Sabtu, 16 September 2017

We Deserve to be Happy



Ada pesan masuk:
Bee... Aku mergokin mereka dirumahku sendiri hari ini, apa kamu tetap menyarankanku untuk tetap bertahan??? Maaf... Kali ini aku sudah gak bisa.

Deg!
Ahh... begitu banyak cerita masuk dari teman-teman sendiri belakangan ini, dan saran saya tetap sama: Don't divorce! Don't divorce! Don't divorce!.

Diatas adalah curhatan awal tahun lalu, dan kemarin ada chat masuk: "Aku sudah resmi bu, putusannya sudah keluar"

Menyedihkan buatku saat kemudian kalian hanya akan saling memandang tanpa saling mengenal. Dan tetap saja ada tanya dalam hatiku, ini tentang waktu yang tak lagi memberi kesempatan atau masing-masing sudah tak saling ingin memperjuangkan?

Ahh... Sudahlah, kadang memang kita harus mengikhlaskan sesuatu, bukan karena tak sayang tapi melainkan karena kita tahu ada sesuatu yang memang tidak bisa dipaksakan. Apapun jalan yang kalian tempuh, satu hal dariku, kalian semua berhak bahagia.

*peluk jauh dari sahabatmu ini*

Catatan:
Yang paling aku takutkan adalah mampu menasehati seseorang tapi aku sendiri lalai dalam menjalankan nasehat tersebut. Mianhe (+_+)

Hanya Untuk Saling Kenal, Bukan Saling Tinggal



Pada akhirnya yang bisa kulakukan hanya memandangimu dari jauh, semua orang terlihat lebih dekat denganmu hingga aku merasa tidak ada ruang untukku masuk.

Aku tahu, tidak semua penyakit ada obatnya, begitu juga dengan rindu. Tidak semua rindu ada penangkalnya, tapi entah kenapa aku masih begitu bodoh tetap disini.
Kau tahu, setiap hari aku melarikan diri dari diriku sendiri, menyumpal telinga dengan puluhan lagu dan ditemani segelas kopi dingin kemudian menyibukan pikiran dan mataku dengan apa saja yang terlihat didepanku, laptop, handphone, tv, dan apapun yang bisa membuat mataku bergerak, aku hindari pandangan mati seperti tembok, langit-langit kamar bahkan kegelapan luar, karena setiap mataku berhenti pada sesuatu yang kosong, aku kembali berhalunisasi seperti merasa melihatmu. Dan aku merasa kehilangan banyak hal dari diriku.

Kau mungkin bisa menghindari ragaku, tapi apa kau disana benar-benar bisa menghindari rindu itu? Aku tahu, biarpun kita sudah bertukar pesan ribuan kali, tapi hal itu tetap tidak bisa mendekatkan kita sejengkal pun. Ya... Mungkin pertemuan kita hanya untuk saling kenal, bukan saling tinggal. Tapi ketahuilah, bagi yang terlanjur mencintai, pergi bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi melupakan. Jangan mudah pergi saat hati sudah terlanjur nyaman.

Ah... Setidaknya jika hatiku kelak berantakan lagi, aku bisa membaca cerita ini dan mengingat, dalam satu hari dihidupku, aku pernah bahagia bersamamu. Mengingat ini saja sudah cukup menenangkan buatku.

*Rindu*

Kamis, 17 Agustus 2017

Bisakah Kau Bayangkan Rasanya jadi Aku?


AKU MAU JADI PACAR KAMU, BUKAN ISTRIMU

Seorang Istri menemukan Chatt mesra Suaminya di ponsel Suaminya yg ketinggalan dirumah.
Membaca setiap Chatt nya dengan perasaan yg gak bisa dijelaskan seperti apa dan menangis dalam diamnya sambil terus membaca.
Lalu Dia mandi dan kesalon menghabiskan waktunya seharian disalon karena ingin membuat kejutan untuk Suaminya.
Mengabaikan telepon dari Suaminya yg meneleponnya berkali-kali ke Ponselnya, juga tidak menjawab Chatt Suaminya dengan meminjam hp temannya untuk mengirimkan hp Suaminya melalui gojek ke kantornya.
Malam pun tiba ...
Suami pulang kerumah dan kaget melihat kondisi rumah yg berantakan tapi melihat Istrinya Cantik dengan dress seksi yg dipakainya
Dengan bingung Suami bertanya 
Kamu Kenapa ? 
Dan dijawab dengan suara manja Istrinya " Aku mau menjadi Pacar kamu aja selama sebulan ini" .
Suaminya makin bingung dan langsung mencari hp yg ketinggalan tadi pagi
Hp ketemu dalam kondisi sudah lowbatt dan tiba waktunya buat makan malam Dia pun bertanya Istrinya masak apa hari ini 
Tapi Istrinya tersenyum dan mengajak Dinner diluar.
Karena lapar Diapun langsung mengiyakan ajakan Istrinya dan dimobil Istrinya minta Dinner di Resto Steak yg terkenal mahal dan enak dimana biasanya sang Istri lebih memilih tempat yg Ekonomis karna uangnya bisa digunakan untuk kepentingan lain.
Setelah itu Mereka pun pulang tapi lagi2 Suami dibikin bertanya tanya dengan apa yg dilakukan Istrinya karna mulai malam ini mereka pisah kamar, Istrinya mengulang lagi keinginannya untuk menjadi Pacarnya selama sebulan dan karna pacar Mereka harus tidur terpisah.
Hari berganti tak terasa sudah seminggu
Rumah makin kotor tidak dibersihkan, tidak ada lagi sarapan pagi yg disiapkan untuknya bahkan untuk kopipun dia bikin sendiri 
Baju kotornya numpuk di mesin cuci dan tidak adalagi ucapan hati2 dijalan ya pah yg selalu diucapkan istrinya ... Diapun pergi dengan kondisi pintu kamar istrinya masih terkunci
Tapi istrinya perhatian lewat chatt menanyakan dia sudah lunch atau belum dan mengajak kencan nonton film terbaru dengan janjian di bioskop tempat suaminya juga nonton bareng selingkuhannya
Ketika ketemu Istrinya tampil sangat Cantik karna habis nyalon dulu dan wangi parfum yg sama yg dipakai selingkuhan suaminya
Yups dari chatt di hp sang istri tau apa parfumnya, dimana salon perawatannya, karena selingkuhan suaminya meminta di jemput disalon itu dan minta dibelikan parfum merk tersebut pada suaminya juga makan di resto steak terkenal dan bioskop tempat mreka nonton skarang
Suaminya makin lama pun makin menyadari perbedaan sikap istrinya dan lagi2 menanyakan kamu kenapa ?
Tapi selalu dijawab dengan " Aku mau jadi pacar kamu aja sambil tersenyum
Pada minggu ke 2 suaminyapun sudah merasa tidak nyaman dengan perubahan istrinya dan mengajak istrinya bicara karna rumah semakin kotor dan anak2 mreka sebentar lagi slesai liburan dirumah neneknya 
Cucian baju kotor numpuk bahkan sudah setengah pakaian dilemari yg pindah ke mesin cuci menumpuk di sana
Tidak ada lagi aroma masakan tiap pagi atau malam sepulang dia kerja yg disiapkan istrinya
Dia menyatakan keberatan dengan sikap istrinya yg lebih suka kesalon dalam 2minggu ini dan knapa setiap ditanya perubahan sikapnya istrinya hanya menjawab "aku mau jadi pacar kamu aja"
Dengan santai istrinyapun menjelaskan seorang pacar tidak menyiapkan sarapan juga makan malam buat mreka jadinya tidak bau dapur saat kmu berangkat dan pulang kerja
Tidak membereskan rumahmu juga tidak mencuci , setrika dan membereskan lemari pakaianmu juga tidak mengurus anak2mu apalagi memikirkan untuk menghemat uangmu
Jadi punya banyak waktu untuk merawat dirinya disalon karena gak harus mengurus hidupmu
Bisa tampil cantik dan wangi didepanmu karna pacar berbeda dengan istri
Aku mau menjadi pacarmu saja bukan istrimu seperti prempuan yg chatt denganmu yg kamu bilang lebih perhatian dari aku , lebih menarik dan selalu wangi saat bertemu denganmu dan kamu nilai lebih baik padahal dia hanya melakukan sedikit hal saja untukmu dibanding apa yg aku lakukan untukmu dan hidupmu juga anak2mu
Pakai logikamu dalam menjalani hidup 
Kalau kamu ingin aku seperti pacarmu itu sediakan aku 2 PRT untuk membantuku 

Note :
Hai lelaki jangan suka bandingin istri kalau ngasih uang bulanan aja masih pas-pasan
Apalagi sampe selingkuh
Banyak2 bersyukur jika istrimu wanita yg baik dan sudah mengurus hidupmu dengan baik.

Share tulisan dari fb: Nurmala Ulfah

Cintaku Terhalang Si Otong

pic source: google

Begini:
Saya itu orang yang ga begitu suka nasi padang, kalau warteg, tukang bakso, pecel lele atau tukang nasgor pada nutup baru lah saya mau beli nasi padang, ga suka bukan berarti ga doyan loh ya, doyan saya dengan nasi padang, cuma entahlah nasi padang itu buat saya suatu makanan yang baru dilihat saja sudah ngenyangin, tahu kan? lauknya apa saja ditumpuk jadi satu dengan kuah-kuah kuningnya yang cerah ceria dilihat mata 😸, dan saya akan merasa bersalah kalau makan terus ga kuat ngabisin porsinya, bukan salah kuahnya sih kesalahan ada di saya saja yang kenapa sejak kecil ga suka masakan yang berkuah-kuah, terutama yang bersantan kuning (kalau ga terpaksa banget, saya lebih suka makan cukup dengan sambal + kerupuk),  ga tahu juga ya, saya seperti punya problem dengan makanan yang berwarna kuning, menu mie goreng juga kalau terlalu kuning (kaya ga ada kecapnya) itu pasti saya ubek-ubekin dulu tambahin kecap biar redupan dikit warnanya, kalau kuning cerah begitu buat saya seperti mie itu melotot ke saya dengan jutek bikin saya gimana gitu mau makannya (lebay? Ya mungkin, itu saya genahan koh 🙈.

Ceritanya saya tiba-tiba jatuh cinta nih, sama siapa? Kayak apa? Seganteng jeha kah? (Nah tahu Je ha ga? Itu.. tuh... si cool yang lagi main drama 'The K2" yang lagi saya gandrungi 💋 yang belakangan mukanya sering banget jadi DP di BBM saya 😸), etdah ngomongin makanan kenapa jadi melenceng ke drakor ini hahaa... back to topic, ya saya tiba-tiba jatuh cinta pada 1 menu di RM Padang deket tempat tinggal, ada menu namanya ayam goreng cabe ijo 😋 asli nagihhh banget, kebetulan juga porsi sambal ijo nya ngalahin warna kuning kuahnya, jadilah saya doyan, pokoknya itu abangnya ga tanggung - tanggung namplokin sambelnya deh. Besoknya beli lagi, lagi, dan lagi. Yang dipesen cuma itu itu terus menunya, ga pernah ganti, ampe abangny hapal, kalau pas dateng itu ayam yang pakai baju ijo abis, saya ngacir pergi ga jadi beli hihii... 

