Selasa, 18 April 2017

BINI MUDA


Pic Source: http://www.harme.in

Di siang yang terik itu, Tia memacu motornya dengan cepat, berkali-kali dia bunyikan klakson ke kendaraan yang ada didepannya, hatinya penuh gemuruh seperti gemuruh angin yang menerpanya. Panasnya siang itu sepertinya mengalahkan panasnya hati Tia saat itu. Sesampainya di Mall tempat dia bekerja, dia langsung menuju gudang untuk menata produk di etalase yang menjadi tugasnya hari itu. Dari cara dia menaruh kaleng-kaleng produk susu balita dagangannya, terlihat sekali bahwa Tia sedang penuh amarah, dia membuang nafas kesal berkali-kali dan bunyi berisik beradunya kaleng yang Tia tata membuat Lala, sang supervisor toko yang notabene sahabatnya Tia mendekatinya.
“Kamu kalau lagi marah ngadem dulu sana ke belakang, tarik napas yang bener dulu,”
“Siapa juga yang lagi marah,” Jawab Tia jutek, Lala mencubit pipi Tia sambil tertawa.
“Lah kalau lagi gak marah kenapa itu kaleng susu kamu adu satu sama lain, kalau penyok pembeli mana mau beli loh,” Ujar Lala sambil menghentikan tangan Tia yang sedang bekerja,”Kamu lagi kenapa? Masih pagi jangan diisi dengan muka ditekuk gitu loh, entar seharian bakal kebawa bete mulu kamu,”
“Huaaa… Gimana gw gak bete coba, La? Masa nyokap gw hamil lagi coba!” Sungut Tia dengan nada  penuh kekesalan.
“Hah?! Nyokap lo hamil lagi? Hahaa… Ya bersyukur dong, Lo mau punya adek lagi, rejeki itu,” Ujar Lala sambil tertawa ngakak, Tia paham sekali maksud tawa Lala.
“Gila lo, nyokap gw umurnya hampir 50 tahun mennn,” Tia menghentikan pekerjaannya dan menyenderkan kepalanya ke tembok,” Resikonya gede hamil di usia segitu dan lagi arghh… Orang tua gw udah punya anak empat, kenapa bisa kebobolan begitu coba? Di usia setua mereka masa mau punya babby lagi?! Bener – bener gak habis pikir gw sama mereka,”
“Huss… Gak boleh gitu lo, anak itu amanah dari Allah, kehadirannya gak ada yang salah mau di usia setua apapun manusia,” Nasehat Lala menenangkan Tia.
“Iya tahu tapi maksud gw bokap aja gw lihat kayak uring-uringan denger nyokap hamil. Kasihan gw ke nyokap, belakangan jadi sering diem melamun, dia seperti menyalahkan dirinya dengan meminta maaf kemarin ke gw karena telat suntik KB katanya. Kesel  juga gw ke bokap, ngapa juga dia marah ke nyokap lah jelas-jelas dia sendiri pelaku utamanya,”
“Sabar… Namanya juga baru kejadian pasti masih pada kaget, nanti juga pada nerima kok biasanya” Lala mencoba mendinginkan Tia.
“Ahh… Entahlah La, gw pusing. Dan yang bikin gw tambah kesal, gw denger slentingan tetangga gw pada ngeledek, biasanya kalau istri udah setua nyokap gw terus kebobolan hamil lagi itu jangan-jangan bokap gw punya istri muda yang lagi hamil juga, ngeselin gak coba?”
“Eh bisa jadi Ti, emang ada yang bilang gitu sih, yakin lo kalau bokap lo “baik-baik saja” selama ini?,” Tanya Lala sambil menggerakkan jarinya sebagai tanda kutip dari pertanyaannya. Tia terdiam mendengar ucapan Lala, sejenak kemudian Tia memukul kepala Lala dengan kanebo yang ada di tangannya.
