Rabu, 14 September 2016

Love in Silence - Part 3 (Yang Hilang Takan Pernah Kembali)


       Bandar Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II, hari ini.
Aku menatap tiga sosok dalam pantulan dinding kaca yang ada di ruang tunggu keberangkatan, tampak seorang pria dan wanita berdiri mengapit seorang anak laki – laki yang tampak tersenyum lebar dengan kedua tangannya memegang tangan sang pria dan wanita itu, matanya bersinar penuh kebahagiaan, sang pria menyengirkan giginya lucu sambil mengetuk-ngetuk dinding kaca didepannya menunjuk ke arah bayangan anak laki-laki itu.
“Knock knock! Ciapa itu?? Kok rama ada dua? Mana yang anaknya Bapak Dokter nih ya?” Canda pria itu. Segera anak kecil itu memeluk sang pria dengan erat dan kami tertawa bersama. Ya… Tiga sosok ini adalah aku, Alan dan Rama. Hai.. siapa Rama? Rama adalah anak angkat Alan, anak umur 3 tahun yang hanya tinggal bersama neneknya, yang sekarang sudah setahun belakangan ini tinggal bersama Alan.
Hari ini kami bertiga akan terbang ke kampung halamanku, Alan berencana melamarku, setelah mengenalnya selama hampir 1 tahun ini, aku tidak bisa menolaknya saat dia mengutarakan niatnya itu, bagaimana bisa aku menolak pria yang benar – benar telah berhasil membuatku merasakan kembali rasanya jatuh cinta setelah bertahun – tahun hatiku seperti telah mati?. Aku duduk di kursi menelpon ibuku sambil mengamati Alan dan Rama yang bermain uncang – uncang. Ahh… betapa aku bersyukur bisa memiliki Alan yang begitu baik hati dan bisa membuat ceria orang-orang disekitarnya, terutama rama, anak sebatang kara yang hanya tinggal bersama neneknya itu selalu bisa tertawa saat bersama Alan, faktor kasihan yang membuat Alan awalnya membantu kehidupan Rama dan neneknya lama-lama berubah menjadi kasih sayang yang tulus, lebih – lebih saat ayahnya Rama yang konon bekerja sebagai TKI di luar negeri sudah tidak pernah ada kabar sama sekali. Alan memutuskan untuk memboyong mereka untuk tinggal bersamanya, Alan sudah menganggap Rama seperti anak sendiri. Dan aku tidak keberatan sama sekali dengan keputusan Alan tersebut, karena akupun begitu menyukai Rama, anak kecil yang mempunyai mata sendu yang khas, menyiratkan kesepian yang begitu dalam, membuat siapapun yang menatapnya akan merasa ingin memeluk tubuh kecil itu untuk menyayanginya. Aku selalu mengutuk ayah Rama yang telah demikian tega meninggalkan Rama diasuh neneknya seorang diri dan menghilang tanpa kabar, tapi Alan selalu menasehatiku bahwa setiap orang melakukan sesuatu pasti mempunyai alasan tersendiri jadi dia memintaku untuk lebih ikhlas dalam menyayangi Rama karena dia akan menjadi anakku juga sebentar lagi.
“Halo, Esti… Sudah sampai mana, nak?,”tanya ibuku disebrang telepon, suara tua itu terdengar penuh bahagia sejak kemarin mendengar anak perempuannya ini mau pulang kampung untuk dilamar.
“Iya ibu, ini mau ngabarin, Esti baru mau naik pesawat, ibu lagi dimana kok rame banget?,”
“Ibu lagi di pasar ini nak, coba kamu tebak lagi beli apa?,” Nada suara ibuku memancing, aku tersenyum sendiri membayangkan apa yang ibu beli.
“Terong ya?,” tebakku
“Tepat sekali. Ibu mau bikin pecak terong kesukaan kamu,” jawabnya sambil tertawa. Ibuku memang tidak pernah melupakan kesukaanku yang satu ini.
