Pic Source: http://www.harme.in
Di
siang yang terik itu, Tia memacu motornya dengan cepat, berkali-kali dia
bunyikan klakson ke kendaraan yang ada didepannya, hatinya penuh gemuruh
seperti gemuruh angin yang menerpanya. Panasnya siang itu sepertinya
mengalahkan panasnya hati Tia saat itu. Sesampainya di Mall tempat dia bekerja,
dia langsung menuju gudang untuk menata produk di etalase yang menjadi tugasnya
hari itu. Dari cara dia menaruh kaleng-kaleng produk susu balita dagangannya,
terlihat sekali bahwa Tia sedang penuh amarah, dia membuang nafas kesal
berkali-kali dan bunyi berisik beradunya kaleng yang Tia tata membuat Lala,
sang supervisor toko yang notabene sahabatnya Tia mendekatinya.
“Kamu
kalau lagi marah ngadem dulu sana ke belakang, tarik napas yang bener dulu,”
“Siapa
juga yang lagi marah,” Jawab Tia jutek, Lala mencubit pipi Tia sambil tertawa.
“Lah
kalau lagi gak marah kenapa itu kaleng susu kamu adu satu sama lain, kalau
penyok pembeli mana mau beli loh,” Ujar Lala sambil menghentikan tangan Tia yang
sedang bekerja,”Kamu lagi kenapa? Masih pagi jangan diisi dengan muka ditekuk gitu
loh, entar seharian bakal kebawa bete mulu kamu,”
“Huaaa…
Gimana gw gak bete coba, La? Masa nyokap gw hamil lagi coba!” Sungut Tia dengan
nada penuh kekesalan.
“Hah?!
Nyokap lo hamil lagi? Hahaa… Ya bersyukur dong, Lo mau punya adek lagi, rejeki
itu,” Ujar Lala sambil tertawa ngakak, Tia paham sekali maksud tawa Lala.
“Gila
lo, nyokap gw umurnya hampir 50 tahun mennn,” Tia menghentikan pekerjaannya dan
menyenderkan kepalanya ke tembok,” Resikonya gede hamil di usia segitu dan lagi
arghh… Orang tua gw udah punya anak empat, kenapa bisa kebobolan begitu coba?
Di usia setua mereka masa mau punya babby lagi?! Bener – bener gak habis pikir
gw sama mereka,”
“Huss…
Gak boleh gitu lo, anak itu amanah dari Allah, kehadirannya gak ada yang salah
mau di usia setua apapun manusia,” Nasehat Lala menenangkan Tia.
“Iya
tahu tapi maksud gw bokap aja gw lihat kayak uring-uringan denger nyokap hamil.
Kasihan gw ke nyokap, belakangan jadi sering diem melamun, dia seperti menyalahkan
dirinya dengan meminta maaf kemarin ke gw karena telat suntik KB katanya. Kesel
juga gw ke bokap, ngapa juga dia marah
ke nyokap lah jelas-jelas dia sendiri pelaku utamanya,”
“Sabar…
Namanya juga baru kejadian pasti masih pada kaget, nanti juga pada nerima kok
biasanya” Lala mencoba mendinginkan Tia.
“Ahh…
Entahlah La, gw pusing. Dan yang bikin gw tambah kesal, gw denger slentingan tetangga
gw pada ngeledek, biasanya kalau istri udah setua nyokap gw terus kebobolan
hamil lagi itu jangan-jangan bokap gw punya istri muda yang lagi hamil juga,
ngeselin gak coba?”
“Eh
bisa jadi Ti, emang ada yang bilang gitu sih, yakin lo kalau bokap lo
“baik-baik saja” selama ini?,” Tanya Lala sambil menggerakkan jarinya sebagai
tanda kutip dari pertanyaannya. Tia terdiam mendengar ucapan Lala, sejenak
kemudian Tia memukul kepala Lala dengan kanebo yang ada di tangannya.