“Semprulll lo! Bokap Nyokap gw baik-baik aja kok selama ini, rukun-rukun aja mereka dul, gak mungkin itu”
“Haha… Gw becanda Tiaaa…” Teriak Lala sambil berlari cekikikan menjauh dari Tia yang semakin bertambah panas hatinya. Tia menatap Lala sampai hilang dari balik etalase barang dengan bersungut-sungut sendiri, dia melanjutkan pekerjaannya tapi candaan Lala tentang bini muda tidak bisa menghilang dari pikirannya.
***
Malam itu, Tia sengaja duduk di teras menunggu ayahnya pulang kerja, pikirannya masih dipenuhi kemungkinan adanya “bini muda” ayahnya. Ya… Biarpun usianya hampir menginjak kepala 5 tapi secara fisik ayahnya masih terlihat gagah berwibawa dan ayahnya adalah seorang wartawan senior di sebuah surat kabar nasional yang lebih sering berada di luar rumah, tapi selama ini di mata Tia ayahnya adalah sosok yang bertanggung jawab dan sayang keluarga, buktinya setiap ayahnya pergi keluar kota untuk liputan berita, ayahnya tidak pernah absen menelpon istri dan anak-anaknya.
“Kamu belum tidur, nak?” Sebuah suara lembut mengagetkan Tia. Tia menengok, tampak ibunya berdiri di pintu, Tia tidak menjawab tapi justru mengamati ibunya dari tempat dia duduk. Sosok ibu sederhana yang selalu dibalut daster rumahan, dengan badannya yang gemuk khas ibu-ibu, dengan wajahnya yang hampir tidak pernah ber-make up, bahkan seingat Tia untuk pergi kondangan pun ibunya akan tetap sederhana tanpa berdandan. Tia kemudian membayangkan ayahnya disana yang lingkungan kerjanya dipenuhi dengan wanita-wanita modis dan cantik, kening Tia berkernyit saat menyadari bahwa kemungkinan tentang adanya bini muda itu memang mungkin saja ada.
“Hei… kok malah melamun kamu” Ibunya menepuk pundak Tia,” Ayo… Masuk, sudah malam, Tia”
“Eh iya bu, sebentar lagi, Tia mau nunggu ayah”
“Kan ayah kamu lagi ke Bandung untuk 3 hari ini,”
“Loh kok tumben, ayah gak ngasih tahu Tia?” Raut wajah Tia berubah kecewa.
“Ayah udah pamit kok ke ibu, ayahmu mungkin sibuk jadi lupa menelpon kalian, kan lagi ada acara ulang tahun kantor surat kabarnya,”
“Huft… Ya sudah” Tia beranjak dari duduknya. “Ngomong-ngomong ibu masih mual sama pusing?”
“Masih sedikit, tapi gak apa-apa kok, biasalah ibu memang setiap hamil muda kan fisiknya sedikit lemah, nanti menginjak 5 bulan juga sehat lagi,’
“Hamil muda? Lebih tepatnya hamil tua ini mah namanya, hamil di usia tua,” Tia merengut. Ibuya tertawa kecil.
“Ahhh… bu, coba deh di test sekali lagi, mungkin saja salah itu tespeknya,” Tia merajuk, seperti masih tidak bisa menerima kenyataan dengan kehamilan ibunya.
Ibunya kembali tertawa dan merangkul Tia mengajak masuk ke dalam rumah sambil berkata,” Ada-ada saja kamu, orang ibu udah control ke dokter kok dan fix kamu akan punya adik lagi, jadi baik-baik ya jadi kakak,”
“Ahh… Ibu mah, aku malu udah segede ini masih punya adik bayi huhu…” Tia melepas tangan ibunya dan masuk ke kamarnya dengan sebal. Ibunya hanya tersenyum melihat tingkah Tia dan bergegas mengunci pintu.
***
Hari itu, Tia dikenalkan oleh Lala dengan pacar barunya, Doni. Dan untuk merayakannya Tia pun ditraktir makan oleh mereka di sebuah restoran sepulang kerja. Doni tampak membawa-bawa sebuah kamera karena ternyata dia adalah seorang Kameramen di sebuah stasiun televisi swasta.