Ya saya mulai bersahabat dengan RM. Padang itu, cumaaa... ternyata memang dalam dunia percintaan ada saja kerikilnya, nah dalam kisah cintaku dengan si ayam ijo ini, muncul lah satu tokoh, sebut saja namanya si otong, bocah seumur anak SMA paling, yang gayanya slenge'an, cengar cengir ga jelas, dengan anting ring besi (maaf) ngglambir-glambir ga jelas ditelinganya, dengan kalung tali item yang (dimataku) hampir nyekek lehernya, kerjaannya entah apa, yang jelas tiap lewat RM. Padang itu dia selalu lagi nangkring di atas motor ngeliatin orang-orang lewat dengan wajah penuh kebahagiaan. Saya mulai sebal ke si otong ini saat setiap saya masuk ke RM Padang itu dia suka ngagetin karena ujug-ujug berdiri di belakang saya (kondisi pemesan adalah antri berdiri), saya pikir awalnya ini bocah mau minta-minta atau apa ternyata tidak, emang dia iseng aja dengan pertanyaan-pertanyaan yang menurut saya gak penting:
 "wahh... menu itu lagi mba?"
"hai biru... ," (kalau saya lagi pakai baju biru)
"Hai hitam...
"Hai pink...
 "Wah itu namanya ya?" (Dia baca ID card yang masih saya pakai, tahu kan busway sekarang mau keluar halte saja harus pakai kartu, itulah kenapa gantungan itu standby di leher saya, males buka-buka dompet cuma buat bolak balik ambil kartu busway). 
Belakangan bahkan kalau lihat saya baru mau belok masuk ke RM itu, dia yang lagi ngobrol sama temennya langsung sigap berdiri dari motor dan langsung masuk ke dalem "Bang, nasi plus ayam cabe ijo buat pelanggan kita ini, gak pake lama ya kasian udah cape kerja nih dia, nasinya sama ayamnya jangan dipisah, entar kangen lagi. Nyengir juga kadang denger celotehannya, si abang yang jualan juga ketawa ketiwi akrab sama si otong ini, paling dia suka bilang abaikan saja mba, dia mang begitu ke semua cewek. 
Saya jarang tanggepin, cuek aja nganggep dia seolah-olah ga ada, tapi tetep sopan aja, karena dia juga sebatas itu doang, gak sampai macem-macem, prinsipnya anda sopan saya segan, anehnya ya dia itu ngikutin berdiri di antrian belakang saya, rautnya ceria aja biarpun ga pernah saya tanggapin, saya keluar ya dia ikut keluar juga lalu duduk lagi di motor sambil teriak biasanya "hati - hati ya mba, tetap jalan yang lurus, jangan belok-belok hatinya, ada got itu".. (konyol). 

Suatu hari, pas saya udah jalan agak jauh habis beli makan disitu, tiba-tiba ada yang manggil-manggil kenceng:
"Embak.... embakkkkkk!! Jangan pergi lo!"
Saya kaget dong nengok ke belakang, itu si otong ngacung-ngacungin tangan, kayak orang ngajak berantem dari jauh lari kenceng banget ke arah saya kayak kesetanan gitu, saya celingukan kanan kiri lah dijalan itu yang lagi lewat saya doang, nih si otong berarti manggil saya kah? feeling satpam saya langsung berdiri dong, segera saya melipir loncat ke warung yang kebetulan pas lagi saya lewatin, saya langsung pura-pura beli minum, pikir saya di warung banyak bapak-bapak, kalau si otong macem-macem bisa teriak minta tolong. Si otong bener-bener ngejar saya loh ternyata, dia ngos-ngosan sampai di warung, sedikit jiper benernya saya lihat si otong begitu, saya mikir apa saya ada yang salah ke dia?
"Si embak! Dibilang berhenti ya berhenti dong," mukanya serius sambil ngos-ngosan, saya langsung sembunyi di belakang ibu yang punya warung.
"Iihh... ibu tolongin, ini orang kenapa sih?," raut saya kaget plus sedikit ketakutan asli. Ternyata si otong ngapain coba tebak? Dia ngacungin kantong plastik.
"Nasinya ketinggalan ini, mbak'e," Raut seriusnya ilang berganti nyeringai lebar.
"Kaget ya? Hahaaa... yes... yes... berhasil bikin kaget orang," dia ketawa ngakak. Orang-orang di warung juga pada ngakak. Ggrrr.... si Otong!!! Kalau adek saya itu bocah udah tak bejeg-bejeg penginnya. Gila bocah bau kencur umur baru kepala 1 berani-beraninya ngerjain emak-emak kepala 3, ga ada hormatnya dia sama seniornya cckk... ckkk... 

Sejak kejadian itu, saya jarang mampir ke RM itu lagi, tapi setelah hampir 2 minggu lebih, tadi kangen si ayam ijo, mampir lah ceritanya. Si otong kayanya maskot nya tuh rumah makan deh, dia selalu ada aja di depan RM, ngeliat saya masuk dia ngintil di belakang saya.
"Abanggg... biasa bungkus ga pakai lamaaa buat si nona manis"
"Ibu, bukan nona," ujar saya," saya punya anak hampir seumuran sama kamu,"
"Oopss... ok embak, eh emak," 
Saya cuma nyengir karena si otong ga berubah juga, feelingku bilang si Otong ini bukan orang jahat, cuma bocah iseng aja karena ga ada kerjaan kali. Setelah bayar saya buru-buru pergi. Sudah hampir nyampe rumah, ujug-ujug ada motor yang dengan songongnya berhenti mendadak malangin jalan saya, kaget dong, lebih-lebih setelah lihat lagi-lagi si otong orangnya, sungut saya langsung berdiri. Pesenanku ga ketinggalan kok, mau apa ini bocah coba?

"Ada apa ini?" Tanya saya.
"Bagi duit mak," kata si otong dengan pengangas pengenges diatas motornya.
"Tolong sopan ya kamu," Saya mulai melotot ke arahnya.
"Bagi sih mak," Si otong ndableg.
"Kalau mau duit itu kerja, bukan minta. Sayang banget sih bocah masih muda udah berani malakin orang tua," Sungut saya kesal karena ga suka cara si Otong yang mulai kurang ajar.
"Bagi duit pokoknya bagiii... buat beli eskrim," Si otong akting merajuk bikin saya bener-bener  mulai enek lihat mukanya. Karena ga mau berlama-lama, saya putuskan mau ngasih dia. Saya buka tas saya mau ambil dompet, tapi loh... dompet saya dimana? Saya ubek-ubek tas saya, ga nemu juga. 
"Nyari ini mak?," Saya noleh, Si Otong dengan cengirannya yang menyebalkan ngacungin dompetku.
"Lah kok bisa di kamu?" 
"Ketinggalan di warung, mamakeee.." Si otong nimpukin dompet itu ke bahuku. 
"Pikun sih pikun mak, jangan kebangetan juga. Beli nasi dibayar tapi nasinya ga dibawa, ini lagi dompet pake ditinggal-tinggal, coba cek potonya ada yang ilang ga? Haha..."
"Ohya ngomong-ngomong,  yang bikin sambel ijo kesukaan emak di warung itu aku loh, gini-gini aku kokinya mak disana,"
"Huaa... Otongggggg.... 😭😭😭 makasihhhhh,"

Note: Hanya karena kamu merasa benar, bukan berarti orang lain salah. Benar atau salah itu tergantung dari sudut mananya kita menilai, because everything happens for a reason ☺😇

Tulisan ini saya dedikasikan buat si Otong yang sudah menyelamatkan dompet saya. Dan poto yang saya tekuk masih kok, ga ilang 😊

Teruntuk kamu, "Orang biasa yang telah membuatku jatuh dan cinta" 💋


Bukankah kita pernah sama-sama sepakat bahwa point mencintai itu terletak pada rasa nyaman, bukan pada fisik? Untuk itulah hati ini masih disini untukmu, hati yang telah dipenuhi rasa yang membuat kita saling ketergantungan, rasa yang selalu bisa membuatmu heran karena kamu sendiri bahkan tidak bisa menjabarkannya dengan kata apapun. Lalu mengapa kamu pada akhirnya pergi?

Teruntuk kamu, yang terdalam.
Pasti kamu bosan mendengar maafku kembali, tapi apalagi yang bisa dilakukan orang yang bersalah selain minta maaf?
Tentangmu, sudah jauh mimpiku, tak mungkin tergapai lagi, betapa inginku sekalipun, meskipun ini juga inginmu sekalipun. Sebodoh-bodohnya kita saat tenggelam dalam rasa nyaman yang salah, bukankah sudah sepatutnya kita harus segera mengangkatnya pergi? 
Dan pada akhirnya kita pun harus mengerti bahwa beberapa keinginan ternyata tidak butuh diwujudkan, cukup mengendap indah dalam ingatan.
Ya... cukup di ingatanku, ingatanmu saja, dan biarkan tetap tanpa ingatannya. 

Kita tidak bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta, tapi kita bisa memilih kapan kita harus menjauhinya. Aku harap kamu tidak menahanku, karena kamu tahu satu hal yang pasti yaitu aku tidak pernah bisa menolakmu.

Setiap orang yang pergi pasti akan mencari alasan untuk kembali, maukah kamu sepakat denganku? 
Di kehidupan selanjutnya, ijinkanlah rasaku kembali jatuh pada tempat yang sama yaitu kamu. 

Jakarta, 17 Agustus 2017.

       ðŸ’‹
*Bee Artie*

Selasa, 08 Agustus 2017

"Sembuhkan sakit hatimu maka akan sembuh seluruh badanmu"

(Sebuah Renungan untuk Senantiasa Sehat.)

Ada  orang yang punya sakit hati yang benar-benar kronis.
Benci banget,...
Dendam banget,...
Nggak suka banget,...
Sedih Banget
Kecewa banget...

Semua itu dianggap serius sampai sakitnya berdampak pada tubuh.
Begitu muncul dalam bentuk penyakit kanker, diabetes, sakit jantung, baru diatasi....

Dan yang diatasi pun hanya permukannya saja.

Diatasi dengan operasi, obat Herbal.. bertahun-tahun bahkan seumur hidup, kemo, radiasi. Semua yang membuat sel-sel tubuh luluh lantak.

Tapi akar masalahnya tidak diatasi... Akar masalahnya adalah  hati yang sakit dan semakin rusak... Kemudian merusak seluruh jaringan tubuh.

Darah tetap dibiarkan asam.
Kondisi tubuh asam.
Pikiran tetap stress, jiwa tak tenang.
Dendam masih banyak.
Kecewa masih berlanjut.
Perasaan masih ga enak.
Benci masih kuat.

SECARA TIDAK LANGSUNG KITA BUNUH DIRI

Ingat Rasululloh Sholallohu 'alayhi wassalam.. pernah berkata.

"Ada segumpal daging yang kalau ia baik maka seluruh tubuh akan baik. Dan kalau ia buruk maka seluruh tubuh akan buruk."
Itulah "H A T I"
             
Seharus itu selalu ada dalam kondisi indah dan baik.
Selalu ikhlas, menerima ketentuan Alloh, bersyukur, tulus berbagi, dan bahagia bersama. Seperti anak yang selalu bahagia dan tertawa, Seperti itulah kondisi hati kita seharusnya.

Pada saat kita sudah tak lagi seperti itu, itulah saat penyakit muncul. Dan deteksi dini harus dilakukan. Akar permasalahan harus diatasi.
Hati perlu terus dicuci...dan dibersihkan.

Tanda hati bersih dan suci adalah selalu bahagia atas kebahagiaan orang lain. Selalu semangat berbagi tanpa pamrih. Lalu Ridho dengan segala ketentuan yang Alloh berikan untuk kita..

