku Aida, mas. Maaf ya lupa memperkenalkan diri padahal sudah berapa kali minta tolong” Sipu-nya malu.

          “Tidak apa. Kamu asalnya bukan dari Jakarta ya?”

“Iya mas, aku besar di Jogja, baru pindah kesini belum lama”

“Oh... Pantes, luwes manggil mas-nya” kataku sambil tersenyum

“Ngomong-ngomong sudah lama pacarannya?” Aku tidak dapat menyembunyikan penasaranku.

          “Sudah mau 2 tahun mas”

          “Kapan rencana menikah? Pacaran jangan lama-lama” Ujarku

          “Hehe... Aku penginnya cepet mas, tapi bang Ario sepertinya masih nanti-nanti terus. Lagi fokus ke karirnya dulu katanya”

          “Sudah lama kenal sama Ario?” Selidikku.

          “Sebenarnya karena perjodohan, hubungan keluarga kami dekat. Dulu kami berdua teman semasa kecil tapi kemudian tinggal di kota yang berbeda. Jadi baru deket bang Ario ya sejak aku  pindah ke Jakarta 1 tahun laluan” Aku menengok ke arahnya, pantas dia tampak begitu polos.

***

Malam itu tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, aku memacu laju motorku dengan cepat karena malas berhenti untuk memakai mantel mengingat jarak apartemenku sudah dekat. Saat memasuki area parkir, alangkah terkejutnya aku melihat ada sosok gadis yang sedang berteduh di teras pos security sambil memegang kantong plastik yang sepertinya tidak asing di mataku. Selesai memarkirkan motorku, aku berlari-lari menghampiri gadis itu. Benar saja, dia adalah Aida si “pacar orang” itu. Dan entah kenapa aku senang bisa melihatnya kembali.

“Hei... Sedang apa kamu hujan-hujan disini?”Sapaku setengah berseru karena suara deras hujan begitu berisik. Aida tersenyum melihatku, tangannya seperti kedinginan. Aku segera mengulurkan jaketku.

“Kamu menunggu pacarmu? Pakai dulu ini nanti masuk angin” Ujarku. Dia menerima jaket milikku itu tanpa basa basi.

“Makasih ya mas, aku pinjem bentar ya” Dia segera memakainya. Kantong plastik yang sedari tadi dia pegang dia taruh di lantai.

“Nganter makanan lagi buat Ario?”

“Iya, sudah aku ketuk berapa kali tapi tidak ada jawaban. Kata Mamanya yang habis nelpon, dia ada dirumah lagi sakit, makanya aku disuruh antar makanan lagi” Terangnya.

“Kenapa tidak menunggu di Lobby saja kalau tahu hujan begini”

“Tadi nunggu di Lobby lumayan lama, jadi mutusin pulang deh eh pas banget hujan turun”

“Kamu sudah telepon dia?” Dia menggeleng sambil menoleh kearahku.

“Tidak diangkat-angkat mas beberapa hari ini” Masih dengan senyum tersungging di bibirnya.

“Kok bisa sih? Kata kamu dia lagi sakit? Harusnya ada di rumah kan?”

“Sejak pindah kesini, bang Ario agak sulit dihubungin” Aida mengangkat bahu.

“Mau nitip lagi makanannya?” Aku menawarkan diri. “Nanti aku sampaikan ke Ario, mending kamu pulang saja soalnya udah malam sekarang”

“Iya ya, Ndak pantes ya mas cewek nyamperin cowoknya semalam ini? Hehe...” Duh... Lagi –lagi cewek itu masih bisa tertawa kecil.

“Iya aku pulang dah mas, ini jaketnya terima kasih loh ya” Ujarnya sambil mau melepas jaketku. 

Aku tahan dia “Sudah pakai saja, kamu bisa kembalikan sesempet kamu, hujan masih lumayan soalnya daripada sakit nanti, toh besok kamu juga pasti kesini lagi kan?”

“Jadi malu karena sudah diketarain”

“Harus banget ya kamu tiap hari nganterin makanan buat dia?”

“Tidak tiap hari juga sih mas, Cuma mama bang Ario tahu kalau bang Ario suka tidak teratur makannya, punya maag akut juga dia jadi semenjak tahu aku sudah pindah ke Jakarta dan deket ke tempat bang Ario ya akhirnya dimintain tolong terus buat bantu perhatiin” Jelasnya.