“Eh bokapnya Tia juga seorang wartawan loh yang” Lala memberitahu Doni.
“Oh ya… Wartawan dimana? Kali aja gw kenal” Sambut Doni.
“Gak mungkin kamu kenal, Don. Bokap gw mah cuma wartawan surat kabar,” Ujar Tia
“Eh… Surat kabar mana? Kemarin gw juga baru aja ikutan ngeliput ulang tahun sebuah surat kabar loh di Bandung”
“Ohh… bokap gw di Fresh Media,”
“Loh iya, itu yang kemarin ulang tahunnya gw liput, nih di kamera gw rekamannya masih ada kok, mau lihat?” Doni tampak antusias memperlihatkan hasil bidikannya, Tia sebenarnya tidak tertarik tapi demi menghargai Lala, dia pun ikut mendekat menonton video liputan Doni. Dalam video itu tampak pesta ulang tahun media tersebut begitu semarak karena ada acara – acara penghargaan juga, dan mata Tia terpaku saat melihat sesosok Laki-laki yang sedang menerima penghargaan the best employee dalam video tersebut. Bukan hanya sosok lelakinya saja yang membuat Tia terkejut, tapi sesosok perempuan yang mendampingi lelaki tersebut juga tak kalah membuat mata Tia terbelalak.Tanpa sadar, Tia merebut kamera itu dari tangan Doni dan mengamati gambar itu lebih dekat. Lala mendekat ke Tia penasaran dengan apa yang Tia lihat.
“Ohh… Kalau itu karyawan-karyawan surat kabar itu yang lagi menerima penghargaan, ada yang lucu nih sama orang yang ini nih” Doni menunjuk salah satu laki-laki dalam video itu,”Jadi orang ini buat ledekan sama MC nya karena ternyata istrinya sedang hamil muda padahal kan bapaknya itu katanya udah tua, ini nih istrinya yang ini, pada ngakak tuh waktu mereka naik panggung,”
“Lala… Itu beneran bokap gw bukan sih?” Dengan suara sedikit gemetar Tia menarik lengan Lala untuk lebih dekat ke kamera,”Tolong, La… Jangan bilang itu beneran bokap gw”
Lala cepat tanggap dan buru-buru memastikan sosok itu, sejenak kemudian dia menoleh ke Tia dengan wajah sedih dan mengelus-elus pundak Tia seperti menguatkan.
“Wah… Jadi beneran itu bokapnya Tia? Selamat ya buat kamu yang mau punya adik lagi” Dengan bodohnya Doni ikutan menepuk pundak Tia dengan nada tulus ikut bahagia.
“Ohya… Ibu kamu cantik ya, selamat juga buat dia” Cerocos Doni masih dengan polosnya.
“Itu bukan nyokap gw tahu!” Tiba-tiba Tia berdiri dengan penuh amarah dan meninggalkan mereka berdua. Doni terkejut kaget dengan reaksi Tia. Lala menyikut Doni dengan kesal, membuat Doni semakin bingung.
“Iishh… Kamu sih!” Lala berusaha mengejar Tia tapi Tia sudah keburu melaju cepat pergi dengan sepeda motornya.
***
Belum sempat Tia memarkir sepeda motornya, tampak Zaki adik Tia yang ketiga berlari menyongsong Tia, wajahnya penuh kecemasan.
“Kak Tia, ayo ke Rumah Sakit, ibu jatuh dikamar mandi tadi, sekarang dibawa ayah ke Rumah Sakit, banyak darah kak tadi, kasian ibu,”
“Kok bisa ibu jatuh?!” Tak kalah kaget Tia mendengarnya, kaki tangannya seketika lemas serasa tidak bertenaga teringat kandungan ibunya.