“Semprulll
lo! Bokap Nyokap gw baik-baik aja kok selama ini, rukun-rukun aja mereka dul,
gak mungkin itu”
“Haha…
Gw becanda Tiaaa…” Teriak Lala sambil berlari cekikikan menjauh dari Tia yang
semakin bertambah panas hatinya. Tia menatap Lala sampai hilang dari balik
etalase barang dengan bersungut-sungut sendiri, dia melanjutkan pekerjaannya
tapi candaan Lala tentang bini muda tidak bisa menghilang dari pikirannya.
***
Malam
itu, Tia sengaja duduk di teras menunggu ayahnya pulang kerja, pikirannya masih
dipenuhi kemungkinan adanya “bini muda” ayahnya. Ya… Biarpun usianya hampir
menginjak kepala 5 tapi secara fisik ayahnya masih terlihat gagah berwibawa dan
ayahnya adalah seorang wartawan senior di sebuah surat kabar nasional yang
lebih sering berada di luar rumah, tapi selama ini di mata Tia ayahnya adalah
sosok yang bertanggung jawab dan sayang keluarga, buktinya setiap ayahnya pergi
keluar kota untuk liputan berita, ayahnya tidak pernah absen menelpon istri dan
anak-anaknya.
“Kamu
belum tidur, nak?” Sebuah suara lembut mengagetkan Tia. Tia menengok, tampak
ibunya berdiri di pintu, Tia tidak menjawab tapi justru mengamati ibunya dari
tempat dia duduk. Sosok ibu sederhana yang selalu dibalut daster rumahan,
dengan badannya yang gemuk khas ibu-ibu, dengan wajahnya yang hampir tidak
pernah ber-make up, bahkan seingat Tia untuk pergi kondangan pun ibunya akan
tetap sederhana tanpa berdandan. Tia kemudian membayangkan ayahnya disana yang
lingkungan kerjanya dipenuhi dengan wanita-wanita modis dan cantik, kening Tia
berkernyit saat menyadari bahwa kemungkinan tentang adanya bini muda itu memang
mungkin saja ada.
“Hei…
kok malah melamun kamu” Ibunya menepuk pundak Tia,” Ayo… Masuk, sudah malam,
Tia”
“Eh
iya bu, sebentar lagi, Tia mau nunggu ayah”
“Kan
ayah kamu lagi ke Bandung untuk 3 hari ini,”
“Loh
kok tumben, ayah gak ngasih tahu Tia?” Raut wajah Tia berubah kecewa.
“Ayah
udah pamit kok ke ibu, ayahmu mungkin sibuk jadi lupa menelpon kalian, kan lagi
ada acara ulang tahun kantor surat kabarnya,”
“Huft…
Ya sudah” Tia beranjak dari duduknya. “Ngomong-ngomong ibu masih mual sama
pusing?”
“Masih
sedikit, tapi gak apa-apa kok, biasalah ibu memang setiap hamil muda kan
fisiknya sedikit lemah, nanti menginjak 5 bulan juga sehat lagi,’
“Hamil
muda? Lebih tepatnya hamil tua ini mah namanya, hamil di usia tua,” Tia
merengut. Ibuya tertawa kecil.
“Ahhh…
bu, coba deh di test sekali lagi, mungkin saja salah itu tespeknya,” Tia
merajuk, seperti masih tidak bisa menerima kenyataan dengan kehamilan ibunya.
Ibunya
kembali tertawa dan merangkul Tia mengajak masuk ke dalam rumah sambil
berkata,” Ada-ada saja kamu, orang ibu udah control ke dokter kok dan fix kamu
akan punya adik lagi, jadi baik-baik ya jadi kakak,”
“Ahh…
Ibu mah, aku malu udah segede ini masih punya adik bayi huhu…” Tia melepas
tangan ibunya dan masuk ke kamarnya dengan sebal. Ibunya hanya tersenyum
melihat tingkah Tia dan bergegas mengunci pintu.
***
Hari
itu, Tia dikenalkan oleh Lala dengan pacar barunya, Doni. Dan untuk
merayakannya Tia pun ditraktir makan oleh mereka di sebuah restoran sepulang
kerja. Doni tampak membawa-bawa sebuah kamera karena ternyata dia adalah
seorang Kameramen di sebuah stasiun televisi swasta.