Dibenci?

Gak apapa....
Berarti Dosa kita, jadi ada yang tanggung.

Didzalimi?

Wah, ini dia saatnya doa-doa kita tak ada batasnya dengan Sang Pemberi, Pengasih & Penyayang.
Allah Arrahmaan Arrahiim...

Hati akan selalu bahagia atas kebahagiaan orang lain, gembira, apapun yang terjadi, siapapun itu. Termasuk bahagia bagi mereka yang konon kata orang merugikan kita, tapi kita tak perlu merasa rugi.
Karena semua ada hikmahnya...

PASTIKAN ITU..

Kalau hati terasa tidak baik dengan tanda-tanda...
ada rasa sedih, kecewa, benci, dendam, segera action.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan:

1. Ikhlas
Tarik nafas, buang nafas.
Setiap nafas adalah nafas baru, harapan baru. Jangan pusing dengan yang lalu dan jangan khawatir dengan yang belum terjadi.

2. Terima dan hargai...
Allah Maha Besar dan Maha Tahu, Allah tahu yang terbaik buat kita  semua pasti baik dan bermanfaat.

3. Bersyukur dibalik bencana jadi karunia.
Bertanyalah:  “Kenapa ya kira-kira Allah – Yang Maha Kasih dan sangat mengasihiku, memberikan sesuatu yang tidak kusukai dan tidak sesuai dengan harapanku ini?
Kira-kira apa kebaikan di baliknya?
Ada pelajaran...
Rubah Mindset-nya husnudzon, berbaik sangkalah sama Alloh.

4. Berbagi tanpa pamrih..
Apapun hikmah yang ada, pasti bisa dibagi.
Pasti ada pengalaman baru, kesadaran baru yang bisa diberikan pada yang lain.
Bagilah senyum pada semua.
maafkan semua orang...
Do'akan semua orang yang pernah singgah di hati kita.
Apa do'a yang harus dipanjatkan untuk diri  sendiri dan orang yang terkait?
Apa kira-kira yang kita bisa lakukan dengan lebih baik lagi untuk hanya mengharap Ridho Allah semata.

5. Bahagia saat orang lain bahagia
Termasuk orang yang awalnya tidak kita sukai....Kita benci....Kita anggap merugikan.
Kita anggap mengecewakan... Apalagi terhadap orang2 yang berjasa kepada kita..
Muliakan mereka sebagai wujud rasa syukur kepada Alloh...
Kita jadi tegar seperti sekarang, karena ada jasa terbaik mereka di hati kita...  Muliakan saudara kita yang pernah menolong kita, meskipun si penolong membuat kecewa dan kecewa. Maafkan kekecewaannya. Ingat akan jasanya. Allah-lah yang akan membalas segala keikhlasan.

Ketika  Penyakit hati pelan-pelan sembuh, maka begitu juga penyakit tubuh akan hilang dan sembuh.

Ayo berusaha selalu jaga kesehatan hati mulai detik ini...
Semoga tidak ada lagi rasa benci atau kecewa di Hati kita.

Barakallahu fiikum.

Repost by TERANG
Team Ruqyah Abi Ngawi

Kamis, 18 Mei 2017

Laron (Part 1)

Pic source by Google


"LARON"
Part 1
(Jika takut, kenapa kamu datang begitu dekat?)

Hujan yang mengguyur wilayahku seharian ini menyisakan suasana yang dingin, jalanan tampak sepi dan lengang, padahal jalanan depan kantorku itu jam 8 malam seperti sekarang biasanya masih dipenuhi kendaraan-kendaraan yang berebut hendak pulang ke rumah. Aku menutup tirai jendela kantorku dan beranjak membereskan laptopku karena hujan sudah reda. Rekan kerjaku masih banyak yang bekerja lembur, sebagai auditor di awal tahun seperti ini kami sudah biasa bekerja sampai pagi ataupun menginap di kantor, tidak terkecuali auditor perempuan seperti aku. Bahkan aku sudah dua hari tidak pulang karena mengejar deadline laporan klien, tapi malam ini aku  memutuskan pulang karena stock baju ganti yang aku bawa sudah habis.

Aku merapatkan jaketku saat melangkah di area parkir, hawa dingin yang aneh menyergapku, tumben sepi sekali malam ini, biasanya masih banyak driver–driver yang nongkrong di situ sekedar ngopi atau main kartu sembari menunggu majikannya pulang. Aku buru-buru menuju mobilku dan bergegas pergi. Belum ada setengah perjalanan menuju rumahku, aku merasa ada yang tidak beres dengan laju mobilku, pelan-pelan aku meminggirkan mobilku  dan berhenti. Benar saja mobilku mendadak tidak bisa di starter kembali, entah apa yang rusak tapi seharusnya tidak ada masalah dengan mobilku karena aku rutin untuk urusan servicenya. Aku menengok ke jalanan, hanya satu dua mobil yang lewat, sepi sekali dan tidak ada lampu penerangan di tempatku berhenti itu. Aku mencoba menelpon Dino temen kantorku yang masih dikantor tadi.
“Dino, mobilku mogok nih tiba-tiba, biasanya diapain ya?”
“Udah coba dicek aki nya belum?”
“Belum. Duh... Aku iseng nih mau turun sepi banget jalanan”
“Lah terus gimana? Perlu aku susulin kesitu? Tapi bisa setengah jam lebih nyampe situ”
“Ahh... Ogah, kelamaan. Ya udah aku turun dah, telepon jangan dimatiin dulu loh”
Aku membuka pintu mobil dan turun keluar. Ternyata lampu depan mobilku dikerubutin Laron yang bertebangan saling tabrak.
“Duh... Mobilku dikerubutin Laron coba, gila banyak banget” Ujarku sambil mengkibas-kibaskan tangan kananku yang memegang senter untuk menghalau kerumunan Laron.
 “Tenang aja, Laron gak bakal gigit kok” Terdengar tawa Dino disebrang telepon.
“Iya... Tapi kan geli” Kataku sambil membuka tutup kap mobil. Aku merasa kakiku dikerubutin Laron, tapi aku tahan.
“Udah keliatan nih Din akinya, terus diapain?” Tangan kananku mengarahkan lampu senterku ke arah aki mobil,  sedang tangan kiriku memegang handphone. Sejenak suara handphone-ku seperti hilang sinyal.
“Halo, Din... Dino”
“Itu kabel akinya kendur palingan,  coba kencengin aja”
“Ohh... dikencengin kaitannya doang? Lalu?”
“Sekarang coba di starter deh”
“Ok wait... “ Aku buru-buru ke kemudi dan menyalakan starter mobil.
Jezz.. Jezz ...  Brummm.... Brummm dan mobilku pun hidup kembali.
“Yee... Berhasil din, makasih yo” Seruku ke Dino di telepon, hening... Tidak ada sahutan dari Dino dari seberang sana.
“Halo... Din... Dino” Aku melihat ke layar hpku. Aku terkejut karena handphone ku ternyata dalam kondisi mati,  saat aku menelpon Dino tadi memang baterai nya sudah merah, tapi harusnya sebelum baterai nya ngedrop biasanya akan ada suara notifikasinya dulu, dan aku yakin tadi tidak ada bunyi warning dari baterai.
“Ja... Jadi.. . Suara siapa tadi dong?” Tiba-tiba kakiku terasa lemas dan kaku, bulu kudukku merinding seketika, tanganku gemetar hingga lampu senter yang aku pegang jatuh.
“Nah... Itu dia hp nya ketemu! Tolong ambilkan dong” Sebuah suara pria tiba-tiba terdengar setengah berseru. Deg! Aku makin lemas karena disitu tidak ada orang lain selain aku, ingin rasanya berteriak tapi entah kenapa lidahku kelu, aku berdiri terpatung dengan kaki gemetaran. Sejenak, aku berusaha menyadarkan diriku bahwa tadi hanya salah dengar, ya... dari dulu aku tidak pernah percaya adanya hantu. Aku menarik nafasku dalam-dalam dan membuka pintu mobil. Tapi aneh pintu mobilku tiba-tiba terasa begitu berat, aku berusaha menariknya supaya terbuka lebih lebar tapi entah apa yang terjadi pintu itu  seperti ditahan oleh sesuatu.
 “Hei... Jangan pergi dulu, tolonglah aku, ”Suara  itu kembali terdengar. Kali ini aku tidak bisa lagi menahan rasa takutku karena aku yakin suara aneh itu benar terdengar oleh telingaku.
“Ahhh... To... Tolong!” Aku mencoba berteriak tapi suara yang keluar dari bibirku malah begitu lirih.
“Hei... Jangan takut. Aku gak jahat kok. Ini aku yang tadi  bantuin benerin mobil kamu”
 Aku menoleh ke sekelilingku mencari sumber suara itu, tapi tidak ada siapa-siapa selain aku disitu.
“Kamu siapa? Tolong jangan ganggu aku” Nada suaraku setengah memohon karena aku benar-benat ketakutan. Aku mencoba membuka pintu mobil supaya terbuka lebih lebar, tapi aku terkejut saat tanganku seperti menyentuh tangan seseorang, ya... ternyata ada tangan lain yang  memegang pintu mobil itu, dan yang membuat mataku terbelalak ketakutan adalah .... Tangan itu tanpa badan pemiliknya!.