“Aahhh… udah 1 tahun lebih ga makan pecak buatan ibu nih, jadi makin pengin cepet nyampe rumah, ya udah nanti Esti langsung pulang ga mampir-mampir kok,”
“Ya hati – hati ya nak, ibu tunggu,” ibu menutup telponnya, berbarengan dengan Alan melambaikan tangannya memberitahuku bahwa penumpang sudah mulai bisa menaiki pesawat. Aku menenteng tas keperluan susu Rama, sedang Alan menggendong Rama dengan sigap. Aku menjajari langkah Alan dan melingkarkan tanganku di lengannya, dia menoleh ke arahku, aku tersenyum sambil berbisik lirih,” love you more”.
Ibu… PR besarmu kala itu sebentar lagi akan anakmu tuntaskan, pulang membawa calon menantu.
*****
       Hiruk pikuk di rumahku malam ini membuat aku tidak merasakan lelah dengan acara yang dari pagi baru saja aku lewati, acara lamaran berjalan lancar, tanggal pernikahan sudah ditentukan 6 bulan lagi dan rombongan keluarga Alan pun sudah pulang tadi sore, tersisa hanya rombongan keluarga yang dari jauh yang menginap malam ini, Rama tampak akrab bermain dengan keponakan – keponakanku, dia begitu bahagia karena menemukan banyak teman yang seumuran. Aku dan Alan duduk bersama dengan bapak dan ibu sambil mengawasi mereka dari ruang tamu.
       “Nak Alan, bisa ceritakan sedikit mengenai Rama?,”tanya bapakku,”Apa yang membuatmu tergugah untuk mengangkatnya sebagai anak?,”
Alan tersenyum, sambil memandangi Rama yang masih asik bermain, ingatannya melayang ke peristiwa 2 tahun lalu. Dan sejenak kemudian, kami sudah larut dalam cerita Alan tentang Rama.
Alan mengenal Rama  di sebuah rumah sakit kurang lebih 2 tahun lalu, saat itu ada sebuah kecelakaan menimpa seorang ibu muda, korban tabrak lari. Menurut kesaksian ibu muda yang menggendong anak kecil itu berjalan melamun dan tertabrak sebuah mobil. Anaknya tidak luka sedikitpun, sedang ibunya tewas ditempat. Saat itu Alan yang kebetulan sedang bertugas di Poli Anak, ikut memeriksa kondisi anak tersebut. Anak itu hanya ditemani neneknya yang sudah lanjut usia, yang wajahnya tidak berhenti meneteskan air mata selama pemeriksaan si anak, bahkan saat Alan memberitahu nenek tersebut bahwa cucunya baik-baik saja, nenek tersebut masih tetap menangis, ternyata dia menangis kebingungan karena pihak rumah sakit memberitahukan bahwa jenazah ibu dari anak itu sudah boleh dibawa pulang, tapi dia bingung harus dibawa kemana? Dikubur dimana?. Mereka adalah pendatang dan tidak mempunyai saudara sama sekali, tempat tinggalnya hanya sebuah rumah petakan kecil. Alan akhirnya ikut pulang mengantar jenazah perempuan itu dan mengajak warga sekitar tempat tinggal nenek itu untuk bersama – sama mengurus pemakamannya, Alan melihat nenek itu begitu tegar, dia tahu sang nenek menegarkan diri di tengah raganya yang lemah demi cucunya yang belum paham bahwa dia baru saja kehilangan ibunya. Sang nenek memberikan sebuah handphone dan sebuah buku tabungan dan atm ke Alan saat Alan pamit untuk pulang.
       “Nak Dokter, bolehkah nenek minta tolong sekali lagi?,”Alan melihat mata nenek itu berkaca-kaca seperti memohon
      ”Ayah Rama bekerja di Malaysia, bisakah nak dokter memberitahunya tentang yang menimpa ibunya Rama, selama ini nenek hanya tahu cara mengangkat telpon dari ayahnya rama di handphone ini, mata nenek sudah tidak bisa membaca tulisan jadi nomer telponnya yang manapun nenek tidak tahu, terakhir dia menelpon kami itu seminggu lalu, dia memberi kabar bahwa dia ada dikantor polisi, entah kasus apa yang menimpanya tapi dia minta maaf bahwa mungkin tidak bisa menghubungi kami lagi sementara waktu, hal ini pula yang membuat ibunya Rama sering melamun hingga terjadi kecelakaan itu,” Air mata sang nenek kembali bercucuran, dia menghela nafas seperti menahan sesak.
