… “Rian Erlangga”…
Jariku berhenti di tombol enter setelah mengetik nama itu di kolom search people di akun social mediaku. Untuk memutuskan mengetik nama itu saja butuh keberanian yang cukup lama, entah kenapa begitu tinggal menekan tombol enter justru keraguan itu kembali hadir. Ya.. hampir 4 tahun aku memutuskan untuk melupakan nama tersebut, nama seseorang yang telah meninggalkan luka yang begitu dalam. Tanpa sadar aku menahan nafas saat jariku jatuh juga ke tombol enter. Tidak begitu lama terpampang lah profil Rian dihadapanku, ahh.. dia masih memakai photo profile yang lama, photo yang pernah aku ambil saat kami berdua sama-sama masih kuliah. Agak lama aku mengamati wajah itu, mata itu, senyum itu.. masih sama, betapa aku sangat merindukannya, 4 tahun benar-benar aku tidak pernah melihatnya, mengintip social media nya pun tidak sama sekali, aku benar-benar memutuskan untuk tidak mengingatnya lagi, pikiranku mendadak berubah saat minggu lalu waktu aku mudik ke kampung tanpa sengaja mendengar obrolan ibu-ibu depan rumah bahwa anak Mira sedang sakit-sakitan. Ya.. Mira, istri Rian. Wanita itu telah berhasil merampas Rian dan menggelapkan hidupku dalam sekejap. Tanpa kusadari, airmataku menetes saat ingatanku melayang pada kejadian dimana pernikahanku yang sudah didepan mata gagal berantakan, masih jelas dalam ingatanku, H-3 dari hari besar yang telah aku tunggu-tungggu selama 8 tahun berpacaran dengan Rian, tenda besar sudah berdiri megah di depan rumahku, keluarga jauhpun semua sudah berkumpul ingin ikut menyaksikan hari bahagiaku, semua tawa ceria keluargaku berubah dalam sekejap menjadi kemarahan yang tak terbendung saat di sore itu Rian bersama keluarganya membatalkan semuanya, Bapak Rian menjelaskan bahwa Rian terpaksa harus menikahi wanita lain karena wanita tersebut sedang hamil anak Rian. Sebuah alasan yang tidak masuk di akalku karena aku begitu mengenal Rian lebih dari siapapun, Rian tidak mungkin mengkhianatiku, apalagi sampai menghamili wanita lain. Tapi itulah kebenaran yang keluar dari mulut Rian saat terakhir dia menemuiku, dia bersujud dikakiku memohon maaf karena telah melukaiku dan juga mencoreng nama keluargaku, aku hanya terpaku, hatiku kaku, menangispun tak bisa, hatiku ingin berteriak dan menanyakan bagaimana mungkin ini terjadi sedang aku sangat mempercayainya selama ini? Benarkah ini? Siapa wanita itu? Dimana kamu mengenalnya? Dan sejuta pertanyaan lain dibenakku yang tak pernah sempat kutanyakan, karena bapakku dengan penuh emosi telah menyeret Rian keluar dan mengusirnya untuk tidak pernah datang lagi ke rumahku.
“Dokter Esti… Dok… Dokter Esti.. Permisi Dok..”, Suara Santi, petugas perawat yang memanggilku sembari mengetok pintu ruang kerja sedikit menggagetkanku, lamunanku buyar,”Maaf Dok, ada pasien diluar?”.
“Eh iya San, maaf saya keasyikan ngetik laporan barusan?”, kataku sambil menutup laptop segera, “OK… suruh tunggu di ruang periksa saja ya, 5 menit lagi saya menyusul, San,”
Begitulah hari – hariku disibukan dengan mengabdi sebagai Dokter di sebuah rumah sakit kecil di suatu kecamatan di pelosok kota Tuban. Bermil-mil jaraknya dari rumahku. Sepi dan Jauh dari keramaian kota itu justru yang aku cari sejak kejadian 4 tahun silam itu. Senyap dari omongan tetangga yang selalu melihat kasihan ke arahku dan jauh dari desakan keluarga untuk segera menikah atau juga desakan menentukan pilihan terhadap calon – calon yang ibuku sodorkan. Berulang kali keluarga menyuruh melamar di rumah sakit di sekitar kota tempat tinggalku tapi bagiku kota kelahiranku terlalu banyak magnet yang membuatku selalu mengingat Rian.