*Bersambung*

Selasa, 18 April 2017

BINI MUDA


Pic Source: http://www.harme.in

Di siang yang terik itu, Tia memacu motornya dengan cepat, berkali-kali dia bunyikan klakson ke kendaraan yang ada didepannya, hatinya penuh gemuruh seperti gemuruh angin yang menerpanya. Panasnya siang itu sepertinya mengalahkan panasnya hati Tia saat itu. Sesampainya di Mall tempat dia bekerja, dia langsung menuju gudang untuk menata produk di etalase yang menjadi tugasnya hari itu. Dari cara dia menaruh kaleng-kaleng produk susu balita dagangannya, terlihat sekali bahwa Tia sedang penuh amarah, dia membuang nafas kesal berkali-kali dan bunyi berisik beradunya kaleng yang Tia tata membuat Lala, sang supervisor toko yang notabene sahabatnya Tia mendekatinya.
“Kamu kalau lagi marah ngadem dulu sana ke belakang, tarik napas yang bener dulu,”
“Siapa juga yang lagi marah,” Jawab Tia jutek, Lala mencubit pipi Tia sambil tertawa.
“Lah kalau lagi gak marah kenapa itu kaleng susu kamu adu satu sama lain, kalau penyok pembeli mana mau beli loh,” Ujar Lala sambil menghentikan tangan Tia yang sedang bekerja,”Kamu lagi kenapa? Masih pagi jangan diisi dengan muka ditekuk gitu loh, entar seharian bakal kebawa bete mulu kamu,”
“Huaaa… Gimana gw gak bete coba, La? Masa nyokap gw hamil lagi coba!” Sungut Tia dengan nada  penuh kekesalan.
“Hah?! Nyokap lo hamil lagi? Hahaa… Ya bersyukur dong, Lo mau punya adek lagi, rejeki itu,” Ujar Lala sambil tertawa ngakak, Tia paham sekali maksud tawa Lala.
“Gila lo, nyokap gw umurnya hampir 50 tahun mennn,” Tia menghentikan pekerjaannya dan menyenderkan kepalanya ke tembok,” Resikonya gede hamil di usia segitu dan lagi arghh… Orang tua gw udah punya anak empat, kenapa bisa kebobolan begitu coba? Di usia setua mereka masa mau punya babby lagi?! Bener – bener gak habis pikir gw sama mereka,”
“Huss… Gak boleh gitu lo, anak itu amanah dari Allah, kehadirannya gak ada yang salah mau di usia setua apapun manusia,” Nasehat Lala menenangkan Tia.
“Iya tahu tapi maksud gw bokap aja gw lihat kayak uring-uringan denger nyokap hamil. Kasihan gw ke nyokap, belakangan jadi sering diem melamun, dia seperti menyalahkan dirinya dengan meminta maaf kemarin ke gw karena telat suntik KB katanya. Kesel  juga gw ke bokap, ngapa juga dia marah ke nyokap lah jelas-jelas dia sendiri pelaku utamanya,”
“Sabar… Namanya juga baru kejadian pasti masih pada kaget, nanti juga pada nerima kok biasanya” Lala mencoba mendinginkan Tia.
“Ahh… Entahlah La, gw pusing. Dan yang bikin gw tambah kesal, gw denger slentingan tetangga gw pada ngeledek, biasanya kalau istri udah setua nyokap gw terus kebobolan hamil lagi itu jangan-jangan bokap gw punya istri muda yang lagi hamil juga, ngeselin gak coba?”
“Eh bisa jadi Ti, emang ada yang bilang gitu sih, yakin lo kalau bokap lo “baik-baik saja” selama ini?,” Tanya Lala sambil menggerakkan jarinya sebagai tanda kutip dari pertanyaannya. Tia terdiam mendengar ucapan Lala, sejenak kemudian Tia memukul kepala Lala dengan kanebo yang ada di tangannya.
“Semprulll lo! Bokap Nyokap gw baik-baik aja kok selama ini, rukun-rukun aja mereka dul, gak mungkin itu”
“Haha… Gw becanda Tiaaa…” Teriak Lala sambil berlari cekikikan menjauh dari Tia yang semakin bertambah panas hatinya. Tia menatap Lala sampai hilang dari balik etalase barang dengan bersungut-sungut sendiri, dia melanjutkan pekerjaannya tapi candaan Lala tentang bini muda tidak bisa menghilang dari pikirannya.
***
Malam itu, Tia sengaja duduk di teras menunggu ayahnya pulang kerja, pikirannya masih dipenuhi kemungkinan adanya “bini muda” ayahnya. Ya… Biarpun usianya hampir menginjak kepala 5 tapi secara fisik ayahnya masih terlihat gagah berwibawa dan ayahnya adalah seorang wartawan senior di sebuah surat kabar nasional yang lebih sering berada di luar rumah, tapi selama ini di mata Tia ayahnya adalah sosok yang bertanggung jawab dan sayang keluarga, buktinya setiap ayahnya pergi keluar kota untuk liputan berita, ayahnya tidak pernah absen menelpon istri dan anak-anaknya.
“Kamu belum tidur, nak?” Sebuah suara lembut mengagetkan Tia. Tia menengok, tampak ibunya berdiri di pintu, Tia tidak menjawab tapi justru mengamati ibunya dari tempat dia duduk. Sosok ibu sederhana yang selalu dibalut daster rumahan, dengan badannya yang gemuk khas ibu-ibu, dengan wajahnya yang hampir tidak pernah ber-make up, bahkan seingat Tia untuk pergi kondangan pun ibunya akan tetap sederhana tanpa berdandan. Tia kemudian membayangkan ayahnya disana yang lingkungan kerjanya dipenuhi dengan wanita-wanita modis dan cantik, kening Tia berkernyit saat menyadari bahwa kemungkinan tentang adanya bini muda itu memang mungkin saja ada.
“Hei… kok malah melamun kamu” Ibunya menepuk pundak Tia,” Ayo… Masuk, sudah malam, Tia”
“Eh iya bu, sebentar lagi, Tia mau nunggu ayah”
“Kan ayah kamu lagi ke Bandung untuk 3 hari ini,”
“Loh kok tumben, ayah gak ngasih tahu Tia?” Raut wajah Tia berubah kecewa.
“Ayah udah pamit kok ke ibu, ayahmu mungkin sibuk jadi lupa menelpon kalian, kan lagi ada acara ulang tahun kantor surat kabarnya,”
“Huft… Ya sudah” Tia beranjak dari duduknya. “Ngomong-ngomong ibu masih mual sama pusing?”
“Masih sedikit, tapi gak apa-apa kok, biasalah ibu memang setiap hamil muda kan fisiknya sedikit lemah, nanti menginjak 5 bulan juga sehat lagi,’
“Hamil muda? Lebih tepatnya hamil tua ini mah namanya, hamil di usia tua,” Tia merengut. Ibuya tertawa kecil.
“Ahhh… bu, coba deh di test sekali lagi, mungkin saja salah itu tespeknya,” Tia merajuk, seperti masih tidak bisa menerima kenyataan dengan kehamilan ibunya.
Ibunya kembali tertawa dan merangkul Tia mengajak masuk ke dalam rumah sambil berkata,” Ada-ada saja kamu, orang ibu udah control ke dokter kok dan fix kamu akan punya adik lagi, jadi baik-baik ya jadi kakak,”
“Ahh… Ibu mah, aku malu udah segede ini masih punya adik bayi huhu…” Tia melepas tangan ibunya dan masuk ke kamarnya dengan sebal. Ibunya hanya tersenyum melihat tingkah Tia dan bergegas mengunci pintu.
***
Hari itu, Tia dikenalkan oleh Lala dengan pacar barunya, Doni. Dan untuk merayakannya Tia pun ditraktir makan oleh mereka di sebuah restoran sepulang kerja. Doni tampak membawa-bawa sebuah kamera karena ternyata dia adalah seorang Kameramen di sebuah stasiun televisi swasta.
“Eh bokapnya Tia juga seorang wartawan loh yang” Lala memberitahu Doni.
“Oh ya… Wartawan dimana? Kali aja gw kenal” Sambut Doni.
“Gak mungkin kamu kenal, Don. Bokap gw mah cuma wartawan surat kabar,” Ujar Tia
“Eh… Surat kabar mana? Kemarin gw juga baru aja ikutan ngeliput ulang tahun sebuah surat kabar loh di Bandung”
“Ohh… bokap gw di Fresh Media,”
“Loh iya, itu yang kemarin ulang tahunnya gw liput, nih di kamera gw rekamannya masih ada kok, mau lihat?” Doni tampak antusias memperlihatkan hasil bidikannya, Tia sebenarnya tidak tertarik tapi demi menghargai Lala, dia pun ikut mendekat menonton video liputan Doni. Dalam video itu tampak pesta ulang tahun media tersebut begitu semarak karena ada acara – acara penghargaan juga, dan mata Tia terpaku saat melihat sesosok Laki-laki yang sedang menerima penghargaan the best employee dalam video tersebut. Bukan hanya sosok lelakinya saja yang membuat Tia terkejut, tapi sesosok perempuan yang mendampingi lelaki tersebut juga tak kalah membuat mata Tia terbelalak.Tanpa sadar, Tia merebut kamera itu dari tangan Doni dan mengamati gambar itu lebih dekat. Lala mendekat ke Tia penasaran dengan apa yang Tia lihat.
“Ohh… Kalau itu karyawan-karyawan surat kabar itu yang lagi menerima penghargaan, ada yang lucu nih sama orang yang ini nih” Doni menunjuk salah satu laki-laki dalam video itu,”Jadi orang ini buat ledekan sama MC nya karena ternyata istrinya sedang hamil muda padahal kan bapaknya itu katanya udah tua, ini nih istrinya yang ini, pada ngakak tuh waktu mereka naik panggung,”
“Lala… Itu beneran bokap gw bukan sih?” Dengan suara sedikit gemetar Tia menarik lengan Lala untuk lebih dekat ke kamera,”Tolong, La… Jangan bilang itu beneran bokap gw”
Lala cepat tanggap dan buru-buru memastikan sosok itu, sejenak kemudian dia menoleh ke Tia dengan wajah sedih dan mengelus-elus pundak Tia seperti menguatkan.
“Wah… Jadi beneran itu bokapnya Tia? Selamat ya buat kamu yang mau punya adik lagi” Dengan bodohnya Doni ikutan menepuk pundak Tia dengan nada tulus ikut bahagia.
“Ohya… Ibu kamu cantik ya, selamat juga buat dia” Cerocos Doni masih dengan polosnya.
“Itu bukan nyokap gw tahu!” Tiba-tiba Tia berdiri dengan penuh amarah dan meninggalkan mereka berdua. Doni terkejut kaget dengan reaksi Tia. Lala menyikut Doni dengan kesal, membuat Doni semakin bingung.
“Iishh… Kamu sih!” Lala berusaha mengejar Tia tapi Tia sudah keburu melaju cepat pergi dengan sepeda motornya.
***
Belum sempat Tia memarkir sepeda motornya, tampak Zaki adik Tia yang ketiga berlari menyongsong Tia, wajahnya penuh kecemasan.
“Kak Tia, ayo ke Rumah Sakit, ibu jatuh dikamar mandi tadi, sekarang dibawa ayah ke Rumah Sakit, banyak darah kak tadi, kasian ibu,”
“Kok bisa ibu jatuh?!” Tak kalah kaget Tia mendengarnya, kaki tangannya seketika lemas serasa tidak bertenaga teringat kandungan ibunya.
“Iya ibu tadi lagi nonton berita di tivi, ada ayah masuk tivi, kak”
“Subhanallah ibu… “Tenggorokan Tia tercekat, hatinya hancur seketika saat membayangkan bahwa ibunya pasti sudah tahu tentang ayahnya. Tia kembali memacu motornya menuju Rumah Sakit bersama Zaki. Di sepanjang jalan, pikiran Tia tidak berhenti memikirkan sosok wanita yang mendampingi ayahnya dalam video milik Doni, iya… wanita itu adalah tante Ira, yang tidak lain adalah sepupu ibunya Tia sendiri. Wajahnya memang begitu mirip dengan ibunya, waktu mereka muda di keluarga banyak yang suka bilang bahwa mereka seperti kembar, tapi Tia masih tidak habis pikir bagaimana bisa ayahnya dan tante Ira bersama di acara itu? Apa hubungan mereka sebenarnya? Bagaimana bisa orang – orang di pesta itu menyebut tante Ira dengan sebutan istri ayahnya? Bagaimana bisa orang-orang itu menyebut tante Ira sedang hamil sedangkan sudah menjadi rahasia umum di keluarga besar bahwa tante Ira memang selama ini memilih tidak menikah karena terlalu ambisius menjadi wanita karir? begitu banyak pertanyaan-pertanyaan janggal di benak Tia.
***
Tia berdiri termenung di depan pintu kamar rumah sakit dimana ibunya di rawat, kedua telinganya menangkap dengan jelas suara ayahnya di dalam kamar tersebut.
“Entah bagaimana kejadian persisnya bu, tapi 3 bulan lalu Ira tiba-tiba meminta pertanggung jawabanku atas kehamilannya. Aku sendiri bingung kapan itu terjadi? Dan bagaimana bisa terjadi? Maksudku, kamu tahu kan kantor tempat Ira adalah sponsor iklan terbesar di surat kabar kantorku, jadi sering kali memang aku pergi meliput kegiatan mereka, dan Ira pasti ikut bersama rombongan karena dia memang yang bertanggung jawab disana. Dan ya aku memang sering ngobrol dengan Ira tentang segala macam, bukan hanya soal pekerjaan, apalagi wajahnya mirip denganmu jadi aku enak aja kalau ngobrol sama dia tapi aku tidak tahu kenapa bisa jadi sejauh ini masalahnya, yang jelas Ira menunjukan foto kami berdua di dalam kamar sebuah hotel bu saat dia datang meminta tanggung jawabku” Terdengar ayahnya Tia menjelaskan panjang lebar. Tidak terdengar sama sekali suara ibunya Tia menanggapi perkataan ayahnya.
“Kalau sudah terlanjur begini, gak ada yang aku bisa lakukan selain minta maaf, bu. Maafkan aku untuk semua ini tapi aku harus tetap mempertanggung jawabkan semuanya”
Hening, hanya terdengar isak tangis ibunya di dalam sana, dan air mata Tia pun ikut menetes membayangkan perasaan ibunya didalam sana, dia sendiri tidak tahu harus marah kepada siapa karena sudah jelas sekarang hubungan ayahnya dan tante Ira terbukti benar-benar terjadi.
***
Tiga bulan berlalu, tante Ira semakin menggila sebagai istri muda, tangis penyesalan dan permohonan maafnya kepada ibunya dan keluarga ternyata hanya di awalnya saja, sekarang justru dia sengaja membeli rumah dekat dengan rumah Tia, dengan alasan supaya ayahnya Tia tidak sulit membagi waktu buat dua keluarga. Hal itu membuat Tia dan adik-adiknya muak, ya muak harus melihat setiap pagi ayahnya dan Tante Ira berangkat kerja bersama, sedang ibunya menyiapkan bekal makanan buat ayahnya seperti biasa, kadang dengan muka tembok tante Ira pun meminta dibungkuskan buat dia juga, dengan alasan perutnya yang mulai membesar terlalu lelah untuk bekerja dan memasak sendiri. Mereka seperti tidak memperdulikan perasaan ibunya yang harus kehilangan bayi nya gara – gara kejutan dari mereka berdua, Tia muak melihat ibunya seperti dianggap tukang masak yang digaji setiap bulan saat mereka gajian. Dan entah Tia harus menganggap ibunya bodoh, tegar atau apa karena memilih bertahan dengan situasi seperti itu, bahkan saat Tia dan adik-adiknya mendesak untuk meminta cerai pun ibunya malah marah-marah, dia menganggap ini sebagai ibadah seorang istri terhadap suaminya.
“Dan lagi, kalau ibu memilih cerai, bagaimana dengan sekolah adik-adik kamu? Di usia setua ibu, ibu bisa bekerja apa untuk menghidupi kalian memangnya? Kamu sanggup membiayai semuanya? Kamu sendiri masih keteter dengan kuliahmu, Tia” Kata Ibunya Tia di suatu hari saat Tia mendesak kembali untuk menjauh dari Ayahnya.
“Ibadah seorang istri adalah saat bisa membuat suaminya bahagia, nak. Entah sesakit apapun itu caranya untukmu sendiri, ya… terkadang dalam hidup, kita memang perlu belajar seperti lilin, dia rela membakar dirinya sendiri demi menerangi sekelilingnya, bukan?”
“Bahkan dengan membiarkan suami diambil wanita lain bu??? Wahh… Ini gak bisa diterima akal sehat Tia bu”
“Ya… Semoga kelak kamu akan mengerti keputusan ibu” Ibunya Tia mengusap lembut rambut Tia,”Satu pesen ibu, kelak apabila kamu sudah menikah, usahakan tetaplah bekerja atau mempunyai usaha sendiri, istri bekerja itu menurut ibu bukan lah mengabaikan kodratnya dalam mengurus suami dan anaknya, tapi anggap kamu sedang membantu suami kamu menyiapkan masa depan anak-anakmu juga kelak. Karena ini buat kebaikan keluargamu juga apabila suami dipanggil pulang duluan oleh Allah, atau kalau-kalau suami kamu pulang ke rumah lain seperti yang ibu alami ini”
Tia terdiam mendengar nasehat ibunya, dia tak menjawab lagi perkataan ibunya, tapi jauh di lubuk hatinya dia tanamkan kuat – kuat nasehat terakhir ibunya tersebut.
***
1 Tahun kemudian, anak ayah Tia dari Tante Ira telah lahir, seorang anak perempuan, ayahnya memberi nama Nina, setiap tante Ira bekerja, Nina diurus oleh ibunya Tia, bahkan tidak jarang Nina dibiarkan tidur bersama Ibunya Tia apabila Tante Ira pulang terlalu larut karena lembur, dan saat hari libur, ibunya Tia akan bengong di rumah seperti kehilangan hiburan karena Nina dibawa ke rumah tante Ira untuk menikmati liburan mereka. Ya… di mata Tia, ayahnya dan tante Ira hanya mau enaknya saja, hal ini juga membuat Tia dan adik-adiknya tidak betah di rumah lama-lama karena mereka masih belum bisa menerima sepenuhnya kehadiran Nina, tidak pernah sekalipun mereka mengajak bermain Nina atau mau membantu menggendong saat ibunya repot karena sibuk memasak. Berbeda dengan ibunya Tia, dia merawat Nina dengan tulus, jiwa keibuannya tidak hilang sama sekali biarpun kehadiran anak itu lah yang menjadi awal hancurnya hubungan ibu dengan ayahnya.
Hingga pada suatu hari, Nina yang baru belajar berjalan lolos dari perhatian ibunya Tia yang sedang memasak di dapur, Nina berjalan keluar rumah dan tertabrak mobil yang lewat depan rumah. Paniknya ibunya Tia melebihi siapapun, dengan tergopoh dan baju berlumuran darah dia berlari menggendong Nina menuju rumah sakit dekat rumah.
Masih teringat jelas di benak Tia, ibunya pingsan karena terlalu mengkhawatirkan Nina, dan tante Ira menangis lemas di depan pintu operasi, ayahnya mondar mandir gelisah.
Pintu kamar operasi terbuka, seorang dokter keluar tergesa-gesa.
“Disini ada yang bisa menjadi donor darah? Pasien kekurangan darah lumayan banyak”
Tante Ira tampak seperti semakin panik dan kebingungan.
“Saya dok, saya ayahnya, ambil saja darah saya sebanyak-banyaknya, yang penting anak saya tertolong.” Ujar ayahnya Tia dengan segera. Tia melihat pandangan mata tante Ira mengikuti langkah ayahnya dan dokter yang tergopoh-gopoh menuju laboratorium.
Beberapa menit kemudian, Tia melihat ayahnya bersama dokter yang tadi  berjalan keluar dari laboratorium, mata ayahnya terlihat penuh emosi, dia berjalan cepat menuju tempat tante Ira duduk. Dan tiba – tiba menarik tante Ira dan menamparnya keras, tante Ira berteriak kecil kesakitan, Tia terbelalak kaget dengan apa yang diperbuat ayahnya.
“Anak siapa itu? Jujur kamu!” Ayahnya Tia mencengkram bahu tante Ira.
“Apa maksudmu, mas? Itu anak kamu” Ujar tante Ira sambil memegang pipinya, ada sorot ketakutan di matanya.
“Golongan darahku O dan kamu juga O, tapi bagaimana bisa golongan darah anak itu adalah B. Tidak mungkin itu anakku! Katakan yang sebenarnya!” Geram Ayahnya Tia penuh emosi. Tia masih berdiri tanpa bereaksi, layaknya sedang menonton film, dia sangat menikmati adegan demi adegan di depan matanya, terlebih melihat tante Ira menangis seperti semakin kebingungan, bahkan ayahnya tiba-tiba menyebut Nina dengan kata “anak itu”.
“Ak… Aku…. “Tante Ira tergagap lemas.
“Brengsek! Ternyata kamu menipuku selama ini hah!” Ayahnya Tia mendorong tante Ira hingga terduduk. Tangisan tante Ira semakin menjadi. Tia yang tertawa jahat dalam hati melihat mereka semua, “Karma dibayar kontan!” batin Tia.
“Hentikan semuanya!” Teriakan geram terdengar dari seorang wanita. Tia hafal sekali suara itu, ya… Itu suara ibunya yang ternyata sudah tersadar dari pingsannya. Dengan masih lemas, ibunya berjalan mendekat.
“Apa-apaan kalian ini? Nina sedang berjuang melawan maut di dalam sana dan kalian malah meributkan hal yang tidak penting seperti ini???” Sorot mata ibunya Tia penuh amarah. “Kalau kalian masih ingin ribut, pulang sana selesaikan dirumah!”
“Ini penting lah bu! Tante Ira ternyata sudah menipu kita semua selama ini” Seru Tia tiba-tiba karena kesal mendengar perkataan ibunya.
“Diam kamu! Sekarang tidak ada yang lebih penting selain keselamatan Nina, paham kamu!” Ibunya Tia menatap tajam ke arah Tia. Seumur-umur baru kali ini Tia dibentak oleh Ibunya.
“Dokter, tolong ambil darah saya sekarang. Golongan darah saya sama dengan Nina” Ibunya Tia berjalan mendahului ke Laboratorium.
“Anak tetaplah anak, mau itu kandung ataupun bukan jangan pernah kalian sia-siakan. Pakai hati kalian” Ujarnya saat melewati ayahnya Tia. Ayahnya Tia sangat terpukul mendengarnya, dadanya sesak penuh penyesalan ke Istri pertamanya itu. Matanya penuh kesedihan melihat sosok istrinya yang berjalan menjauh, dia baru menyadari bahwa istrinya itu menjadi jauh lebih kurus, dia membayangkan bahwa betapa lelahnya istrinya selama ini memasak, mengurus rumah dan bahkan mengurus Nina, Nina yang entah anak siapa itu.
Tia meneteskan air mata melihat ibunya,” Tuhan… Bahagiakanlah ibuku di sisa umurnya”.