      “Entah dibuku tabungan itu masih ada uangnya atau tidak, tapi ibunya Rama yang biasa mengambilnya ke Bank setelah mendapat kiriman dari suaminya itu untuk kebutuhan sehari – hari. Nenek tidak tahu cara mengambil uangnya, kalau tidak keberatan maukah nak Dokter mengambilkan uangnya setiap bulan buat kami? Setidaknya sampai ayahnya Rama pulang, buku tabungan dan atm nya silahkan nak Dokter yang pegang,” Sang nenek memegang tangan Alan,” Biarpun nenek baru bertemu dengan nak Dokter, tapi nenek percaya nak Dokter orang baik, kami sudah tidak punya siapa – siapa lagi disini, tolong bantu kami,”
       Saat itu Alan tertegun, menatap nenek itu dan cucunya yang sudah terlelap di gendongan neneknya. Alan membuka buku tabungan yang diberikan nenek itu, sejenak tertegun melihat angka yang tercantum di buku itu, angka 100 dengan digit dibelakangnya 6 angka. Alan kemudian mengembalikan buku itu dan atmnya  kepada sang nenek. Nenek itu tampak sangat khawatir.
      “Kenapa nak? Apa ditabungan itu sudah tidak ada uangnya,” Alan tersenyum sambil memegang tangan sang nenek.
      "Uang ditabungan itu biar untuk kebutuhan Rama saja nek kelak, buat kebutuhan sehari-hari nanti Insha Allah saya yang akan bantu nenek, saya akan sering main kesini nek, kebetulan keluarga saya juga jauh dari sini, jadi saya akan anggap nenek dan Rama seperti keluarga sendiri,”
        Nenek itu memeluk Alan dan berterima kasih berkali-kali sambil menangis, malam itu akhirnya Alan memutuskan untuk menginap di rumah sang nenek, dan mencoba menghubungi nomer telpon yang ada di handphone yang diberikan nenek itu, hanya satu nomer telpon yang ada di nomer itu, tapi berkali –kali mencoba nomer itu sudah tetap tidak bisa dihubungi. Tidak ada petunjuk apa-apa selain nomer itu.
       “Begitu pak ceritanya,” Alan mengakhiri ceritanya,”karena itulah nomer itu sampai saat ini masih saya aktifkan, takutnya tiba-tiba ayah Rama meghubungi,”.
      "Subhanallah nak Alan… Semoga Allah membalas semua kebaikanmu ya,”ujar ibuku sambil menatap bangga ke arah Alan.
       "Seneng bisa kenal orang sebaik kamu, Lan” Aku mengusap-usap pelan pundak Alan, tangan Alan membalas dengan menepuk pelan tanganku.
      "Eh... lalu uang di tabungan nenek kamu apain?"
      "Engga aku apa-apain lah, tahu pin atm-nya saja engga," Kamipun tergelak bersama.
       “Alhamdulillah… sepertinya kali ini putri bapak benar-benar mendapat jodoh yang baik,” Bapakku melempar senyum ke arahku,” Semoga tidak mengecewakan lagi seperti yang pertama,”
     “Pak… please, jangan ungkit,”pintaku sambil merengut.
       “Hahaa… setidaknya nak Alan harus tau, bahwa anak bapak ini pernah dikecewakan, sampai-sampai kami mengira dia tidak tertarik lagi pada laki-laki, dan nak Alan sekarang bisa membuatnya bangkit kembali, bapak sangat berterima kasih sekali dan tolong jangan kecewakan dia lagi karena apapun,”
     “Saya janji pak, saya akan menjaga bidadari bapak ini,” kata Alan sambil memegang tanganku. Ahh.. aku merasa menjadi orang paling bahagia hari ini. Terima kasih, Tuhan…

****

     Pagi itu, Alan memintaku menemaninya jalan-jalan pagi, dia ingin melihat matahari terbit dari pematang sawah di desaku, aku ajak juga Rama yang berlari-lari kecil kegirangan, anak itu memang selalu ceria, sepanjang aku mengenalnya selama ini, tidak pernah sekalipun aku melihatnya menangis, pernah aku menyaksikan dia terjatuh dari ayunan dan kakinya lecetpun dia tidak menangis, padahal rautnya kala itu tergambar jelas menahan sakit. Dia seperti mengerti bahwa orangtuanya sudah tidak ada disampingnya, dia terbentuk alamiah lebih mandiri dibanding dengan anak-anak seumurannya.