“Oooh....” Aku hanya bisa menggumam panjang. Aku masih tidak mengerti bagaimana seseorang mau berkorban sedemikian rupa untuk kekasihnya. Ah... jadi pengin punya pacar juga kalau seperhatian dia mah, aku tersenyum sendiri.

“Jadi, mau dititip saja atau gimana nih makanannya?” tanyaku  lagi. Aida terdiam sesaat, lalu dia mengulurkan plastik makanannya ke arahku.

“Buat mas saja deh, belum makan malam kan?”

“Eh... Yang bener?” Aida mengangguk dan tersenyum meyakinkanku.

“Iya daripada nanti basi tidak ada yang makan”

“Wah... Rejeki anak sholeh nih” Ucapku senang. “Ini kamu masak sendiri?” Tanyaku lagi begitu tahu wadahnya adalah tupperware.

“Iya mas, nyoba masak teriyaki tadi, jangan dibuang ya kalau tidak enak”

“Tentu tidak, pasti aku akan habiskan” Kataku tersenyum lebar. Tatapan kami sempat beradu, dan damn!... Tiba-tiba aku seperti melemas sejenak. Duhai hati... Bisakah kau biasa saja? Aku mengumpat diriku sendiri.

“Mau aku antar pulang?” Aku berusaha menghilangkan grogiku.

“Tidak usah mas, sepertinya sudah mau reda juga hujannya” Kata Aida sambil melihat ke atas. Tidak lama kemudian, Aida pun pamit pulang. Dan hujan yang menyisakan dingin dan becek ini pun terasa begitu indah buatku.

***

Sore itu, aku pulang kerja lebih cepat dari biasanya, aku sudah punya rencana akan pergi ke gym bersama temanku, tapi tas sepatuku lupa aku bawa tadi jadi terpaksa aku harus pulang dulu. Di dalam lift, aku bersama dengan seorang pria yang menggandeng wanita bertubuh sintal, pakaiannya yang mini dan ketat menggambarkan itu semua. Ternyata kami turun di lantai yang sama, saat aku sampai di depan pintu unit kamarku, aku baru sadar dia adalah Ario, karena dia sedang membuka pintu depan kamarku itu.

“Ario?” Panggilku. Pria tersebut menoleh.

“Ya... ?”

         “Hai bro, akhirnya ketemu juga kita, padahal tetangga dekat gini ya?” Basa basiku. “Ohya waktu itu ada titipan makanan aku gantung di pintu, sudah diambil ya?” Aku pura-pura mengkonfirmasi.

          “Oh ya bro, sudah aku ambil, thank you ya” Dia tersenyum lebar ke arahku.

          “Titipan dari siapa?” Tanya wanita di sampingnya.

        “Oh biasa, dari mbaknya mamaku di rumah, dia suka khawatir kalau aku tidak makan teratur jadi masih saja suka dikirim-kirimin kesini” Jawab pria tersebut sambil melambaikan tangan pamit kepadaku dan masuk ke dalam kamarnya. Aku mendengarnya refleks menoleh ke arah mereka, “Hahh... Mbak-mbak dirumahnya? Gila!” Aku menggeleng konyol. Dan menatap ke arah pintu kamar Ario lama, apa yang mereka lakukan? Siapa wanita itu? Apakah Aida tahu? Berkecamuk tanya di benakku.

***

     Cukup 15 menit untukku mengganti bajuku untuk nge-gym, temanku sudah menelponku berulang. Agak tergesa aku menuju lift, dan saat lift terbuka, aku terkejut, ada Aida yang keluar dari lift dengan membawa tentengan besar seperti biasa.

          “Hai mas... Mau pergi?” Sapanya. Aku terdiam sesaat, di kepalaku teringat Ario sedang bersama wanita seksinya barusan.

          “Ah iya tadinya mau nge-gym sama temen, tapi sepertinya ada yang ketinggalan” Bodoh... Kenapa aku jadi ikut gugup. Aku berbalik arah dan berjalan ke arah pintu kamarku, berbarengan dengan Aida yang juga menuju ke arah kamar Ario. Aku terpaku di depan pintu kamarku, menunggu apa yang akan dilakukan Aida. Dan ternyata Aida  benar Aida mengetuk pintu kamar Ario, tidak ada jawaban, dia mengetuknya kembali. Entah apa yang merasukiku, tiba-tiba aku memanggilnya.