*TAMAT*

Jumat, 20 Januari 2017

PENYESALAN NARA


“Mamahh… Aku jatuh cinta deh kayaknya hehee,”

Ungkapan dua bulan lalu itu masih terbayang jelas dimataku, senyum merekah tergambar jelas dibibir anakku, binar matanya ikut membuktikan kebenaran ucapannya, aku memeluknya sambil tertawa mendengar pengakuannya, hmm… Gadis kecilku telah beranjak dewasa terrnyata, ini pertama kalinya dia benar-benar jatuh cinta sepertinya, ya… di tingkat akhir masa sekolah menengahnya ini pertama kalinya dia bercerita tentang seorang laki-laki kepadaku, sebelumnya dia tidak pernah berpacaran, dia fokus dengan sekolahnya di sekolah kesehatan supaya bisa masuk kuliah ke fakultas kedokteran nantinya seperti harapanku.

 Aku mendidiknya seorang diri sejak suamiku meninggal dunia karena kecelakaan, aku berjanji bahwa aku akan menjadi ibu sekaligus ayah dan sahabat buat putriku yang waktu itu masih balita. Aku pun tidak mencari pengganti suamiku karena merasa kebersamaanku dengan anakku sudah cukup membahagiakan. Aku terlalu sibuk bekerja untuk masa depan anakku. Kami berdua memang sangat dekat, kami membudayakan selalu terbuka dalam hal apapun, anakku tidak sungkan cerita-cerita tentang masa puber fisiknya, atau tentang teman-teman sekolahnya, hampir semua temannya aku tahu nama dan sifatnya karena hampir setiap hari kami bertukar cerita sebelum tidur. Dan karena keterbukaan kami inilah yang membuatku hari ini terpekur di pusara almarhum suamiku, mataku sembab karena sudah hampir 1 jam aku menangis, bayangan wajah putriku yang tertunduk tadi pagi sambil berucap,” Mah, maafkan aku, aku hamil” kembali melintas di kepalaku, membuat airmataku semakin deras menetes. Aku merasakan ada godam berat yang menghantam dadaku, yang membuat nafasku sesak setiap aku tarik.