“Iya ibu tadi lagi nonton berita di tivi, ada ayah masuk tivi, kak”
“Subhanallah ibu… “Tenggorokan Tia tercekat, hatinya hancur seketika saat membayangkan bahwa ibunya pasti sudah tahu tentang ayahnya. Tia kembali memacu motornya menuju Rumah Sakit bersama Zaki. Di sepanjang jalan, pikiran Tia tidak berhenti memikirkan sosok wanita yang mendampingi ayahnya dalam video milik Doni, iya… wanita itu adalah tante Ira, yang tidak lain adalah sepupu ibunya Tia sendiri. Wajahnya memang begitu mirip dengan ibunya, waktu mereka muda di keluarga banyak yang suka bilang bahwa mereka seperti kembar, tapi Tia masih tidak habis pikir bagaimana bisa ayahnya dan tante Ira bersama di acara itu? Apa hubungan mereka sebenarnya? Bagaimana bisa orang – orang di pesta itu menyebut tante Ira dengan sebutan istri ayahnya? Bagaimana bisa orang-orang itu menyebut tante Ira sedang hamil sedangkan sudah menjadi rahasia umum di keluarga besar bahwa tante Ira memang selama ini memilih tidak menikah karena terlalu ambisius menjadi wanita karir? begitu banyak pertanyaan-pertanyaan janggal di benak Tia.
***
Tia berdiri termenung di depan pintu kamar rumah sakit dimana ibunya di rawat, kedua telinganya menangkap dengan jelas suara ayahnya di dalam kamar tersebut.
“Entah bagaimana kejadian persisnya bu, tapi 3 bulan lalu Ira tiba-tiba meminta pertanggung jawabanku atas kehamilannya. Aku sendiri bingung kapan itu terjadi? Dan bagaimana bisa terjadi? Maksudku, kamu tahu kan kantor tempat Ira adalah sponsor iklan terbesar di surat kabar kantorku, jadi sering kali memang aku pergi meliput kegiatan mereka, dan Ira pasti ikut bersama rombongan karena dia memang yang bertanggung jawab disana. Dan ya aku memang sering ngobrol dengan Ira tentang segala macam, bukan hanya soal pekerjaan, apalagi wajahnya mirip denganmu jadi aku enak aja kalau ngobrol sama dia tapi aku tidak tahu kenapa bisa jadi sejauh ini masalahnya, yang jelas Ira menunjukan foto kami berdua di dalam kamar sebuah hotel bu saat dia datang meminta tanggung jawabku” Terdengar ayahnya Tia menjelaskan panjang lebar. Tidak terdengar sama sekali suara ibunya Tia menanggapi perkataan ayahnya.
“Kalau sudah terlanjur begini, gak ada yang aku bisa lakukan selain minta maaf, bu. Maafkan aku untuk semua ini tapi aku harus tetap mempertanggung jawabkan semuanya”
Hening, hanya terdengar isak tangis ibunya di dalam sana, dan air mata Tia pun ikut menetes membayangkan perasaan ibunya didalam sana, dia sendiri tidak tahu harus marah kepada siapa karena sudah jelas sekarang hubungan ayahnya dan tante Ira terbukti benar-benar terjadi.
***
Tiga bulan berlalu, tante Ira semakin menggila sebagai istri muda, tangis penyesalan dan permohonan maafnya kepada ibunya dan keluarga ternyata hanya di awalnya saja, sekarang justru dia sengaja membeli rumah dekat dengan rumah Tia, dengan alasan supaya ayahnya Tia tidak sulit membagi waktu buat dua keluarga. Hal itu membuat Tia dan adik-adiknya muak, ya muak harus melihat setiap pagi ayahnya dan Tante Ira berangkat kerja bersama, sedang ibunya menyiapkan bekal makanan buat ayahnya seperti biasa, kadang dengan muka tembok tante Ira pun meminta dibungkuskan buat dia juga, dengan alasan perutnya yang mulai membesar terlalu lelah untuk bekerja dan memasak sendiri. Mereka seperti tidak memperdulikan perasaan ibunya yang harus kehilangan bayi nya gara – gara kejutan dari mereka berdua, Tia muak melihat ibunya seperti dianggap tukang masak yang digaji setiap bulan saat mereka gajian. Dan entah Tia harus menganggap ibunya bodoh, tegar atau apa karena memilih bertahan dengan situasi seperti itu, bahkan saat Tia dan adik-adiknya mendesak untuk meminta cerai pun ibunya malah marah-marah, dia menganggap ini sebagai ibadah seorang istri terhadap suaminya.