“Eh
bokapnya Tia juga seorang wartawan loh yang” Lala memberitahu Doni.
“Oh
ya… Wartawan dimana? Kali aja gw kenal” Sambut Doni.
“Gak
mungkin kamu kenal, Don. Bokap gw mah cuma wartawan surat kabar,” Ujar Tia
“Eh…
Surat kabar mana? Kemarin gw juga baru aja ikutan ngeliput ulang tahun sebuah surat
kabar loh di Bandung”
“Ohh…
bokap gw di Fresh Media,”
“Loh
iya, itu yang kemarin ulang tahunnya gw liput, nih di kamera gw rekamannya
masih ada kok, mau lihat?” Doni tampak antusias memperlihatkan hasil
bidikannya, Tia sebenarnya tidak tertarik tapi demi menghargai Lala, dia pun
ikut mendekat menonton video liputan Doni. Dalam video itu tampak pesta ulang
tahun media tersebut begitu semarak karena ada acara – acara penghargaan juga,
dan mata Tia terpaku saat melihat sesosok Laki-laki yang sedang menerima
penghargaan the best employee dalam video tersebut. Bukan hanya sosok lelakinya
saja yang membuat Tia terkejut, tapi sesosok perempuan yang mendampingi lelaki
tersebut juga tak kalah membuat mata Tia terbelalak.Tanpa sadar, Tia merebut
kamera itu dari tangan Doni dan mengamati gambar itu lebih dekat. Lala mendekat
ke Tia penasaran dengan apa yang Tia lihat.
“Ohh…
Kalau itu karyawan-karyawan surat kabar itu yang lagi menerima penghargaan, ada
yang lucu nih sama orang yang ini nih” Doni menunjuk salah satu laki-laki dalam
video itu,”Jadi orang ini buat ledekan sama MC nya karena ternyata istrinya
sedang hamil muda padahal kan bapaknya itu katanya udah tua, ini nih istrinya
yang ini, pada ngakak tuh waktu mereka naik panggung,”
“Lala…
Itu beneran bokap gw bukan sih?” Dengan suara sedikit gemetar Tia menarik
lengan Lala untuk lebih dekat ke kamera,”Tolong, La… Jangan bilang itu beneran
bokap gw”
Lala
cepat tanggap dan buru-buru memastikan sosok itu, sejenak kemudian dia menoleh
ke Tia dengan wajah sedih dan mengelus-elus pundak Tia seperti menguatkan.
“Wah…
Jadi beneran itu bokapnya Tia? Selamat ya buat kamu yang mau punya adik lagi”
Dengan bodohnya Doni ikutan menepuk pundak Tia dengan nada tulus ikut bahagia.
“Ohya…
Ibu kamu cantik ya, selamat juga buat dia” Cerocos Doni masih dengan polosnya.
“Itu
bukan nyokap gw tahu!” Tiba-tiba Tia berdiri dengan penuh amarah dan
meninggalkan mereka berdua. Doni terkejut kaget dengan reaksi Tia. Lala
menyikut Doni dengan kesal, membuat Doni semakin bingung.
“Iishh…
Kamu sih!” Lala berusaha mengejar Tia tapi Tia sudah keburu melaju cepat pergi
dengan sepeda motornya.
***
Belum
sempat Tia memarkir sepeda motornya, tampak Zaki adik Tia yang ketiga berlari
menyongsong Tia, wajahnya penuh kecemasan.
“Kak
Tia, ayo ke Rumah Sakit, ibu jatuh dikamar mandi tadi, sekarang dibawa ayah ke
Rumah Sakit, banyak darah kak tadi, kasian ibu,”
“Kok
bisa ibu jatuh?!” Tak kalah kaget Tia mendengarnya, kaki tangannya seketika
lemas serasa tidak bertenaga teringat kandungan ibunya.