       “Nak Esti?,” Ada suara lirih yang memanggil namaku dari belakang kami, aku menoleh. Tampak seorang ibu tua tersenyum ragu ke arahku yang memandangnya dengan sedikit terkejut. Deg! Ibunya Rian. Salah satu orang yang aku hindari setiap aku pulang ke kampungku ini. Sejak peristiwa gagalnya pernikahanku dengan Rian, aku selalu menghindari melewati jalan-jalan disekitar rumah Rian karena tidak ingin bertemu dengan orang-orang yang bisa mengingatkanku ke Rian.
      “Apa kabar, nak?,” ibu itu menjulurkan tangannya. Tapi aku malah terpaku tak membalas uluran tangan itu. Alan yang menyadari sikapku segera menyambut tangan tua itu. Ibu Rian tampak salah tingkah.
        “Hai ibu, saya temannya Esti,” Alan memperkenalkan diri sambil tersenyum ramah. Alan menyenggol bahuku untuk memperbaiki sikapku.
      “Ya bu, kabar saya baik seperti yang ibu lihat,” Aku memaksakan senyumku.
      “Syukurlah, selamat ya, ibu dengar nak Esti habis dilamar, apa ini calonnya?,” Ibunya Rian menengok ke arah Alan. Aku membuang muka, entahlah ucapan selamat itu ditelingaku lebih terdengar seperti ejekan mentang-mentang aku baru bisa mendapatkan pengganti anaknya setelah bertahun-tahun. Alan mengangguk tersenyum. Mata ibu Rian menangkap sosok Rama yang aku gandeng, dia menundukan badan dan mengusap pipi Rama lembut.
       “Lucunya… namanya siapa nak?,” tanya ibu Rian, tapi diluar dugaan tiba-tiba Rama menangis seperti ketakutan, aku segera menggendongnya.
        “Maaf bu, mungkin karena baru kenal jadi menangis,”ujar Alan, dia mengusap-usap kepala Rama yang aku gendong,”Kenapa ini anak bapak? Tumben kok nangis hmm…,”
      “Anak Rian juga pasti sebesar ini sekarang, sayang ibu tidak pernah mendengar kabar mereka bertahun-tahun ini,” Ibunya berucap lirih seperti berkata ke dirinya sendiri, tapi entah kenapa di telingaku itu seperti teriakan yang memekakkan telingaku karena aku tidak ingin mendengar apapun tentang Rian, apalagi tentang anaknya. Rian… Akhirnya tiba juga saatnya, dimana saat aku mendengar namamu disebut, hatiku biasa saja.
       “Maaf… saya harus pulang, sepertinya Rama sudah lapar jadi dia menangis,” Aku segera meninggalkan ibunya Rian, disusul Alan yang sedikit kebingungan dengan sikapku yang tidak seperti biasanya selalu ramah ke semua orang. Alan mengejar langkahku.
       “Kenapa tiba-tiba jadi pulang? Kan kita mau melihat matahari terbit?,”  tanya Alan.
      “Lain kali saja,” jawabku singkat. Alan menahan langkahku dengan memegang tanganku.
    “Ada apa sebenarnya? Siapa ibu tadi? Siapa itu Rian?,” Tanya Alan tidak bisa menyembunyikan penasarannya. Langkahku terhenti dan menatap Alan dengan marah.
     “Tolong, jangan pernah tanyakan apapun tentang mereka lagi,” Jawabanku membuat Alan semakin penasaran.
     “Sayang… Ayolah, kita sudah pernah berjanji untuk tidak menyembunyikan apapun bukan? Ada cerita apa yang belum aku ketahui hingga kebencian tampak jelas dimata kamu ke ibu tadi? Aku belum pernah melihatmu seperti itu,”
     "Kamu akan hidup denganku dengan masa depanku bukan? Bukan dengan masa laluku?,” Mataku mulai berkaca-kaca,”Aku membutuhkan cerita itu hanya untuk diam dalam ingatan, bukan untuk aku ceritakan ke siapapun, tolong mengertilah,”
Alan tertegun dengan reaksiku, tapi kemudian dia mengangguk perlahan sambil menepuk pundakku menenangkanku. Kemudian kami berjalan pulang tanpa ada perbincangan lagi.