Aku mulai menikmati jauh dari orang-orang yang aku kenal dan memilih pulang mengunjungi keluarga setiap tiga bulan untuk mengobati kerinduan. Menghabiskan hari libur mingguku dengan memilih menulis, tanpa teman dekat. Sekali-kali membuka social mediaku untuk mengintip akun Rian, tapi hasilnya sama tidak ada aktifitas, sepertinya akun itu tidak aktif bertahun-tahun. Status terakhirnya itu hampir 3 tahun lalu, Rian hanya mengupdate dia sedang mendengarkan lagu “trouble” by Coldplay, dengan beberapa like dari teman-temannya.
Hari – hari selanjutnya aku seperti kecanduan untuk “menjenguk” akun social media milik Rian, tiada hari tanpa meng’klik’ nama Rian di kolom search people, sudah seperti makan 3 kali sehari, setiap senggang sedikit aku pasti akan langsung mengintip. Aku tahu tidak akan ada update apa-apa dari akun tersebut, tapi entah kenapa aku cukup puas dengan hanya melihat photo profile Rian, menatapnya sejenak sampai lagu trouble coldplay yang aku putar di hpku berakhir dan kemudian melanjutkan pekerjaanku lagi. Rasa sayangku terhadap Rian begitu besar lebih dari yang orang diluar tahu, rasa ini tidak akan pernah mati sedikitpun, akan tetap seperti dulu rasaku biarpun kelak aku menemukan pendamping hidup lain. Aku menyadari entah kegilaan apalagi ini? Sekian tahun aku menjauhkan diri untuk melupakan Rian, tapi sekarang aku kembali berkubang dengan hari-hari yang dipenuhi nama Rian. Tapi aku memilih cara ini, membiarkan diriku mencintai Rian dalam diam.
Hari minggu ini aku menyempatkan waktuku pergi ke supermarket untuk membeli kebutuhan bulanan yang sudah banyak yang habis, membeli belanja bulananku tidak sampai menghabiskan waktu 2 jam, tapi mengingat jauhnya perjalanan dari rumah dinasku, biasanya aku akan menghabiskan waktuku di supermarket itu sampai sore ditoko buku dan baru pulang menjelang malam, sekalian jalan sekalian capek aku menyebutnya.
“Mbak Esti?,” terdengar suara bernada ragu memanggilku. Aku mengalihkan mataku yang sedari tadi berkencan dengan buku yang sedang aku baca. Tampak sesosok gadis cantik berdiri di seberang meja tempatku duduk.
“Iya.. kamu panggil saya?”, tanyaku sambil berusaha mengingat
“Eh.. jadi beneran ini mbak Esti toh? Ya Allah mimpi apa aku akhirnya dipertemukan sama mbak Esti, kenalkan aku Rara mba,” kata gadis itu terlihat begitu senang dan seperti sudah sangat mengenalku sambil mengulurkan tangan ke arahku.
Aku menyambutnya dengan hangat,”iya, saya Esti, emm.. maaf ingatan saya agak jelek, apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Hehee… mbak memang enggak kenal aku, kita belum pernah bertemu ataupun kenal, tapi aku nya aja yang merasa sangat kenal mbak saking seringnya melihat mba di photo,” ujar gadis yang mengaku bernama Rara itu sambil menggaruk kepalanya seperti malu.
“Sebentar, maksudnya sering melihat di photo gimana ya? Photo apa? dimana? Saya enggak pernah masuk majalah seinget saya , “gurauku dengan raut penasaran.