“Maafkan aku mas… ” Ucapku lirih sambil terisak,”Maafkan aku, aku gagal mendidik anak kita”.

***

Hari ini adalah hari ketiga aku mendiamkan anakku, jam pulang kantor yang biasanya aku tunggu-tunggu karena ingin segera pulang bertemu anakku, kali ini berbeda. Aku begitu enggan beranjak pulang, aku benar-benar belum bisa berpikir harus bagaimana terhadap anakku. Aku memilih menghabiskan waktuku di coffee shop hingga larut, dengan harapan saat pulang ke rumah anakku sudah tertidur dikamarnya dan aku tidak perlu bertemu dengannya, aku takut emosiku meluap saat didepannya, karena kali ini dia benar-benar telah membuatku kecewa. Hidup merantau di kota orang, jauh dari orang tua ataupun saudara-saudara telah membuatku terbiasa memutuskan segalanya sendiri, tapi untuk masalah ini aku benar-benar tidak kuat menanggungnya sendiri, kehamilan adalah sesuatu yang tidak bisa disembunyikan, semakin lama perut anakku akan semakin besar.

“Aarrgghh! Argh! Argh!” Aku menjedot-jedotkan keningku kemeja beberapa saking kesalnya.
“Mbak… Heiii!” Ada sebuah tangan yang menepuk pundakku, aku mengangkat kepalaku dengan rambut acak-acakan kedepan muka semua.
“Mbaknya sehat?” Tanya seorang pria yang berdiri di depan mejaku dengan keheranan. Aku buru-buru memperbaiki dudukku dan merapihkan rambutku sambil menengok ke sekeliling café, duh… ternyata pengunjung lain banyak yang memperhatikanku, raut mereka seperti baru saja terganggu dengan tingkahku.
“Maaf… maaf…” Ujarku sambil membereskan tasku untuk beranjak pergi.
“Kira…“ Pria tadi tiba-tiba memanggil namaku, aku menoleh, aku tertegun sejenak, dahiku berkernyit mencoba me-recall memoryku tentang sosok di depanku.
Ini bener Kira bukanya? Orang Purwokerto?” tanyanya lagi untuk meyakinkan, aku mengerutkan keningku mencoba mengingat sosok didepanku.
“Anda kenal saya?”
“Wah tidak salah lagi, ini kamu Kira. Tahi lalat di atas alis kamu itu pas banget cirinya seperti temanku,” Pria itu berbinar matanya yakin sekali bahwa aku adalah teman yang dia maksud. Aku mengamati wajahnya, entahlah mungkin karena pikiranku yang sedang kacau jadi aku tidak kunjung mengingatnya.
“Astagaaa… kamu lupa sama aku??” Aku mengamati kembali orang itu, dia tersenyum memasang muka manis dengan raut berharap aku bisa mengingatnya, beberapa detik aku mengamatinya tapi sama sekali tidak ada sesosok orangpun yang muncul dalam pikiranku.
“Maaf… Saya benar – benar lupa. Siapa ya?”
“Wah… Bener-bener ya kamu ini, sama mantan pacar sendiri bisa lupa” Dia masih begitu antusias mencoba membangunkan ingatanku, mata kami bertemu dan kemudian dia mengedip-ngedipkan matanya memasang muka lucu, wah… Mata itu, aku sepertinya mengenalnya.
 “Rayan…“ Tercetus satu nama olehku.
Dan pria tersebut tersenyum kemudian mengulurkan tangannya.
“Senang kamu masih mengingatku, ra…”
“Gila, ini beneran Rayan? Kamu berubah banget, gimana aku bisa kenal kamu coba?” Suaraku berubah meninggi karena terkejut. Tidak salah lagi hanya Rayan temanku yang punya gaya kedipan tengil seperti itu, sejenak kemudian aku memukul bahunya. Wah... Aku masih tidak percaya dengan sosok yang didepanku, ya… Rayan teman SMA ku dulu itu kurus tinggi, sedikit hitam kucel dengan rambut berponi acak culun menutupi dahinya, jauh berbeda dengan sosok didepanku sekarang, tubuh gemuk tinggi, kulit putih bersih dengan dagu ditumbuhi sedikit jenggot, rambut disisir rapi, baju kemeja berdasi dan sepatu pantofel hitam mengkilap.
“Wah… beli dimana itu perut? Kok bisa jadi gendut begitu?” Ledekku sambil tertawa, sejenak sedihku menguap entah kemana.
“Hahaa… tadi nyomot didepan tuh kebetulan ada badut yang lagi istirahat. Wah… Kamu sendiri apa kabar, Ra? Long time no see ya” Rayan menatap mataku dalam. Aku segera mengalihkan pandanganku dengan mengajaknya duduk kembali di mejaku dan kami pun berbincang sejenak.
“Aku sebenarnya sudah beberapa hari ini lihat sosok kamu disini, pertama melihatmu aku merasa itu kamu tapi aku agak takut mau menyapa takut salah orang,” cerita Rayan berderai.”Makanya pas tadi lihat kamu jedotin kepala ke meja, aku pikir wah… ini orang mau bunuh diri nih, harus segera diselamatkan hahaa… “.
“Ishh… Kamu, siapa juga yang mau bunuh diri?” Sanggahku tersenyum malu.
“Wah… kamu tidak berubah ya, cantiknya nambah, cuma kok kamu kecilnya masih kayak dulu sih, jangan-jangan kamu makannya masih susah kayak dulu ya? Jarang makan jadi tidak ada perkembangan badannya hahaa… Ini kalau kita jalan jejeran, aku bisa dikira om kamu loh ini” Kelakar Rayan, raut wajahnya menunjukan rasa senangnya karena bertemu denganku.
“Wah... ngomong-ngomong sudah berapa kali ini kita ngomong wah ya? Haha… " Balasku. "Iya...  Tidak menyangka juga loh bisa ketemu teman lama disini,”
“Hmm… Teman ya?” Rayan mengangguk-anggukan kepala sambil tersenyum menatap mataku aneh, sejenak aku menghela nafas.
“Rayan… Please… ” Ucapku sambil merengut membalas tatapannya, kalau saja Rayan bisa mengartikan mataku, ada kata maaf tak terucap disana karena teringet aku pernah menyakiti Rayan dengan meninggalkannya yang sedang kuliah kala itu untuk menikah dengan pilihan orang tuaku, yakni Almarhum suamiku, ayahnya Nara.
“Ok… Ok… Maaf… Maaf, iya nih suka lupa umur saking senengnya ketemu kami jadi teringat masa lalu” Rayan segera membenarkan posisi duduknya, senyumnya masih mengembang di bibirnya,” Jadi bagaimana, Ra? Sekarang sudah punya anak berapa kamu?”
“Anakku baru satu, sudah SMA kelas 3 sekarang. Kamu sudah menikah? Sama orang mana?” Tanyaku penasaran.
“Aku single kok,” Jawabnya segera, aku menjulurkan lidahku tanda tidak percaya. Hampir 20 Tahun lebih kami tidak bertemu, aku tidak yakin kalau Rayan benar - benar single, apalagi di umur kami yang sudah tidak lagi muda.
“Eh… Masih tidak percayaan banget koh ke aku, karena tidak bisa mendapatkan kamu makanya sekarang aku masih single hehee…”
“Sudah ah bercandanya, aku pengin denger cerita kamu” Ujarku.

Sejenak kemudian, aku sudah terhanyut dengan cerita Rayan, iya benar saja statusnya sekarang ternyata memang single tapi single parent, istrinya meninggal 3 tahun lalu saat melahirkan anak pertama mereka dan sampai sekarang dia belum menikah lagi, dia merawat anaknya dengan bantuan bibi nya. Rayan bekerja sebagai Dokter Psikolog sesuai dengan cita-citanya dulu dan dia mengambil side job sebagai dosen pengajar juga di sebuah Universitas. Aku ikut bangga mendengar ceritanya, dia konsisten dengan ucapannya waktu dulu, bahwa dia tidak akan menikah dulu sebelum menjadi Dokter, ya… itu juga salah satu alasanku dulu meninggalkannya karena desakan keluarga. Malam itu aku kembali pulang larut karena keasyikan mengobrol dengan Rayan, kami berjanji akan bertemu kembali dilain hari.

***

Pagi itu, aku memanggil Nara, anakku, untuk bicara dari hati ke hati. Mata Nara tampak sembab seperti habis menangis, sebelum ini setiap aku melihat Nara seperti itu pasti aku akan segera memeluknya untuk menenangkannya, tapi kali ini tanganku seperti kaku, hatiku masih sakit dan tidak percaya bahwa anak yang aku besarkan telah berani melakukan perbuatan terlarang.

“Siapa orangnya?” Tanyaku membuka keheningan kami. Lama Nara tidak menjawab pertanyaanku.
“Nara! Kalau kamu tidak mau berterus terang sama mamah, kamu boleh tinggalkan rumah ini” Gertakku.
“Maafkan aku mah, aku belum siap untuk berkata jujur sekarang, kasih aku waktu untuk menyelesaikannya sendiri dulu,”
“Wah… Hebat kamu ya? Mau menyelesaikan sendiri? Lalu apa maksud kamu memberitahu mamah tentang ini kalau kamu tidak mau bercerita ke mamah?”
“Aku hanya ingin mamah tidak kaget kalau tiba-tiba aku menikah, mah,”
“Nara… Kamu tahu, ini bukan masalah kecil, perut kamu makin lama akan semakin membesar dan mamah akan meminta pertanggungjawaban pacar kamu itu,” Aku mulai gemas sendiri.
”Kasih tahu siapa orangnya? Rumahnya dimana? Kenapa dia selama ini tidak pernah ke rumah? Bahkan mamah tidak tahu kalau kamu sudah punya pacar, bagaimana bisa tiba-tiba sekarang kamu bilang kamu hamil dan ingin menikah? Kamu benar-benar menyakiti hati mamah. Perlu kamu tahu itu, nak”

Nara menangis lama didepanku tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, aku meninggalkannya karena dadaku pun sesaknya melihatnya seperti itu.

***

Hari ini, entah untuk keberapa kalinya aku mendesak Nara untuk mempertemukanku dengan pacarnya tapi kesekian kalinya juga dia menolak karena dia masih yakin bisa membuat pacarnya mau bertanggung jawab dengan caranya, dia makin susah aku ajak bicara, aku merasa ada hal besar yang ditutupi Nara tapi setiap aku ajak duduk berdua, dia akan segera pergi dari rumah dengan alasan ada janji ini itu. Sebenarnya aku sudah sangat gemas, tapi aku tidak ingin menambah pikiran Nara jadi aku berencana menunggunya selama seminggu kedepan.

 “Anakku hamil, Ray…” Aku membuka percakapan dengan Rayan sore itu, setelah pertemuan kami yang sudah beberapa kali akhirnya aku baru berani bercerita tentang masalahku. Ya… Bagaimanapun aku butuh masukan dari orang lain mengenai aibku ini, orang lain yang bisa menjaga rahasia keluargaku tentunya dan aku merasa Rayan adalah orang yang tepat, lebih – lebih dia seorang psikolog, aku berharap dia bisa membantuku menyelesaikan masalahku. Berkali-kali aku juga mengungkapkan penyesalanku karena tidak bisa mendidik anakku dengan baik, hal ini benar-benar menjadi beban yang paling berat buatku ke mendiang suamiku.