“Iya
ibu tadi lagi nonton berita di tivi, ada ayah masuk tivi, kak”
“Subhanallah
ibu… “Tenggorokan Tia tercekat, hatinya hancur seketika saat membayangkan bahwa
ibunya pasti sudah tahu tentang ayahnya. Tia kembali memacu motornya menuju
Rumah Sakit bersama Zaki. Di sepanjang jalan, pikiran Tia tidak berhenti
memikirkan sosok wanita yang mendampingi ayahnya dalam video milik Doni, iya…
wanita itu adalah tante Ira, yang tidak lain adalah sepupu ibunya Tia sendiri.
Wajahnya memang begitu mirip dengan ibunya, waktu mereka muda di keluarga
banyak yang suka bilang bahwa mereka seperti kembar, tapi Tia masih tidak habis
pikir bagaimana bisa ayahnya dan tante Ira bersama di acara itu? Apa hubungan
mereka sebenarnya? Bagaimana bisa orang – orang di pesta itu menyebut tante Ira
dengan sebutan istri ayahnya? Bagaimana bisa orang-orang itu menyebut tante Ira
sedang hamil sedangkan sudah menjadi rahasia umum di keluarga besar bahwa tante
Ira memang selama ini memilih tidak menikah karena terlalu ambisius menjadi
wanita karir? begitu banyak pertanyaan-pertanyaan janggal di benak Tia.
***
Tia
berdiri termenung di depan pintu kamar rumah sakit dimana ibunya di rawat,
kedua telinganya menangkap dengan jelas suara ayahnya di dalam kamar tersebut.
“Entah
bagaimana kejadian persisnya bu, tapi 3 bulan lalu Ira tiba-tiba meminta
pertanggung jawabanku atas kehamilannya. Aku sendiri bingung kapan itu terjadi?
Dan bagaimana bisa terjadi? Maksudku, kamu tahu kan kantor tempat Ira adalah
sponsor iklan terbesar di surat kabar kantorku, jadi sering kali memang aku
pergi meliput kegiatan mereka, dan Ira pasti ikut bersama rombongan karena dia
memang yang bertanggung jawab disana. Dan ya aku memang sering ngobrol dengan
Ira tentang segala macam, bukan hanya soal pekerjaan, apalagi wajahnya mirip
denganmu jadi aku enak aja kalau ngobrol sama dia tapi aku tidak tahu kenapa
bisa jadi sejauh ini masalahnya, yang jelas Ira menunjukan foto kami berdua di
dalam kamar sebuah hotel bu saat dia datang meminta tanggung jawabku” Terdengar
ayahnya Tia menjelaskan panjang lebar. Tidak terdengar sama sekali suara ibunya
Tia menanggapi perkataan ayahnya.
“Kalau
sudah terlanjur begini, gak ada yang aku bisa lakukan selain minta maaf, bu.
Maafkan aku untuk semua ini tapi aku harus tetap mempertanggung jawabkan
semuanya”
Hening,
hanya terdengar isak tangis ibunya di dalam sana, dan air mata Tia pun ikut
menetes membayangkan perasaan ibunya didalam sana, dia sendiri tidak tahu harus
marah kepada siapa karena sudah jelas sekarang hubungan ayahnya dan tante Ira
terbukti benar-benar terjadi.
***
Tiga
bulan berlalu, tante Ira semakin menggila sebagai istri muda, tangis penyesalan
dan permohonan maafnya kepada ibunya dan keluarga ternyata hanya di awalnya
saja, sekarang justru dia sengaja membeli rumah dekat dengan rumah Tia, dengan
alasan supaya ayahnya Tia tidak sulit membagi waktu buat dua keluarga. Hal itu
membuat Tia dan adik-adiknya muak, ya muak harus melihat setiap pagi ayahnya
dan Tante Ira berangkat kerja bersama, sedang ibunya menyiapkan bekal makanan
buat ayahnya seperti biasa, kadang dengan muka tembok tante Ira pun meminta dibungkuskan
buat dia juga, dengan alasan perutnya yang mulai membesar terlalu lelah untuk
bekerja dan memasak sendiri. Mereka seperti tidak memperdulikan perasaan ibunya
yang harus kehilangan bayi nya gara – gara kejutan dari mereka berdua, Tia muak
melihat ibunya seperti dianggap tukang masak yang digaji setiap bulan saat
mereka gajian. Dan entah Tia harus menganggap ibunya bodoh, tegar atau apa
karena memilih bertahan dengan situasi seperti itu, bahkan saat Tia dan
adik-adiknya mendesak untuk meminta cerai pun ibunya malah marah-marah, dia
menganggap ini sebagai ibadah seorang istri terhadap suaminya.