“Emm.. Aku mengenal wajah mbak dari seseorang yang hampir setiap hari meminjam hpku untuk melihat social media milik mbak Esti,”
“Ohh yaa? Siapa orang itu?,” tanyaku dengan dahi berkerut.
“Rian mbak…,” ucapnya lirih, matanya naik seperti menanti reaksiku. Dan kali ini dia berhasil membuatku terkejut, bertahun-tahun aku tidak pernah mendengar nama itu diucapkan oleh orang lain, begitu sekarang ada yang menyebut namanya di depanku, entah mengapa hatiku merasa sedikit lebih dekat selangkah dengan Rian.
“Ri.. Rian?,”
“Iya mbak, maaf kalau aku mengejutkan mbak Esti. Aku keponakan mas Rian mbak yang tinggal di Papua selama ini, mas Rian juga menetap disana sekarang, pindak sejak 4 tahun lalu, 2 tahun ini aku kuliah di Yogya, di sini aku lagi PKL,” Sejurus kemudian Rara bercerita kesana kemari tentang kuliahnya, tentang sedikitnya tenaga medis di daerahnya disana sehingga membuatnya mengambil kuliah kedokteran dengan harapan bisa mengabdi disana kelak. Sebuah cita – cita mulia, dia tidak menceritakan apa-apa tentang Rian, dan akupun berusaha tidak menanyakannya, sampai Rara sendiri yang menanyakannya padaku.
“Mbak Esti ga pengin denger kabar mas Rian?,” ujar Rara sambil menoleh ke arahku. Aku tersenyum menduduk sambil mengaduk-aduk minuman didepanku,
“Sepertinya enggak pengin Ra, buat apa juga?”
“Yakin, mba?,” Rara menatapku dalam. Aku menarik nafas panjang dan menatap langit yang mulai memerah melalui jendela, terukir acak namun begitu indah awan di langit sana, tapi sinar merahnya tetap menyakitkan apabila ditatap berlama-lama. Berkecamuk pikiranku, aku tidak siap untuk sakit hati kembali mendengar semua cerita kehidupan Rian dengan keluarganya yang pasti sudah bahagia sekarang, yaa.. semua sudah tidak penting untuk aku ketahui, sudah cukup begini saja buatku, mencintai dalam diam tanpa butuh pembalasan ataupun berharap diketahui orang.
Esok harinya, aku terbangun sedikit kesiangan menuju klinik tempatku bekerja, pertemuan dengan Rara membuatku tidak bisa tidur karena ingatanku ke Rian menguat berkali-kali lipat.
“Dok.. Dokter kepala tadi kesini, beliau titip pesan, Dokter Esti suruh memilih amplop yang dimeja,” sambut Santi begitu aku sampai di mejaku.
“OK san, makasih ya,”
Ahh,,, sekilas aku sudah bisa membaca perihal yang tertulis di amplop, “Surat Penugasan”. Dokter Kepala memang membuka beberapa cabang Rumah Sakit baru di beberapa daerah pelosok, seharusnya dia paham betul kalau aku sudah begitu betah bekerja di Rumah Sakit ini, 4 tahun ini aku lolos dari pemindahan tempat dinas, sayang kali ini aku tidak lolos. Aku membuka amplop itu dengan setengah hati, tertulis surat penugasan untuk di cabang Rumah Sakit yang baru dengan dua pilihan tempat untukku, satu di Riau dan satu lagi… Papua. Mataku terpaku pada tempat kedua, membaca berulang - ulang nama tempat itu, tanpa sadar aku berucap lirih,” Rian…..,”