****
Pagi itu, aku baru saja pulang dari pasar menemani ibuku belanja, Alan segera menyongsongku dengan wajah penuh kecemasan.
“Esti, aku harus kembali ke Riau hari ini juga, tadi ada telpon dari Tari, kalau neneknya Rama masuk rumah sakit terkena serangan jantung,”
“Loh…apa yang terjadi memang?,”
“Entahlah, Tari belum cerita banyak, tapi hari ini juga aku benar – benar harus balik bersama Rama, kamu bisa berangkat menyusul nanti, habiskan liburanmu saja dulu disini,”
“Aku ikut pulang, aku juga khawatir terjadi apa-apa dengan nenek”
Hari itu juga, kami berangkat kembali ke Riau, sisa liburan kami yang masih 5 hari lagi sebenarnya membuat ibuku sedih karena masih ingin berkumpul denganku, tapi beruntungnya mereka bisa mengerti situasiku.
****
Rama menangis melihat neneknya terbaring lemah di ranjang rumah sakit tempat Alan bekerja, neneknya pun tampak berurai air mata sambil memeluk Rama.
“Nak… Ayahmu sudah pulang nak,”isaknya. Aku dan Alan terkejut dan saling pandang.
“Ayahnya Rama sudah kembali nek? Lalu dimana dia sekarang?,”tanya Alan sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.
“Nak Alan, tolonglah ayahnya Rama, tolong selamatkan dia,” Neneknya Rama kembali menangis terisak, bibirnya tampak bergetar seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tercekat oleh nafasnya yang tersengal-sengal sesak. Alan mencoba menenangkan neneknya Rama biarpun dia belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Aku mengambil handphoneku dan menelpon Tari untuk menanyakan tentang yang menimpa neneknya Rama. Akhirnya aku dan Alan mendapat penjelasan, bahwa neneknya Rama awalnya menerima kejutan telpon dari ayahnya Rama yang sudah pulang ke rumah lama mereka tapi tidak menemukan siapapun, lalu neneknya Rama memberitahu bahwa sekarang tinggal dirumah seorang dokter dan menyuruh ayahnya Rama datang ke komplek perumahan dokter dimana Alan tinggal, neneknya Rama sengaja berdiri di pinggir jalan depan rumah supaya ayahnya Rama bisa dengan mudah menemukannya. Namun malang, saat melihat ayahnya Rama di seberang jalan melambai ke arahnya, sang nenek tidak sabar dan segera menyongsongnya tanpa memperhatikan kondisi jalan, ada sebuah mobil pick up melaju kencang, ayahnya Rama berlari dan menyelamatkan sang nenek, tapi dia sendiri yang menjadi korban tertabrak mobil itu dan mengalami luka parah di bagian kepala.
“Ini ceritanya bener-bener kayak drama deh,” ujarTari mengakhiri ceritanya dengan wajah sedih,”Tapi syukurlah Esti, sekarang kamu ada disini, ayahnya Rama sedang membutuhkan darah banyak, golongan darah kamu O kan? Kami butuh donor,”
“Tentu saja, ayo ambil darahku kalau memang cocok,”
“Ayo… kita sambil lihat ayahnya Rama nya dulu,” ajak Alan. Lalu kami bertiga bergegas menuju ke ruangan dimana ayahnya Rama dirawat sedangkan Rama aku tinggalkan bersama suster diruangan neneknya.
“Ini ayahnya Rama,” Tari berkata seraya membuka tirai pembatas tempat tidur pasien di kamar itu. Aku dan Alan mendekat dan betapa terkejutnya aku melihat sosok yang terbujur lemah itu, aku lebih mendekatkan diri lagi untuk memastikan, aku menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya dengan penglihatanku, sosok pria dengan kepala yang di lilit perban dan dengan jambang yang menutupi wajahnya itu, ya… aku tetap mengenali wajah itu, wajah yang bertahun – tahun ini sudah berusaha aku lupakan, wajah pria yang telah meninggalkan luka begitu dalam tanpa penjelasan 5 tahun lalu.
