Minggu, 23 Agustus 2020

Aku, Dia dan Sebuah Cermin

  Sore itu, di sebuah café rooftop tempat Ria merayakan ulang tahunnya, semua berjalan dengan baik, semburat senja kemerahan di ujung langit sana menambah indah pemandangan sore itu, beberapa orang asyik berfoto ria, beberapa lagi hanyut dalam alunan musik live yang romantis, aku memilih berdiri di pinggir sambil memegang gelas minumanku, sesekali tergelak melihat tingkah konyol teman-temanku bermain tik-tok, sebelum akhirnya pandanganku mulai teralihkan dengan pemandangan di atas atap sebuah rumah di samping gedung café ini. Ada seorang perempuan yang tampak berdebat dengan seorang pria yang hanya memakai kaos singlet putih, entah mereka sedang mendebatkan apa tapi gesture mereka bisa terlihat jelas olehku, dan mendadak aku tercekat saat melihat pria itu tiba-tiba mengayunkan kayu dan menghantam kepala wanita itu dengan keras, wanita itu tersungkur dan aku kaget bukan main dengan apa yang barusan aku lihat dan reflex membalikan badanku memunggungi mereka. Aku mengatur nafasku yang tersengal karena shock, aku lihat sekeliling tampak teman-temanku tidak ada yang menyadari kejadian yang aku lihat. Dengan sedikit gemetar aku ambil cermin saku dari tas kecilku, pelan-pelan aku arahkan ke wajahku, kemudian aku geser perlahan untuk mengintip memastikan kejadian yang terjadi di atap rumah itu tadi, ya pria itu masih berdiri di sana memandang ke arahku dan menyeringai seram, dia tampak membungkuk mengambil sesuatu dari tas wanita yang dipukulnya tadi, tiba-tiba aku merasakan silau cahaya dari sebuah pantulan kaca yang diarahkan tepat ke wajahku. Seketika aku berteriak, cermin di tanganku terjatuh dan aku lemas terduduk, beberapa menghampiriku dan menanyakan apa yang terjadi, terbata-bata aku menceritakan apa yang aku lihat, teman-temanku mengecek ke arah yang aku tunjuk, tapi mereka tidak melihat apa-apa. Aku berdiri untuk memastikan, tapi benar terlihat di atas atap rumah tersebut sudah tidak ada siapa-siapa, wanita yang tersungkur tadi juga sudah tidak terlihat. Teman-temanku menenangkanku dan menganggap aku hanya berhalunisasi karena kebanyakan melamun di sore menjelang petang tersebut. Akhirnya mereka memutuskan mengantarku pulang dan menyudahi perayaan Ria.

Seminggu berlalu dari kejadian itu, dan aku masih belum bisa melupakan apa yang aku lihat saat itu. Bahkan aku tidak berani keluar kost karena ketakutanku sendiri, tapi browsing di internet juga tidak ada berita pembunuhan atau kriminal lainnya karenanya aku memutuskan untuk melupakan kejadian yang membuatku sulit tidur belakangan ini. Dan sore itu aku diajak menemani Fina ke Pasar di dekat rumah kostku, dia ingin membeli beberapa buah-buahan untuk dibuat salad. Suasana pasar masih ramai, aku agak malas berdesak-desakan karena jadi aku memilih menunggu di luar kios buah, sedangkan Fina masuk ke dalam untuk memilih buah-buahan yang dia mau. Aku bersandar pada tiang kios di pojokan sambil memainkan handphone-ku, sebelum tiba-tiba terkejut oleh silau cahaya yang mengarah ke wajahku, aku mengangkat tanganku untuk menutupi mataku, baru saja aku menurunkan tanganku lagi-lagi kilauan cahaya itu menyerang mataku, sejenak mataku kehilangan pandangan, aku geram siapa yang iseng ini?! Aku berpindah tempat dan mengedarkan pandanganku ke arah cahaya itu datang, mataku terbelalak karena melihat sosok pria bercelana pendek, berkaos singlet berdiri di seberang kios buah tempatku berdiri, tangannya memegang cermin sambil melambai ke arahku dan bibirnya tersenyum menyeringai seram. Spontan aku berlari ketakutan sekencang-kencangnya, pria tersebut tampak mengejarku, aku masuk ke gang-gang rumah-rumah warga untuk mengecohnya, tak kupedulikan sandal jepitku yang terlepas, tak peduli orang-orang yang keheranan melihatku berlari seperti orang gila, aku benar-benar tidak ingin tertangkap oleh pria itu.