Rintik hujan mengiringi laju bus yang aku tumpangi, penumpang penuh sampai ada yang berdiri, hal itu membuat bus terasa semakin penuh sesak dan panas, tapi tidak bagiku, hatiku sedang merasakan kelegaan luar biasa karena merasa sudah mengambil keputusan tepat untuk surat penugasanku, keputusan yang membawaku berada di bus ini sekarang, bus yang sedang melaju ke daerah Siak Kecil namanya, sebuah kecamatan di kota Bengkalis, Riau. Ya… akhirnya aku menjatuhkan pilihan pada tempat ini setelah hampir seminggu aku berperang dengan hatiku sendiri. Tidak memungkiri awalnya keinginanku untuk mengetahui kehidupan Rian begitu besar, aku ingin kembali selangkah lebih dekat dengan Rian, apalagi setelah pertemuan yang tidak disengaja dengan Rara waktu itu, cerita Rara tentang Rian yang sering meminjam hp nya untuk sekedar mengintip akun social media ku itu terus terngiang di pikiranku, ternyata Rian selama ini juga mungkin benar memikirkanku, mungkin merindukanku juga diam-diam, ahh,, hal ini semakin membuat aku penasaran dengan kehidupan Rian dan ingin mendengar penjelasan Rian langsung tentang apa yang sebenarnya yang terjadi selama ini. Tapi akal sehatku masih jauh lebih menguasaiku apalagi kalau ingat sekarang Rian sudah mempunyai anak dan istri, ya biarpun aku begitu membenci Mira yang sosoknya sama sekali belum pernah aku lihat, tapi aku tidak ingin mengganggu kebahagian mereka. Biarlah mereka dan aku sendiri bahagia dengan cara kami masing – masing. Ini yang membuatku yakin memilih Riau sebagai tempat dinasku selanjutnya. Berharap menemukan kehidupan lain di tempat itu.
Bus yang melaju semakin jauh membuatku sedikit pusing dengan udara yang panas yang bercampur aduk dengan bau yang beraneka dari para penumpang, aku merogoh tasku mencari kipas tangan, benda kecil itu selalu nyelip entah dimana setiap dibutuhkan padahal aku yakin sudah membawanya tadi, tanganku tidak menemukan kipas melainkan secarik kertas kaku, haiss… ternyata itu kartu undangan pernikahan aku dulu dengan Rian yang gagal, konyol… ternyata aku masih menyimpannya di tas travelku yang jarang aku pakai ini, aku tersenyum sendiri mengingat dulu memang aku menyembunyikan 1 buah undangan pernikahanku ini sebelum bapak membakar sisa undangan yang belum terbagi waktu itu. Aku membukanya, terpampang namaku dengan Rian disana, tanganku meraba tulisan nama Rian, teringat janjiku kepada ibuku sebelum berangkat kemarin bahwa aku akan segera mencari pendamping hidup, ya kupastikan suatu saat akan ada nama lain yang akan benar – benar menjadi mempelaiku tertulis di undangan kelak. Masih teringat jelas dimataku tatapan mata ibuku yang penuh kekhawatiran dengan usiaku yang sudah menginjak pertengahan kepala 3. Aku mengerti kekhawatiran ibuku, paradigma di kampungku kalau seorang wanita umur 30-an, belum menikah, itu dikategorikan Perawan Tua. Hanya saja, menurutku konyol kalau seseorang buru – buru menikah hanya karena pandangan orang, padahal dia belum menemukan sosok pendamping yang cocok menurut hatinya, yang akan menjalani kehidupan itu kita sendiri, bukan mereka. Prinsip ini yang membuatku menggelengkan kepala kepada setiap pilihan yang disodorkan ke ibuku, lama kelamaan keluarga seperti menyerah menjodoh-jodohkanku, lama ibuku tidak cerewet menanyakan kapan menikah? Tetapi pesan terakhir ibuku saat mengantarku ke bandara kemarin membuatku tersentuh, dengan mata berkaca dia memelukku erat dan seperti menghiba supaya aku memberi dia kesempatan untuk melihat cucu dariku dan mempertimbangkan usianya yang sudah hampir 60 tahun. Aku menghiburnya dengan mengatakan bahwa semoga di Riau nanti dewi fortuna memihakku dan aku bisa pulang dengan membawa calon mantu buat ibuku. Yapp… sebuah PR besar yang aku sendiri belum tahu akan bisa mengerjakannya atau tidak, tapi yang jelas aku akan mencobanya.