“Si.. siapa namanya, Tar?,”tanyaku gemetar. Aku benar-benar berharap Tari menyebutkan nama lain. Alan melihat ke arahku, dahinya berkerut melihat perubahan mukaku.
“Namanya Rian, kata nenek,” Tari dengan enteng menjawabnya, padahal aku baru saja seperti kejatuhan godam berat di dadaku mendengar jawabannya. Tiba-tiba aku merasa melayang sejenak dan tubuhku lemas, tidak salah lagi, itu dia. Alan segera tanggap merangkul tubuhku sehingga tidak sempat jatuh.
“Kamu tidak apa-apa?,” tanya Alan khawatir.
“Ini tidak mungkin,” ucapku lirih,”tidak mungkin,”
“Tari, Esti sepertinya butuh istirahat dulu, dia mungkin kelelahan karena baru saja menempuh perjalanan jauh,” Kata Alan cemas, sambil memapahku keluar ruangan.
“Lah… lalu donor darahnya bagaimana? Orang ini butuh segera,”
“Donor darah?,” Aku tiba-tiba seperti tersadar, dan mempunyai kekuatan kembali,”Aku tidak akan mendonorkan darahku untuk dia, Tari!,” Suaraku tiba-tiba penuh kebencian dan berlari meninggalkan ruangan itu. Alan mengejarku, meninggalkan Tari yang bengong tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

****
Aku duduk dipinggir danau taman Rumah Sakit, masih tidak percaya dengan semua yang terjadi, Rian adalah ayah Rama??? Ini gila, benar – benar gila! Airmataku menetes tak terbendung mengingat semuanya. Selama ini aku sudah menghindari mati-matian untuk menjauh dari Rian, sejak dia menggagalkan pernikahan kami 5 tahun lalu, aku sengaja jarang pulang ke kampung supaya tidak mendengar kabar apapun darinya, aku menyibukan diri dengan bertugas di daerah yang jauh dari rumah, bahkan aku memilih tugas di Riau ini pun karena aku menghindari kemungkinan bertemu Rian yang katanya tinggal di Papua? Ya.. bukankah kata sepupunya waktu itu Rian di Papua? Tapi kenapa sekarang dia dan keluarganya ada ditempat yang sama denganku?. Aku makin terisak mengingat ternyata aku justru ikut mengurus anak Rian dan Mira selama ini. Ya… Rama yang selama ini aku sayangi ternyata anak mereka? Ohh… Tuhan, bagaimana mungkin ini bisa terjadi?
“Kamu baik-baik saja?,” Suara lembut Alan mengagetkanku.
“Aku ingin sendiri dulu, Lan,” sahutku sambil mengusap air mataku.
“Aku sudah tahu semuanya, dia Rian-mu yang dulu kan?,” Alan duduk disampingku,”Bapak sudah menceritakan semuanya saat kamu pergi ke pasar dengan ibu kemarin, dan melihat reaksimu tadi saat mendengar nama Rian yang Tari sebut, aku langsung tahu itu pasti dia,”
“Kenapa Tuhan memberiku permainan seperti ini, Lan? Terasa begitu menyakitkan mengetahui kenyataan ini,”
“Sekuat apapun kita menghindar, jika Tuhan sudah berkehendak, akan begitu mudah bagiNya membelokanmu,” Ujar Alan menasehatiku,” Jadi, hadapilah…,”
Mendengar kata-kata Alan, aku kembali tergugu, Alan memelukku, dia menepuk-nepuk bahuku mencoba menenangkan dan aku semakin menangis sejadi-jadinya.
****
Hari sudah menjelang sore, aku masih terduduk sendirian memandangi kilauan air danau yang terpantul sinar matahari yang sudah mulai memerah.  Alan membiarkan aku sendirian untuk menenangkan diri, dan benar saja, sesakku perlahan sudah sedikit berkurang.
“Nak Esti…,” sebuah suara tua memanggil namaku. Aku menoleh, tampak olehku neneknya Rama berjalan mendekat dan duduk disampingku. Nenek menatap sedih mataku yang sembab, aku menunduk. Tari pasti sudah cerita ke nenek kalau aku tidak bisa mendonorkan darahku.