“Hidup itu intinya adalah penerimaan, Ra. Mau kamu sudah menjaga anakmu sebaik mungkin pun kalau memang ini harus terjadi ya sudah terjadilah. Yang kamu butuhkan saat ini adalah menguatkan hatimu dulu supaya bisa menguatkan hati anak kamu. Tidakkah kamu berpikir bahwa anakmu juga lebih menderita dari kamu? Dia pasti tidak ingin hal ini terjadi padanya. Di usianya yang masih begitu muda, dia sudah hamil, wanita hamil itu sebisa mungkin tidak boleh stres karena berpengaruh ke janinnya bukan? Aahh… pasti kamu lebih tahu daripadaku kalau mengenai ini”

Aku menangis tergugu mendengar nasehat Rayan, ya… bagaimana bisa aku yang wanita malah tidak berpikir tentang kesehatan janin anakku? Bagaimanapun dia adalah cucuku.
“Bukannya aku membela anak kamu juga, tapi kita sedang bicara hal yang sudah terjadi yang tidak bisa kita tarik kembali bukan? Terkadang memang memaafkan diri sendiri itu jauh lebih sulit daripada memaafkan orang lain tapi cobalah, berhenti menyalahkan dirimu sendiri, bangunkan diri kamu dengan gagah untuk menghadapi semuanya. Bicaralah yang tenang dengan anakmu, Insha Allah akan ada jalan keluar terbaik nanti”.
“Aku sendiri juga ada masalah dengan anak didikku di pekerjaanku, ruwet dan tidak masuk akal kalau dipikir-pikir, tapi ya tetep harus dibawa enjoy. Life is too short to be unhappy, Kira. Sudah… itu ingusnya dilap dulu” Rayan mengulurkan tissu sambil memalingkan mukanya dengan ekspresi pura-pura jijik seolah-olah benar ada ingus di hidungku. Aku melempar tissu bekas yang aku pakai buat mengelap airmataku ke arah Rayan dengan sebal, Rayan tertawa dan akupun ikut tersenyum akhirnya.
“Masalah kamu apa di pekerjaan?” Tanyaku mengalihkan topik tentangku.
“Yahh… Biasalah, Dokter tampan sepertiku terlalu banyak penggemar, artis saja kalah hehe… Kenapa aku bilang kalah? Karena penggemar jaman sekarang jauh lebih gila dari jaman kita dulu. Mereka tidak lagi meminta tanda tangan idolanya, melainkan minta orangnya langsung buat jadi miliknya. Cckk… Cckkk… Kadang aku juga tidak habis pikir, kenapa wanita jaman sekarang buas dan juga ganas, takut sendiri jadinya”
“Buas? Kamu pikir wanita itu macan apa pakai disamain dengan istilah ganas,”
“Kalau wanitanya kamu iya aku sebut macan, manusia cantik hehe…” Aku kembali melempar tissu kearah Rayan, kali ini bekas ingusku.
Hhhh… Aku merasakan bebanku sedikit berkurang setelah mendengar masukan Rayan.

***

Pagi ini aku sengaja bangun pagi, aku menyiapkan sarapan dan juga bekal makan siang untuk Nara, ya… Rayan benar, hidup itu adalah tentang penerimaan, mau aku emosi seperti apapun bentuknya ke Nara itu tidak akan membalikkan keadaan seperti semula, justru aku yang merusak diriku sendiri. Nara tampak keluar dari kamarnya, dia tidak menuju meja makan melainkan berjalan ke rak sepatu mengambil sepatunya. Dia tidak berkata sepatah katapun kepadaku, pasti dia mengira emosiku masih sama seperti kemarin. Egoku pun sebenarnya masih tinggi untuk mengawali pembicaraan dengannya tapi aku mencoba berdamai dengan egoku mengingat Janin yang ada di perut Nara harus sehat.

“Nara, sarapan dulu kamu, bawa bekelnya, mamah sudah siapin ini” Ujarku tanpa melihat ke arah Nara.
“Ohya… Nanti sore mau ada anak teman mamah yang akan menginap disini selama seminggu jadi langsung pulang kamu nanti” Lanjutku sambil langsung bergegas berjalan menuju kamarku untuk mandi. Nara sedikit heran melihat sikapku, tapi ada raut kelegaan di wajahnya. Nara beranjak ke meja makan, dia menarik piring yang berisi nasi goreng yang sudah aku siapkan tadi, disampingnya tampak box tempat makan untuk bekelnya, keningnya berkerut saat ada 2 box yang disiapkanku, tangannya bergerak meraih box yang kecil tersebut dan membuka tutupnya untuk melihat isinya, saat itu tepat dengan aku juga berteriak dari dalam kamar.

“Jangan lupa di box yang satunya juga kamu bawa buat bekel, anak di kandungan kamu juga harus makan buah!” Seruku mengingatkan Nara dari dalam kamar. Nara terpaku mendengar teriakanku, tenggorokannya tiba-tiba kelu dan sulit menelan makanan di mulutnya, air matanya menetes mendengar seruanku.
"Maafkan Nara, Mah" ucapnya dalam hati.

***

Sudah hampir seminggu anaknya Rayan, Danar dan bibinya menginap dirumahku karena Rayan harus tugas keluar pulau selama dua minggu. Aku sebenarnya yang menawarkan diri untuk menjaga mereka, kasihan aku melihat Danar hanya berdua dengan bibinya, dia pasti butuh teman, sama sepertiku yang butuh teman dirumah untuk mengalihkan masalahku. Danar sangat menggemaskan karena badannya yang gempal dengan pipi chuby luar biasa, membuat orang yang melihatnya pasti gemas ingin mencubit atau menciumnya, tapi diluar dugaan terrnyata Danar adalah anak yang hyperactive, di rumah dia tidak bisa diam, lari sana sini, segala macam barang dipegang dan diberantakin, bahkan ada beberapa pajangan yang pecah olehnya, bibir mungilnya tidak berhenti bertanya tentang apa saja yang dilihat oleh bola matanya yang Indah, Itu apa? Ini apa? Itu kenapa? Untuk satu hari, orang mungkin akan maklum-maklum saja dengan tingkah dan tanyanya, tapi untuk tiap hari memang butuh kesabaran ekstra. Jujur, aku merindukan suasana gaduh seperti ini dirumahku, ya aku merindukan saat – saat Nara kecil dulu jadi aku tidak terganggu sama sekali dengan tingkah Danar, aku memakluminya apabila dia sangat aktif, dia pasti merindukan perhatian dari ibunya yang tidak pernah dia lihat sama sekali karena itu dia mencari perhatian dari orang sekelilingnya.

Yang lucu, setiap malam menjelang tidur, Danar selalu minta tidur denganku terus, tidak mau tidur bersama bibinya, ada yang lucu dari kebiasaan Danar saat dia akan tidur, begitu dia sudah mengantuk dia akan minta gendong dan kemudian tiduran dikasur minum susu sambil mengelus-elus lengan tanganku bagian dalam dekat ketiak, saat seperti itu aku bisa mencium anak itu melepas gemasku dan aku sangat senang dengan momen itu karena mendekati anak ini dalam keadaan dia terjaga alias tidak tidur adalah mustahil, dia pasti akan memukul atau mencakar muka orang yang menciumnya seperti yang terjadi pada Nara di hari pertama Danar datang, Nara bersikap manis dengan hendak menggendong dan mencium Danar tapi Danar refleks langsung mencakar pipi Nara hingga lecet kecil terkena kukunya, ya… memang kata bibinya Danar memang tidak suka dicubitin pipinya atau dicium oleh orang lain selain Ayahnya, Rayan.

Hari itu, begitu Nara pulang aku segera menanyakan kembali tentang masalahnya, aku sudah tidak sabar lagi untuk menunggu bertemu dengan pacarnya karena hati kecilku mulai khawatir jangan – jangan pacarnya melarikan diri tidak mau bertanggung jawab karena Nara selalu berbelit – belit dengan berbagai alasannya.

“Nanti sih mah, belum waktunya” Kembali Nara mengelak sambil melepas sepatu olah raganya. Mukanya tampak lelah karena memang sedang ujian tentang penjaskes. Nara membalikkan sepatunya dan membersihkannya, pasir – pasir keluar dari dalam sepatunya. Aku terkejut.
“Habis olahraga apa kamu, Nara?”
“Penilaian lompat jauh” Jawab Nara datar.
“Kamu kan lagi hamil, kenapa ikut olah raga itu?!” Tanyaku khawatir,” Sore ini kita harus ke Dokter, cek kandungan kamu”
“Ahh… Mah, Nara lagi banyak tugas nih, jangan sekarang-sekarang. Nara baik-baik saja kok, jangan berlebihan begitu sih khawatirnya”
“Tidak bisa, mamah tidak mau mendengar kamu menolaknya lagi. Harusnya kamu lebih berhati-hati dengan kegiatan kamu karena di perut kamu itu ada bayi, bayi loh ya? Bukan mainan yang bisa kamu abaikan kesehatannya, kalau ada apa-apa dengan bayi kamu siapa coba yang repot? Kamu harus mikir sampai situ, paham!” Aku mulai tinggi kembali melihat Nara yang tampak santai tidak mempedulikan kandungannya.
“Mamah curiga, jangan – jangan kamu sengaja tidak merawat kandungan kamu supaya keguguran ya? Jangan – jangan karena pacar kamu tidak mau tanggung jawab? Buktinya kamu selalu menolak mamah untuk menemuinya”
“Astaga mamah… Pikirannya jauh banget sih sampai keguguran segala? Sabar mah, sebentar lagi Nara bakal ajak ke rumah menemui mamah, tenang aja. Dia masih sibuk dengan pekerjaannya di luar kota”
“Ohh… Pantes kamu bisa sampai hamil, ternyata pacar kamu sudah bekerja? Jadi bukan teman sekolah kamu? Gila ya… Bagaimana bisa kamu tidak pernah menceritakan pacar kamu selama ini ke mamah, nak? Mamah benar – benar merasa kecolongan”
“Sudah deh mah, jangan berpikiran macam-macam tentang dia, intinya dia orang baik kok, mamah akan tahu sendiri kalau sudah kenal”
“Kalau dia baik dan gentle, justru dia yang akan menemui mamah duluan! Ok, jadi sebentar laginya itu kapan? Mamah butuh kepastian, mamah sudah cukup sabar loh menunggu, hampir satu bulan ini dari pengakuan kamu” Tegasku, tapi Nara tidak menjawab, dia meninggalkanku menuju kamarnya dengan lesu dan muka bersungut tapi tidak berapa lama terdengar teriakan histeris Nara.
“Mamahhhh!!! Ini kamarku kenapa?!” Teriaknya. Aku bergegas ke kamarnya, dan aku terkejut melihat kamar Nara yang berantakan, buku – buku pelajaran Nara berserakan di lantai dan beberapa tampak sobek dan penuh coretan. Deg! Danar.
“Kamu lupa mengunci pintu kamar memang tadi?” Aku justru bertanya balik ke Nara. Nara tidak menjawabku, dia berjalan dengan penuh emosi ke kamarku, dia menemukan Danar sedang berdiri di dekat kaca jendela kamarku asyik bermain robot-robotan, dia masuk dan langsung mencubit Danar saking kesalnya, ternyata Danar melawan dengan mengigit tangan Nara dan spontan Nara mendorong  kepala Danar dengan keras, saking kerasnya dorongan Nara, Danar terjatuh ke belakang dan kepalanya menimpa lampu tidur hias di meja kecil kamarku, lampu itu pecah dan pecahan kacanya ada yang melukai  Danar. Aku segera mendorong tubuh Nara.
“Hentikan Nara! Kamu gila ya?! Danar kan masih anak-anak” Aku menggendong Danar yang menangis keras, ada darah menetes dari belakang kepala Danar. Aku panik dan segera memanggil bibinya Danar.
“Mah, Nara tidak mau tahu, pokoknya anak ini harus segera pergi sekarang juga dari rumah kita!” Teriak Nara, emosinya meledak juga setelah sebelumnya dia sudah menumpuk emosi saat berbicara denganku membahas kehamilannya, fisiknya pun sedang lelah habis pulang dari sekolah, ditambah melihat kamarnya berantakan dan tugas makalahnya dicoret-coret, jadi Danar lah yang menjadi sasaran luapan emosinya. Aku memaklumi emosinya tapi tetap tidak membenarkan dia mengasari Danar.
“Tugas kamu kan bisa di print ulang. Latih kesabaran kamu dong, namanya juga anak-anak. Kalau Danar terluka begini gimana mamah menjelaskan ke ayahnya coba?” Belaku sambil menenangkan Danar. Bibinya Danar tergopoh-gopoh datang mendengar tangisan Danar.
“Aduh… Maaf Mbak Kira, saya tadi di halaman sedang menjemur baju”
“Tolong siap-siap bi, kita ke Dokter sekarang”
“Mamah membawa Danar kesini juga salah satunya supaya kamu belajar dekat dengan anak-anak karena kamu sebentar lagi akan menjadi ibu. Harusnya kamu memikirkan ini saat kamu mau bikin anak, Nara. Mengurus anak itu tidak semudah saat kamu bikin, itu kenapa selama ini mamah selalu tegas mengenai aturan pacaran, sekali kamu terpeleset kamu sudah tidak bisa mundur lagi. Andai kamu tahu perasaan mamah,”
 Aku menatap tajam ke Nara, dia hanya bisa menunduk diam tidak berani menjawabku lagi.