Aku dijemput Tari saat bus yang aku tumpangi tiba di terminal, Tari adalah teman satu kostan saat masih kuliah dulu, dia memang sudah lama dinas tugas di Riau sebagai bidan desa dan telah menikah dengan orang sana juga, tetapi hingga pernikahannya menginjak tahun ke 2 dia belum di beri momongan. Tari lah yang membantuku mencarikan tempat kost untuk tempat tinggalku selama bertugas di Riau. Tari menjemputku bersama dengan suaminya dan seorang pria, dia mengenalkan pria itu dengan nama Alan, seorang Dokter anak di sebuah Rumah Sakit seberang kota tempatku berdinas.
“Dia masih single loh ti,” Tari menggodaku saat mengenalkan Alan ke aku. Aku tersenyum meringis sambil menerima uluran tangan Alan.
“Hai,,, senang bisa bertemu kamu, aku Alan,” Dia memperkenalkan diri dengan senyum lebar, dari senyumnya aku bisa langsung menebak Alan berkepribadian supel dan welcome dengan kehadiran orang baru, eh ya jelas lah.. Dokter Anak kan dia.
“Hai.. aku Esti, temen kuliah Tari dulu,” sambutku hangat.
“Esti, kamu nanti boncengan sama Alan ya, pakai motor kita, kakak..,” Ujar Tari sambil melirikku nakal.
“Ehh..pakai motor? Wahh.. aku bakal ngrepotin ini, aku naik taksi aja ya? Bawaanku banyak soalnya,”
“Disini ga ada taksi, tuan putri.. Akses disini paling mudah dan cepat ya pakai motor,” kata Alan tanpa menunggu persetujuanku, sambil menyambar koper kecilku dan berjalan menuju parkiran motor,” Udah ayukk nanti keburu malem, serem.. banyak culik cewe cantik loh”. Aku buru-buru mengikuti Alan mendengar kalimatnya yang terakhir.
Aku sampai di rumah kost-ku hampir jam 9 malam, Tari sudah menyiapkan semuanya dengan baik, suasana rumah tertata rapi bersih. Sementara Tari menyiapkan makanan di dapur bersama suaminya, Alan membantuku memindahkan posisi tempat tidur sesuai dengan keinginanku. Kami berempat kemudian makan dengan lahap masakan tari. Sambutan yang luar biasa buatku. Berterima kasih sekali aku telah dipertemukan dengan orang-orang sebaik mereka. Itulah hari pertama yang begitu berkesan buatku.
Hari – hari selanjutnya, bulan demi bulan aku isi dengan kesibukanku di Rumah Sakit tempat dinasku yang baru. Tidak jarang aku memberikan penyuluhan – penyuluhan kepada masyarakat terkait tentang kesehatan, sebagai pendatang baru, aku merasa sangat diterima oleh mereka, ibu – ibu disekitar rumah kost-ku tidak jarang membagi masakan mereka buatku, mereka kasihan melihatku tinggal seorang diri dan jauh dari keluarga. Tari sendiri sangat sibuk dengan pekerjaannya, kami hanya bertemu sesekali untuk belanja bersama sekalian ngobrol. Alan lah yang paling sering menemaniku, tanpa diminta dia rajin menjemputku dan mengantarkanku pulang kerja, bahkan sering mengajakku melihat suasana praktek kerjanya, saat melihatnya dikelilingi anak – anak kecil, aku seperti melihat Alan yang berbeda dari biasanya, aura kebapakannya lebih keluar saat dia menggendong pasien kecilnya sambil bercanda, jika jadwal libur kami kebetulan sama, dia dengan sigap mengajakku berkeliling kota berjalan-jalan, sudah seperti personal tour guide buatku. Awalnya aku sungkan pergi hanya berdua saja dengan Alan, tapi sikap Alan yang menyenangkan dalam setiap ajakannya membuatku tidak bisa menolaknya. Celoteh – celotehannya selalu bisa membuatku tertawa, sungguh sebagai teman, dia sangat menyenangkan. Dengan fisik yang selalu dihiasi senyum kecil khas yang selalu mengembang di bibirnya. Entahlah, tapi aku tidak ada ketertarikan lebih terhadap Alan sejauh ini. Aku lebih menyukai lelaki yang bermata teduh dengan sifat pendiam dan misterius, jarang tersenyum namun sekali senyumnya keluar, aura ketampanannya akan terpancar indah, seperti Rian… ya seperti Rian. Hmmm… apa kabar dengan Rian? Sejak menginjakan kaki di sini, aku belum pernah menengok akun social media dia lagi, jaringan internet di tempat ini tidak terlalu bagus, membuatku malas berselancar di dunia maya.