“Dan
lagi, kalau ibu memilih cerai, bagaimana dengan sekolah adik-adik kamu? Di usia
setua ibu, ibu bisa bekerja apa untuk menghidupi kalian memangnya? Kamu sanggup
membiayai semuanya? Kamu sendiri masih keteter dengan kuliahmu, Tia” Kata
Ibunya Tia di suatu hari saat Tia mendesak kembali untuk menjauh dari Ayahnya.
“Ibadah
seorang istri adalah saat bisa membuat suaminya bahagia, nak. Entah sesakit
apapun itu caranya untukmu sendiri, ya… terkadang dalam hidup, kita memang
perlu belajar seperti lilin, dia rela membakar dirinya sendiri demi menerangi
sekelilingnya, bukan?”
“Bahkan
dengan membiarkan suami diambil wanita lain bu??? Wahh… Ini gak bisa diterima
akal sehat Tia bu”
“Ya…
Semoga kelak kamu akan mengerti keputusan ibu” Ibunya Tia mengusap lembut
rambut Tia,”Satu pesen ibu, kelak apabila kamu sudah menikah, usahakan tetaplah
bekerja atau mempunyai usaha sendiri, istri bekerja itu menurut ibu bukan lah
mengabaikan kodratnya dalam mengurus suami dan anaknya, tapi anggap kamu sedang
membantu suami kamu menyiapkan masa depan anak-anakmu juga kelak. Karena ini
buat kebaikan keluargamu juga apabila suami dipanggil pulang duluan oleh Allah,
atau kalau-kalau suami kamu pulang ke rumah lain seperti yang ibu alami ini”
Tia
terdiam mendengar nasehat ibunya, dia tak menjawab lagi perkataan ibunya, tapi
jauh di lubuk hatinya dia tanamkan kuat – kuat nasehat terakhir ibunya
tersebut.
***
1
Tahun kemudian, anak ayah Tia dari Tante Ira telah lahir, seorang anak
perempuan, ayahnya memberi nama Nina, setiap tante Ira bekerja, Nina diurus
oleh ibunya Tia, bahkan tidak jarang Nina dibiarkan tidur bersama Ibunya Tia
apabila Tante Ira pulang terlalu larut karena lembur, dan saat hari libur, ibunya
Tia akan bengong di rumah seperti kehilangan hiburan karena Nina dibawa ke
rumah tante Ira untuk menikmati liburan mereka. Ya… di mata Tia, ayahnya dan
tante Ira hanya mau enaknya saja, hal ini juga membuat Tia dan adik-adiknya tidak
betah di rumah lama-lama karena mereka masih belum bisa menerima sepenuhnya
kehadiran Nina, tidak pernah sekalipun mereka mengajak bermain Nina atau mau
membantu menggendong saat ibunya repot karena sibuk memasak. Berbeda dengan
ibunya Tia, dia merawat Nina dengan tulus, jiwa keibuannya tidak hilang sama
sekali biarpun kehadiran anak itu lah yang menjadi awal hancurnya hubungan ibu
dengan ayahnya.
Hingga
pada suatu hari, Nina yang baru belajar berjalan lolos dari perhatian ibunya
Tia yang sedang memasak di dapur, Nina berjalan keluar rumah dan tertabrak
mobil yang lewat depan rumah. Paniknya ibunya Tia melebihi siapapun, dengan
tergopoh dan baju berlumuran darah dia berlari menggendong Nina menuju rumah
sakit dekat rumah.
Masih
teringat jelas di benak Tia, ibunya pingsan karena terlalu mengkhawatirkan
Nina, dan tante Ira menangis lemas di depan pintu operasi, ayahnya mondar
mandir gelisah.
Pintu
kamar operasi terbuka, seorang dokter keluar tergesa-gesa.