“Maafin saya nek saya ga bisa,” jawabku lirih.
“Tapi Alan sedang mencarikan donor yang lain kok nek, nenek tenang saja, dia akan baik-baik saja,”
“Nenek kesini bukan mau menanyakan itu nak Esti, itu hak nak Esti kalau nak Esti tidak mau membantu nak Rian. Tapi ada satu cerita yang nak Esti harus tahu tentang nak Rian selama ini,”
Aku menoleh ke arah neneknya Rama,” Cerita apa, nek?”
“Kalau ada orang yang paling baik yang nenek kenal selain nak Alan, dia adalah nak Rian, selama ini dia banyak mengorbankan segalanya demi menyelamatkan orang lain,”
“Maksud nenek?,”tanyaku tidak mengerti.
“Nenek yakin selama ini nak Esti pasti tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan nak Rian dan nak Mira,” Neneknya Rama menghela nafas berat, ”Sebenarnya Rama bukanlah anak kandung nak Rian,”
Aku terkejut bukan main mendengar kata-kata neneknya Rama.
“Ya… nenek selama ini bekerja di rumah orangtua nak Mira sejak nak Mira masih kecil jadi nenek tahu betul apa yang terjadi. Nak Mira adalah korban pemerkosaan dan dia hamil karena peristiwa itu,” Neneknya Rama menghela nafas sebelum melanjutkan ceritanya.
“Nak Rian adalah sahabat dari kecil nak Mira, nak Rian menikahinya untuk menyelamatkan nak Mira yang mau bunuh diri pada waktu itu. Nak Mira hampir stress sejak dia mengetahui dirinya hamil, dia sering mengamuk dan membuat keluarga malu dan mengusirnya, hingga akhirnya nak Rian membawanya pindah ke Papua, nenek ikut mendampingi karena nenek sendiri memang sudah sebatang kara, disana nak Rian ikut bekerja dengan temannya. Stres nak Mira bukannya sembuh tapi malah semakin menjadi, apalagi sejak Rama lahir, hampir setiap hari dia membuat onar dilingkungan, dia hampir membakar diri dengan membakar rumah kontrakan yang kami tinggali, nak Rian harus mengganti rugi ke pemilik kontrakan waktu itu, dia sebenarnya hanya suami di kertas tapi dia bertanggung jawab sepenuhnya dengan kehidupan nak Mira. Dia banyak berhutang ke bank, tapi dia tidak pernah mengeluh. Kami pindah ke Riau karena nak Rian dijanjikan bekerja oleh temannya, tapi cuma sebentar sudah keluar, dia memutuskan pergi keluar negeri mengingat hutang yang harus dia tanggung dan juga nak Mira yang harus kontrol rutin berobat, nak Mira bisa normal asalkan obatnya rutin dia minum. Mendengar kabar bahwa nak Rian dipenjara di Malaysia, nak Mira berubah menjadi murung lagi, sampai kecelakaan itu merenggut nyawanya, mereka adalah orang baik tapi nasib mereka sungguh malang,” Neneknya Rama terisak menceritakannya. Aku terpaku mendengar semuanya. Jadi Rian melakukan semua ini demi menolong Mira?, aku pikir dia bahagia selama ini ternyata dia jauh lebih menderita dariku. Aku seperti tidak percaya mendengar semua ini.
“Kenapa Rian tidak menceritakan semuanya dari dulu, nek?, kalau dari dulu saya diberitahu mungkin saya tidak semembenci ini,”
“Nenek tahu betul perasaan nak Esti selama ini, tidak mudah memang memaafkan, apalagi setelah mendengar ini pasti nak Esti merasa dikorbankan oleh nak Rian demi nak Mira. Tapi percayalah, itu semua karena nak Rian percaya nak Esti masih bisa mendapat kehidupan lebih baik, sedangkan nak Mira? Kehidupan dia sudah hancur. Bagaimanapun nak Esti lebih beruntung dari nak Mira, jadi nenek mohon maafkanlah mereka berdua,”
“Apa nenek tahu, betapa saya sangat mencintai Rian? 8 tahun saya menjalin hubungan dengan Rian, tidak mudah memaafkan saat tiba-tiba saja kita dikecewakan dengan cara yang sadis seperti yang saya alami”
“Tahukan kamu, nak? Salah satu cara untuk meng”indah”kan hidupmu adalah memaafkan, karena memaafkan adalah cabang mencintai yang paling indah,”
Aku menatap neneknya Rama mendengar kata-katanya, airmataku kembali menetes, semakin lama semakin deras, dan aku kembali menangis dipelukan neneknya Rama begitu mengingat kondisi Rian, kali ini aku meraung kencang meluapkan perasaanku yang tidak tergambarkan, jauh dalam hati kecilku aku tidak bisa bohong bahwa aku sangat sangat merindukan Rian, ada satu ruangan yang telah Rian tinggali selama ini dan tidak bisa aku singkirkan meski Alan menempati ruang hatiku sekarang.