Hari ini, Alan kembali menjemputku di tempat kerjaku, lagi – lagi tanpa persetujuanku. Tanpa turun dari motornya dia melambai ke arahku.
“Hello… Tuan “Tanpa Persetujuan” mau kemana kita hari ini?,” tanyaku sambil memukul lengannya. Dia tertawa kecil sambil menyodorkan sebuah jaket.
“Jangan tanya, karena kamu mau atau tidak, kali ini aku akan memaksamu untuk ikut,”
“Wah kemana dulu ini? Kok pakai jaket segala?,” tanyaku heran.
“Udah ayo naik aja, aku mau kenalin kamu ke anakku,” ujarnya sambil menyalakan motornya.
“Ehh… Anakmu??,” suaraku terdengar sekali bernada kaget. Entah kenapa ada perasaan yang entah apa namanya tiba – tiba muncul dihatiku mendengarnya.
Tanpa menjawab, Alan malah tersenyum dan menarik tanganku untuk segera naik ke motornya. Dengan masih keheranan, aku menuruti Alan. Disepanjang jalan, aku berpikir keras, Anak Alan?? Benarkah Alan sudah punya anak? Bukankah kata Tari dia masih single? Kenapa dia samasekali tidak pernah menceritakannya padaku? Kenapa dia justru menyibukan diri dengan memberi perhatian kepadaku? Dimana istrinya? Apa dia telah berpisah? Haiss… aku mengutuk diriku sendiri yang tiba-tiba memikirkan banyak pertanyaan konyol. Tidak ada yang salah kalau Alan ternyata benar telah mempunyai anak istri, aku akan menyiapkan diri untuk menghadapi malu terhadap diri sendiri karena pernah berpikir bahwa Alan selama ini menyukaiku. Aku merapatkan jaket Alan yang aku pakai karena angin sore itu lumayan dingin. Wangi parfum Alan begitu terasa dekat di hidungku, tanpa sadar aku memejamkan mata sambil menghirup wangi itu dalam-dalam, aku merasakan ketenangan menyusup ke hatiku.
Ditengah jalan, Alan mampir ke sebuah toko minimarket. Aku ikut turun untuk membeli minuman, Alan menghilang dibalik etalase-etalase toko mencari barang yang akan dibelinya. Aku menunggu di atas motor sambil menikmati minumanku. Tidak lama, Alan keluar dengan tangan penuh kantong belanjaan. Dia ternyata membeli beberapa box susu formula dan babby’s diaper. Aku terkagum melihatnya.
“Woww.. so sweet banget sih kamu, cowo tapi mau belanja beginian begitu banyak,” godaku.
“Hahaa.. stock buat dua minggu kedepan ini, tolong bantu pegangin ya,” ujarnya.
“Dengan senang hati, tuan,” aku mengambil kantong belanjaan itu dari tangan Alan. Diam – diam aku mengamati Alan yang sedang menyiapkan motornya, bertambah satu point rasa kagumku ke Alan.
Setengah jam kemudian, kami tiba di sebuah rumah kecil yang bercahaya remang. Tampak seorang anak berumur sekitar 4 tahun berlari keluar menyongsong Alan. Alan segera menggendongnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi hingga si anak tampak tertawa tergelak. Seorang nenek kurus keluar dari dalam kamar, seperti habis sholat magrib mungkin karena ditangannya masih sambil memegang mukena.