“Disini
ada yang bisa menjadi donor darah? Pasien kekurangan darah lumayan banyak”
Tante
Ira tampak seperti semakin panik dan kebingungan.
“Saya
dok, saya ayahnya, ambil saja darah saya sebanyak-banyaknya, yang penting anak
saya tertolong.” Ujar ayahnya Tia dengan segera. Tia melihat pandangan mata
tante Ira mengikuti langkah ayahnya dan dokter yang tergopoh-gopoh menuju
laboratorium.
Beberapa
menit kemudian, Tia melihat ayahnya bersama dokter yang tadi berjalan keluar dari laboratorium, mata ayahnya
terlihat penuh emosi, dia berjalan cepat menuju tempat tante Ira duduk. Dan
tiba – tiba menarik tante Ira dan menamparnya keras, tante Ira berteriak kecil
kesakitan, Tia terbelalak kaget dengan apa yang diperbuat ayahnya.
“Anak
siapa itu? Jujur kamu!” Ayahnya Tia mencengkram bahu tante Ira.
“Apa
maksudmu, mas? Itu anak kamu” Ujar tante Ira sambil memegang pipinya, ada sorot
ketakutan di matanya.
“Golongan
darahku O dan kamu juga O, tapi bagaimana bisa golongan darah anak itu adalah
B. Tidak mungkin itu anakku! Katakan yang sebenarnya!” Geram Ayahnya Tia penuh
emosi. Tia masih berdiri tanpa bereaksi, layaknya sedang menonton film, dia
sangat menikmati adegan demi adegan di depan matanya, terlebih melihat tante
Ira menangis seperti semakin kebingungan, bahkan ayahnya tiba-tiba menyebut
Nina dengan kata “anak itu”.
“Ak…
Aku…. “Tante Ira tergagap lemas.
“Brengsek!
Ternyata kamu menipuku selama ini hah!” Ayahnya Tia mendorong tante Ira hingga
terduduk. Tangisan tante Ira semakin menjadi. Tia yang tertawa jahat dalam hati
melihat mereka semua, “Karma dibayar kontan!” batin Tia.
“Hentikan
semuanya!” Teriakan geram terdengar dari seorang wanita. Tia hafal sekali suara
itu, ya… Itu suara ibunya yang ternyata sudah tersadar dari pingsannya. Dengan
masih lemas, ibunya berjalan mendekat.
“Apa-apaan
kalian ini? Nina sedang berjuang melawan maut di dalam sana dan kalian malah
meributkan hal yang tidak penting seperti ini???” Sorot mata ibunya Tia penuh
amarah. “Kalau kalian masih ingin ribut, pulang sana selesaikan dirumah!”
“Ini
penting lah bu! Tante Ira ternyata sudah menipu kita semua selama ini” Seru Tia
tiba-tiba karena kesal mendengar perkataan ibunya.
“Diam
kamu! Sekarang tidak ada yang lebih penting selain keselamatan Nina, paham
kamu!” Ibunya Tia menatap tajam ke arah Tia. Seumur-umur baru kali ini Tia
dibentak oleh Ibunya.
“Dokter,
tolong ambil darah saya sekarang. Golongan darah saya sama dengan Nina” Ibunya
Tia berjalan mendahului ke Laboratorium.
“Anak
tetaplah anak, mau itu kandung ataupun bukan jangan pernah kalian sia-siakan.
Pakai hati kalian” Ujarnya saat melewati ayahnya Tia. Ayahnya Tia sangat
terpukul mendengarnya, dadanya sesak penuh penyesalan ke Istri pertamanya itu.
Matanya penuh kesedihan melihat sosok istrinya yang berjalan menjauh, dia baru
menyadari bahwa istrinya itu menjadi jauh lebih kurus, dia membayangkan bahwa
betapa lelahnya istrinya selama ini memasak, mengurus rumah dan bahkan mengurus
Nina, Nina yang entah anak siapa itu.
Tia
meneteskan air mata melihat ibunya,” Tuhan… Bahagiakanlah ibuku di sisa
umurnya”.
*TAMAT*