         “Aida... Emm... Bisa mampir ke tempat sebentar tidak? Aku mau minta tolong”         
“Minta tolong apa mas?” Aida mendekat ke arahku. Aku menarik tangan Aida masuk ke dalam kamarku. Aida terkejut.

          “Mas Ghun, ada apa ini?” Tanyanya dengan raut kaget.

         “Maaf Aida, aku tidak ingin memberitahumu tapi sepertinya Ario sedang ada tamu. Kamu tunggu di tempatku saja dulu ya” Jelasku.

          “Tamu siapa?”

          “Nanti kamu juga lihat sendiri” Aida tampak bingung dan mengeryitkan dahinya seperti berpikir.

          “Oh iya, aku mau balikin tupperware kamu yang waktu itu, kamu duduk saja dulu sambil aku buatkan teh” Aku mencari alasan.

          “Tidak ah mas, terima kasih. Aku mau tunggu di luar saja. Nanti bang Ario lihat bisa salah paham malah” Aida berbalik ke arah pintu hendak keluar, spontan aku menghalanginya dengan berdiri di depan pintu.

          “Aida! Sebentar saja, aku mau bicara” Pintaku. Dan saat bersamaan terdengar suara pintu kamar Ario seperti dibuka.

“Minggir mas, itu suara bang Ario” Aida segera mendorong badanku, tangannya sudah memegang gagang pintu tapi matanya terpaku saat melihat lewat lubang pintu. Tangannya tampak meremas plastik tentengan yang dia pegang dan aku tahu apa yang sudah Aida saksikan. Tampak dia menghela nafas panjang tapi bernada kesal.

“Aida... Mau aku buatkan teh?” Tanyaku pelan mencoba menenangkan, tapi Aida justru menarik gagang pintu keluar, tepat saat Ario sedang menunggu lift dengan menggandeng mesra pinggang wanita di sampingnya.

          “Bang Ario!” Seru Aida memanggil. Ario terkejut melihat Aida keluar dari pintu kamarku. Aida memburunya, dia melangkah cepat sambil membuka rantang makanan di tangannya, aku bergegas menyusul Aida, sejenak aku terbelalak saat Aida melemparkan isi makanan itu ke arah Ario, wajah dan bajunya belepot kotor oleh kuah makanan, Ario berteriak kesakitan karena matanya perih, wanita di sampingnya tidak kalah terkejut. Tepat saat itu pintu lift terbuka dan Aida menarik tanganku dan masuk ke dalam lift. Apa ini sedang adegan sinetron? Pikirku.

          “Aida... Are you ok?” Tanyaku pelan begitu pintu lift tertutup.

          “Ario brengsek!” teriak Aida sambil tanpa sadar meremas-remas tanganku yang masih dia pegang. Dia menghentak-hentakan kakinya kesal.

          Aku tersenyum dalam hati melihat tingkah lucunya.

“Aida... Itu tanganku bukan plastik makanan kamu?” Ledekku. Aida kaget lalu buru-buru melepas tanganku sambil tertawa.

“Ah ya haha... Maaf mas maaf, duh... ndak sadar aku”

“Butuh sasak tinju? Lenganku cukup kuat kok” Kataku sambil menunjukan Tanganku ala binaragawan. Aida tertawa lagi dan meninju lenganku pelan.

***

Hari itu adalah terakhir aku bertemu Aida. Beberapa hari kemudian, aku tidak pernah melihatnya lagi ke apartmentku menemui Ario. Entah mengapa kadang aku merindukan suara ketukan pintu yang biasa Aida lakukan. Aku menyesal tidak pernah menanyakan nomor handphone-nya sebelumnya. Ya... Gadis lugu itu telah mencuri hatiku ternyata, aku tersenyum konyol sendiri.

“Mas... Cappucino nya satu ya” Sebuah suara mengagetkanku, dan aku mengenali suara itu. Ya,,, Sosok yang baru aku pikirkan sedang berdiri di depanku.

“Mas Ghun kerja disini toh, lama tidak jumpa ya mas” Sapanya sambil tersenyum.

“Aida?” Aku tidak dapat menyembunyikan raut senangku. “Apa kabar?”

***
“ “Aida... Kau tahu? Dari dulu aku benci ketukanmu di pintuku, tapi untukmu sepertinya aku akan rela mengetuk pintu hatimu berulang-ulang”

“Saat hidup menutup pintu untukmu, buka lagi saja. Itu hanya pintu, memang begitulah cara kerjanya”

Jakarta, 15-12-2019
@bee.artie