“Nekkk… Rian kritis! Alan belum kembali juga” Tiba-tiba teriakan Tari mengagetkan kami. Mendengar nama Rian aku segera berlari ke arah Tari.
“Ambil darahku, Tar, ambil sebanyak-banyaknya yang penting Rian selamat,”
Tari kaget melihat perubahan sikapku, aku segera menariknya berlari ke laboratorium untuk mendonorkan darahku. Sejurus kemudian aku mondar-mandir didepan ruang operasi gelisah menunggu Rian yang sedang diambil tindakan, neneknya Rama tampak lemas duduk disamping Rama yang belum begitu mengerti. Sejam kemudian, pintu ruang operasi terbuka, seorang Dokter menghampiri kami. Aku buru-buru mendekatinya.
“Gimana operasinya, Dok?,” tanyaku penuh kecemasan. Sang Dokter menghela nafas panjang dan menggelengkan kepalanya.
“Maafkan kami, kami sudah berusaha semampu kami, tapi pendarahan di otaknya terlalu parah, kami tidak mampu menyelamatkan saudara Rian,”
Seketika aku merasa duniaku berputar, semakin lama semakin cepat, dan brukk! Duniaku tiba-tiba gelap.

****

     Aku tersadar dan mendapati diriku terbaring lemah di ranjang rumah sakit, Alan tampak setia disampingku memegangi tanganku. Entah berapa lama aku pingsan, tapi ingatanku segera melayang ke Rian.
     “Rian… Rian... aku harus menemui Rian,” aku berusaha bangun tapi badanku terasa lemas sekali. Alan menahan tubuhku dan mencegahku supaya tetap beristirahat.
     “Alan… tolonglah aku, beri aku kesempatan untuk bertemu Rian sekali lagi, tolong bawa aku ke Rian,” Aku benar-benar memohon ke Alan. Alan tampak tidak tega melihat kondisiku. Dia mengangguk dan memapahku perlahan ke ruangan Rian berada.
     Di ruangan itu, aku melihat sesosok tubuh yang sudah terbujur kaku ditutupi selimut putih, aku melepas tangan Alan dan berjalan sendiri dengan tertatih kearah sosok itu, tanganku gemetar membuka selimut di depanku, wajah didepanku itu terpejam dengan seutas senyum tergambar diwajahnya. Aku menyentuh wajah itu perlahan.
    “Rian… ,” Suaraku lirih memanggilnya, aku mendekatkan wajahku ke wajah itu mencoba meyakinkan diri lagi, bentuk mata itu, hidung itu, rahang itu, bibir itu… iya itu kamu, ian… memang benar itu kamu, aku memeluk wajah itu erat-erat, aku menciuminya dan berusaha membangunkannya.
     “Rian… ini aku, Esti. Bangunlah…,”tangisku.
     “Demi aku kali ini bangunlah, Riannnn! Aku merindukanmu, sangat sangat merindukanmu,” Aku berteriak histeris sambil menggoyang-goyangkan tubuh itu. Semua yang di ruangan hanya bisa terpaku melihatku.
      Alan tiba-tiba merasakan sesak didadanya melihatku, ada sesuatu yang basah di sudut matanya, "yang pertama memang akan selalu menjadi yang pertama".

      Masa lalu yang tidak terselesaikan akan selalu menemukanmu kembali, entah itu cinta atau kebencian (Doctors -2016)

****