“Dan lagi, kalau ibu memilih cerai, bagaimana dengan sekolah adik-adik kamu? Di usia setua ibu, ibu bisa bekerja apa untuk menghidupi kalian memangnya? Kamu sanggup membiayai semuanya? Kamu sendiri masih keteter dengan kuliahmu, Tia” Kata Ibunya Tia di suatu hari saat Tia mendesak kembali untuk menjauh dari Ayahnya.
“Ibadah seorang istri adalah saat bisa membuat suaminya bahagia, nak. Entah sesakit apapun itu caranya untukmu sendiri, ya… terkadang dalam hidup, kita memang perlu belajar seperti lilin, dia rela membakar dirinya sendiri demi menerangi sekelilingnya, bukan?”
“Bahkan dengan membiarkan suami diambil wanita lain bu??? Wahh… Ini gak bisa diterima akal sehat Tia bu”
“Ya… Semoga kelak kamu akan mengerti keputusan ibu” Ibunya Tia mengusap lembut rambut Tia,”Satu pesen ibu, kelak apabila kamu sudah menikah, usahakan tetaplah bekerja atau mempunyai usaha sendiri, istri bekerja itu menurut ibu bukan lah mengabaikan kodratnya dalam mengurus suami dan anaknya, tapi anggap kamu sedang membantu suami kamu menyiapkan masa depan anak-anakmu juga kelak. Karena ini buat kebaikan keluargamu juga apabila suami dipanggil pulang duluan oleh Allah, atau kalau-kalau suami kamu pulang ke rumah lain seperti yang ibu alami ini”
Tia terdiam mendengar nasehat ibunya, dia tak menjawab lagi perkataan ibunya, tapi jauh di lubuk hatinya dia tanamkan kuat – kuat nasehat terakhir ibunya tersebut.
***
1 Tahun kemudian, anak ayah Tia dari Tante Ira telah lahir, seorang anak perempuan, ayahnya memberi nama Nina, setiap tante Ira bekerja, Nina diurus oleh ibunya Tia, bahkan tidak jarang Nina dibiarkan tidur bersama Ibunya Tia apabila Tante Ira pulang terlalu larut karena lembur, dan saat hari libur, ibunya Tia akan bengong di rumah seperti kehilangan hiburan karena Nina dibawa ke rumah tante Ira untuk menikmati liburan mereka. Ya… di mata Tia, ayahnya dan tante Ira hanya mau enaknya saja, hal ini juga membuat Tia dan adik-adiknya tidak betah di rumah lama-lama karena mereka masih belum bisa menerima sepenuhnya kehadiran Nina, tidak pernah sekalipun mereka mengajak bermain Nina atau mau membantu menggendong saat ibunya repot karena sibuk memasak. Berbeda dengan ibunya Tia, dia merawat Nina dengan tulus, jiwa keibuannya tidak hilang sama sekali biarpun kehadiran anak itu lah yang menjadi awal hancurnya hubungan ibu dengan ayahnya.
Hingga pada suatu hari, Nina yang baru belajar berjalan lolos dari perhatian ibunya Tia yang sedang memasak di dapur, Nina berjalan keluar rumah dan tertabrak mobil yang lewat depan rumah. Paniknya ibunya Tia melebihi siapapun, dengan tergopoh dan baju berlumuran darah dia berlari menggendong Nina menuju rumah sakit dekat rumah.
Masih teringat jelas di benak Tia, ibunya pingsan karena terlalu mengkhawatirkan Nina, dan tante Ira menangis lemas di depan pintu operasi, ayahnya mondar mandir gelisah.
Pintu kamar operasi terbuka, seorang dokter keluar tergesa-gesa.