***

Hari itu, aku dan Danar sudah bersiap-siap menjemput Rayan ke bandara, semalaman kemarin aku sudah mengarang dan merangkai cerita untuk menjelaskan kepada Rayan mengenai luka Danar, aku sebenarnya malu karena tidak bisa menjaga anaknya dengan baik hingga terluka begitu, aku sengaja tidak menceritakan ke Rayan melalui telepon karena takut membuatnya khawatir dan mengganggu pekerjaannya. Saat aku sedang memanaskan mobil, tiba-tiba saja Rayan menelponku memberitahu bahwa aku tidak perlu menjemputnya karena dia ada urusan mendadak di pekerjaannya jadi dia akan menyelesaikannya dulu. Dan baru saja aku menutup teleponku dari Rayan, tiba-tiba dari sekolah Nara menelponku bahwa Nara sedang di Rumah Sakit karena telah terjadi masalah. Aku segera buru-buru meluncur menuju kesana.

Begitu tiba di Rumah Sakit aku disambut oleh Wali kelas Nara yang sudah menungguku di parkiran mobil, ahh… pasti wali kelasnya sudah tahu bahwa Nara hamil. Aku sudah pasrah dengan apa yang terjadi, kalau memang aib ini harus terbongkar ya sudah aku pasrah apabila Nara harus dikeluarkan dari Sekolahnya, hanya itu yang berkecamuk di pikiranku. Aku menggendong Danar yang ikut bersamaku karena tadi dia tidak mau aku tinggal di rumah bersama bibi yang sedang tanggung memasak. Perasaanku sudah campur aduk, nafasku terasa tersengal berjalan terburu-buru, dan keringat dingin mulai menetes di leherku, anggota badanku sudah tidak bisa lagi menyembunyikan kecemasanku membayangkan rasa malu sebentar lagi menyaksikan pengakuan Nara tentang kehamilannya di depan semua orang, ya… kali ini semua orang akan membicarakan aib kami ini.

“Dikamar apa Nara dirawat, bu?” Tanyaku pada Ibu Wali Kelas Nara.
“Nara tidak di rawat Bu Kira, dia ada di ruangan staf” Aku heran mendengar jawabannya. Kami menuju ruangan yang dimaksud, dari luar sudah terdengar suara teriakan seorang perempuan yang terdengar sedang memohon-mohon, deg! Tidak salah lagi itu suara Nara.

“Dokter harus menikahi saya, kasihan mamah saya dok, tolong tanggung jawab karena telah membuat saya seperti ini,”

Aku membuka pintu ruangan itu tanpa mengetuk, di sana tampak ada beberapa dokter dan seorang gadis yang sedang berlutut didepan dokter pria yang berdiri, mendengar suara pintu terbuka dokter pria itu menoleh ke pintu, padangan kami bertemu, dan seketika mataku terbelalak melihat sosok itu. Danar beringsut turun dari gedonganku dan berlari kearah pria itu yang juga tidak kalah terkejutnya melihatku.
“Ayah… Ayah… “
Nara terbelalak melihat anak kecil itu berlari memeluk sosok didepannya.
”Ayah????” Seketika Nara pucat pasi, dia kaget melihatku juga ada disitu.
“Ra… Rayan…” Suaraku tercekat. Aku mematung masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat, kakiku gemetar, dadaku sesak karena emosi yang tiba-tiba menyeruak dan tiba-tiba aku merasa seluruh sendi tulangku lepas, lemas seolah tidak kuat menopang berat badanku lagi dan BRUKKKK!!! Aku pun jatuh pingsan.

***

Aku merasakan sakit yang luar biasa di kepalaku begitu membuka mataku. Nara segera menyongsongku melihatku sudah terbangun.

“Mah… Mamah… tidak apa-apa?”
Aku mengedarkan pandanganku, hanya ada Ibu Wali kelas dan Nara yang ada diruangan itu.
“Rayan dimana?” Tanyaku dengan suara masih lemas,” Dia hutang penjelasan ke mamah”
“Tidak Mah, ini semua ulah Nara bukan Dokter Ray,” Nara menahanku untuk bangun, dia menatapku dengan penuh penyesalan.
“Maafkan Nara, Mah. Nara sudah berbohong ke semuanya, tentang kehamilan, tentang pacar, semua itu hanya rekaan Nara, Nara benar-benar minta maaf” Mata Nara mulai berkaca-kaca.
“Nara tidak tahu kalau Dokter Ray ternyata teman Mamah dan Danar adalah anaknya, Argh… Nara sangat malu kalau ingat perlakuan Nara ke Danar. Nara tadi sudah minta maaf ke Dokter Ray, Mah”
“Kenapa kamu melakukan semua ini, Nak?” Aku sedih mendengar pengakuan Nara, sedih karena dia sudah melakukan kebohongan besar yang mengerikan.
“Mamah pernah bilang, berbohong demi kebaikan itu dibolehkan, ya Nara melakukannya demi mendapatkan Dokter Ray”
“Kebaikan siapa yang kamu bicarakan?”
“Ya Nara mengaku ke Mamah, selama ini Nara tidak pernah mempunyai pacar ya karena Nara memang tidak pernah tertarik dengan cowok manapun, tapi pas PKL begitu melihat Dokter Ray Nara tiba-tiba saja tertarik, Nara mengagumi Dokter Ray sama seperti teman-teman Nara yang lain. Tapi Nara ingin Dokter Ray dekat terus dengan Nara karena Nara menemukan nyaman setiap berbicara dengannya, Dokter Ray sangat menyenangkan juga kebapakan dan itu mengingatkan Nara ke Papah. Mamah sendiri yang bilang tidak mau menikah lagi mencari pengganti Papah padahal Nara ingin sosok seorang Ayah di rumah kita. Nara menemukan sosok itu di Dokter Ray, mah. Ditambah teman Nara juga ada yang tergila-gila juga, ya sudah Nara melakukan kebohongan ini karena tidak ingin keduluan teman Nara yang lain,” Nara menyeringai malu. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku mendengar pengakuannya.
“Jadi, sampai detik ini kamu masih menyukai Dokter Ray itu?” Tanyaku meyakinkan lagi.
“Arghh… Rasa suka Nara tiba-tiba lenyap mah begitu tahu Dokter Ray adalah ayahnya Danar sekaligus teman Mamah. Rasa malu Nara lebih besar jadi mengalahkan rasa suka Nara”, Aku Nara polos dengan kekanak-kanakannya. Ah… Lihatlah betapa polosnya dia, perasaannya saja sudah bisa berubah dalam hitungan detik.
 “Maafkan Nara ya Mah sekali lagi, Nara pikir Mamah tidak akan keberatan kalau Nara menikah muda, asal calon suaminya seperti Dokter Ray”
“Mamah tidak keberatan kamu mau menikah dengan siapapun, Nara. Asal dengan cara yang baik, jangan tiba-tiba mengaku sudah hamil, itu beban buat Mamah karena merasa gagal mendidikmu di mata orang. Dan satu lagi, ya kalau bisa cari yang masih muda, yang seumuran… Jangan yang sudah Om – Om gitu” Ujarku merengut kearah Nara.
“Hmm… Memang kenapa kalau Om – Om?” Tiba-tiba sebuah suara datang masuk di pembicaraan kami. Tampak Rayan masuk ke dalam ruangan itu dengan menggendong Danar. Aku sedikit salah tingkah.
“Ya tidak kenapa - kenapa juga sih, cuma ya mbok Om – Om nya saja yang tahu diri,” Kilahku buru-buru. “Kalau semua Om – Om maunya dapet cewek yang muda, ya bakal apa kabar dengan cowok – cowok muda yang masih single di luaran sana coba? Kasihan mereka dong makin susah dapat perawan nanti”
“Haha… Ya sudah kalau gitu berarti Om nya buat Mamah kamu saja ya, Nara?” Ledek Rayan ke Nara.
“Wah… Tunggu dulu, kalau Dokter Ray sama Mamah, berarti anak ini bakal jadi adikku dong?” Tanya Nara dengan ekspresi shock sambil menunjuk kearah Danar. Danar yang merasa ditunjuk segera meminta turun dari gendongan Rayan.
“Kakak ini nakal… Kakak nakal… Aku mau pukul,” Danar berlari mengejar Nara yang histeris duluan.

Aku dan Rayan tertawa bersama melihat tingkah mereka, mengingat kelakuan Nara hari ini, ingatanku melayang pada obrolanku dengan Nara kala itu.

Dulu dia pernah bertanya:
"Ibu... kenapa berbohong itu dosa?"
"Karena Allah tidak menyukainya, nak"
"Hmm... jadi kita gak boleh bohong ya bu?"
"Boleh nak, tapi asal buat kebaikan"
Dan hari ini dia melakukannya, ya... Kamu belajar sangat baik ternyata nak, tapi ibu lupa memberitahukanmu dulu, bahwa point terakhir waktu itu tidak boleh kamu lakukan ke ibumu. Karena hal yang paling penting dari sebuah kebohongan adalah jangan berbohong kepada orang yang kamu cintai.

The most important thing about lie is don't lie to the person you love.

*SEKIAN*

NB: Jalan cerita, Nama tokoh dan lainnya hanya karangan belaka, pembaca dilarang baper ^. ^

Pic source by www.gambaranimasi.org