Aku berlari menaiki tangga rumah kostku, aku mengintip apa pria tersebut masih mengikutiku melalui pagar pembatas teras. Sepi. Tak terlihat. Fyuhhh… Aku menarik nafas lega. Aku masuk ke kamarku dan segera menguncinya. Tak lama aku pun tertidur, aku terbangun saat sayup mendengar adzan magrib dan merasa sangat kegerahan. Aku buka pintu kamar kostku supaya ada udara masuk, aku nyalakan kipas angin, dan sambil rebahan memainkan handphone-ku menunggu keringat hilang. Depan kamarku tampak sepi karena memang belum pada pulang kerja, aku berniat mengirim pesan ke Fina karena kamarnya masih tampak gelap. Tak berapa lama, aku mendengar langkah kaki menaiki tangga, aku bersyukur akhirnya penghuni kost lainnya mulai pada pulang, atau itu Fina? Aku melirik ke arah pintu kamarku yang terbuka menanti siapa yang sudah sampai itu. Hening, tak terdengar langkah kaki lagi. 

“Fin…!” Panggilku memastikan kalau itu Fina. 

Senyap. Mataku tak berkedip melihat ke arah pintu. Aku terhenyak saat sebuah tangan yang memegang sebuah cermin muncul dari ambang pintu mengejutkanku, disusul dengan sosok berkaos singlet yang menyeringai lebar ke arahku. Cermin itu! Seketika kesadaranku pulih. Aku beranjak secepat kilat untuk menutup pintu, tapi aku kalah cepat. Tangan gempal itu mendorongku kasar, cermin di tangannya dia lempar berganti mencekik leherku, kedua tanganku menahannya, tapi kalah kuat dengan tenaganya, tangan satunya pria itu mengambil pulpen yang ada di meja dekatnya, dan mengarahkan ke leherku, aku semakin panik, kakiku menendang-nendang sekenanya, aku berteriak minta tolong tapi suaraku hilang karena leherku semakin tercekik. Aku ingin hidup! Aku ingin hidup! Hanya itu yang ada dipikiranku dan aku berusaha berteriak lebih kencang.

“Toloong” suaraku masih tetap tak terdengar, aku mengumpulkan segenap tenagaku yang mulai melemas dan berusaha berteriak lagi.

“Tolonggggggg!!!!” Akhirnya suaraku keluar dengan lantang.

“Tooll…..” Tiba-tiba mulutku seperti ada yang membungkam. Aku panik.

“Hei yang… yang! Istighfar! Istighfar! Bangun… Bangun….” Aku membuka mata, tampak suamiku membangunkanku dengan tangan yang masih menutup mulutku yang masih ingin berteriak, berusaha menenangkan dengan mengusap-usap kepalaku.

"Astaghfirullahaladzim" Ucapku hampir tak terdengar.

      “Hei… Bangun… Bangun… Kenapa? Mimpi apa?”

Nafasku masih tersengal-sengal tapi aku merasakan lega yang luar biasa karena ternyata ini hanya mimpi.


*Sekian*


NB: Ini kisah nyata malam minggu kemarin  😁 Terima kasih Pak suamiiii… Maaf sudah membuatmu jantungan di tengah tidur lelapmu ❤️


Follow IG @ceritapunyaarti