“Disini ada yang bisa menjadi donor darah? Pasien kekurangan darah lumayan banyak”
Tante Ira tampak seperti semakin panik dan kebingungan.
“Saya dok, saya ayahnya, ambil saja darah saya sebanyak-banyaknya, yang penting anak saya tertolong.” Ujar ayahnya Tia dengan segera. Tia melihat pandangan mata tante Ira mengikuti langkah ayahnya dan dokter yang tergopoh-gopoh menuju laboratorium.
Beberapa menit kemudian, Tia melihat ayahnya bersama dokter yang tadi  berjalan keluar dari laboratorium, mata ayahnya terlihat penuh emosi, dia berjalan cepat menuju tempat tante Ira duduk. Dan tiba – tiba menarik tante Ira dan menamparnya keras, tante Ira berteriak kecil kesakitan, Tia terbelalak kaget dengan apa yang diperbuat ayahnya.
“Anak siapa itu? Jujur kamu!” Ayahnya Tia mencengkram bahu tante Ira.
“Apa maksudmu, mas? Itu anak kamu” Ujar tante Ira sambil memegang pipinya, ada sorot ketakutan di matanya.
“Golongan darahku O dan kamu juga O, tapi bagaimana bisa golongan darah anak itu adalah B. Tidak mungkin itu anakku! Katakan yang sebenarnya!” Geram Ayahnya Tia penuh emosi. Tia masih berdiri tanpa bereaksi, layaknya sedang menonton film, dia sangat menikmati adegan demi adegan di depan matanya, terlebih melihat tante Ira menangis seperti semakin kebingungan, bahkan ayahnya tiba-tiba menyebut Nina dengan kata “anak itu”.
“Ak… Aku…. “Tante Ira tergagap lemas.
“Brengsek! Ternyata kamu menipuku selama ini hah!” Ayahnya Tia mendorong tante Ira hingga terduduk. Tangisan tante Ira semakin menjadi. Tia yang tertawa jahat dalam hati melihat mereka semua, “Karma dibayar kontan!” batin Tia.
“Hentikan semuanya!” Teriakan geram terdengar dari seorang wanita. Tia hafal sekali suara itu, ya… Itu suara ibunya yang ternyata sudah tersadar dari pingsannya. Dengan masih lemas, ibunya berjalan mendekat.
“Apa-apaan kalian ini? Nina sedang berjuang melawan maut di dalam sana dan kalian malah meributkan hal yang tidak penting seperti ini???” Sorot mata ibunya Tia penuh amarah. “Kalau kalian masih ingin ribut, pulang sana selesaikan dirumah!”
“Ini penting lah bu! Tante Ira ternyata sudah menipu kita semua selama ini” Seru Tia tiba-tiba karena kesal mendengar perkataan ibunya.
“Diam kamu! Sekarang tidak ada yang lebih penting selain keselamatan Nina, paham kamu!” Ibunya Tia menatap tajam ke arah Tia. Seumur-umur baru kali ini Tia dibentak oleh Ibunya.
“Dokter, tolong ambil darah saya sekarang. Golongan darah saya sama dengan Nina” Ibunya Tia berjalan mendahului ke Laboratorium.
“Anak tetaplah anak, mau itu kandung ataupun bukan jangan pernah kalian sia-siakan. Pakai hati kalian” Ujarnya saat melewati ayahnya Tia. Ayahnya Tia sangat terpukul mendengarnya, dadanya sesak penuh penyesalan ke Istri pertamanya itu. Matanya penuh kesedihan melihat sosok istrinya yang berjalan menjauh, dia baru menyadari bahwa istrinya itu menjadi jauh lebih kurus, dia membayangkan bahwa betapa lelahnya istrinya selama ini memasak, mengurus rumah dan bahkan mengurus Nina, Nina yang entah anak siapa itu.
Tia meneteskan air mata melihat ibunya,” Tuhan… Bahagiakanlah ibuku di sisa umurnya”.


*TAMAT*