“Eh.. nak Alan sudah datang, Rama dari tadi tidak sabar menunggumu,” suaranya begitu lembut terdengar, mata nenek itu menangkap sosokku yang berdiri di depan pintu,” wahh.. ada tamu toh?, sini masuk nduk,”
Aku mencium tangan nenek dan memperkenalkan diri. Sang nenek begitu senang melihatku,” Akhirnya nak Alan membawa calon juga, tidak putus nenek doainnya supaya didekatkan jodohnya hehe.., nenek bikinkan minuman dulu ya, silahkan duduk nak Esti”.
Aku melirik Alan sambil mengernyitkan alisku tanda tidak mengerti dengan kata-kata nenek tadi, Alan tersenyum sambil mengangkat bahu. Aku membiarkan Alan bermain dengan Rama tanpa menanyakan apapun, karena sepertinya Alan benar-benar ingin menghabiskan waktu dengan Rama. Aku nimbrung ikut bermain dengan mereka, sampai Rama kelelahan dan tampak mengantuk, Alan membuatkan susu botol untuk Rama. Aku memangku Rama dan mengusap-usap rambutnya supaya tertidur, entah kenapa saat aku melihat wajah anak itu, hatiku berdebar tanpa sebab, aku seperti merasa langsung dekat dengannya biarpun baru pertama kali bertemu. Alan datang dengan sebotol susu ditangannya, melihat Rama tertidur dipangkuanku, Alan membungkuk berniat mengambil Rama dari pangkuanku, wajah kami berdua begitu dekat, tanpa sengaja aku beradu pandang dengan Alan, aku tiba-tiba merasa canggung dan sedikit tercekat menahan nafas. Alan seperti sengaja menatapku dalam, itu membuatku semakin grogi. Ahh.. bagaimana bisa selama ini aku tidak menyadari bahwa Alan mempunyai tatapan mata yang begitu tajam?. Aku segera mengalihkan pandanganku dan buru-buru memiringkan badanku untuk mempersilahkan Alan mengangkat Rama.
“Ti…,” Alan malah memanggil namaku lirih, aku menengok ke arah Alan. Tatapan kami berdua kembali bertemu, Alan perlahan semakin mendekatkan wajahnya ke arahku, aku diam tercekat, hanya mataku yang sedikit semakin membesar, seperti terhipnotis. Alan memiringkan wajahnya dan semakin dekat dengan wajahku, tanpa sadar aku memejamkan mata kuat-kuat, jantungku berdebar semakin kencang, dan…..
“Makasih ya,’’ suara Alan tiba-tiba terdengar begitu jelas di telingaku. Aku kaget dan membuka mataku, Alan tersenyum ke arahku. Ehh.. Jadi dia cuma mau menyampaikan terima kasih? Bukan mau… Ahh.. aku merasa mukaku memerah seketika.
“Kenapa? Ekspresi wajah kamu seperti mengharapkan sesuatu yang lain untuk aku lakukakan kepadamu?,” ujar Alan dengan senyum menggoda.
“Haiss.. kamu ini. Buruan ini angkat Rama nya,” Aku memanyunkan bibirku sambil memalingkan wajahku untuk menutupi salah tingkahku. Alan tertawa sambil mengangkat Rama, dia berdiri dan menengok ke arahku.
“Hei.. ,” Aku mendongak kearahnya, Alan berkata sambil mengulum senyumnya,”Tenang, lain kali akan aku lakukan dengan benar,”
Aku melotot ke arahnya, sambil berteriak,” Hei... Tuan “Tanpa Persetujuan! Berhenti menggodaku dan jangan bicara tentang lain kali karena tidak akan ada lain kali ”.
Ahh...Ibu, anakmu ini jadi ingin pulang karena ingin memberitahumu, sepertinya aku telah menemukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Budayakanlah komentar dan saran dengan bahasa yang baik dan sopan.